“Kalau sudah ambil makanan, harus dihabiskan. Kalau enggak habis, nanti ayamnya mati!”
Zaman kecil dulu, nasihat seperti itu hampir setiap hari saya dengar dari nenek yang semasa hidupnya saya panggil Mbah Putri. Mbah Putri memang paling cerewet kalau melihat ada makanan sisa. “Sudah susah nyari uang untuk belanja, masih repot juga memasaknya. Eh, lha kok, dibuang-buang. Mubazir, nambah sampah juga!” Begitu katanya.
Padahal, dulu kami memelihara ayam dan tidak sedikit jumlahnya. Jadi, sisa makanan tidak pernah berakhir di tempat sampah, melainkan di perut ayam-ayam kami. Tetapi, Mbah Putri tetap saja melarang kami membuang-buang makanan. Selain mubazir, kebiasaan tersebut tidak baik dan dapat merusak lingkungan.
Kalau dipikir-pikir, nasihat Mbah Putri memang ada benarnya. Zaman dulu, untuk mendapatkan makanan itu tidak mudah, makanya orang-orang cenderung berhati-hati dan takut membuang makanan. Itu sebabnya sampah organik dari sisa makanan juga tak banyak jumlahnya.
Selain itu, zaman dulu masih banyak juga warga yang memelihara ayam atau ternak sehingga dapat menjadi tempat pembuangan akhir sisa makanan manusia. Itu sebabnya zaman dulu masalah sampah organik tidak terlalu meresahkan seperti sekarang.
Sampah Organik yang Meresahkan
Sampah memang menjadi permasalahan pelik di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hasil input pada tahun 2022 menyebutkan bahwa dari 202 kabupaten/kota se-Indonesia jumlah timbunan sampah nasional mencapai 21.1 juta ton.
Dari total jumlah tersebut, sebanyak 13,9 juta ton dapat dikelola. Sedangkan sisanya sebanyak 7,2 juta ton atau 34,29% dari total sampah belum berhasil dikelola dengan baik.
Masih menurut data tahun 2022, berdasarkan jenisnya mayoritas timbunan sampah merupakan sampah organik dari sisa makanan yaitu berkisar pada angka 41,55%.
Miris sekaligus meresahkan mengingat masih banyak masyarakat kita yang kesusahan untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari. Di samping itu perkara timbunan sampah organik juga sangat meresahkan karena bau busuk yang sangat mengganggu dan dapat mencemari lingkungan.
Pemuda Banyumas yang Berhasil Menaklukkan Sampah Organik
Salah satu daerah di Indonesia yang juga pernah menghadapi krisis sampah organik adalah kota Banyumas. Hal ini dikisahkan oleh Arky Gilang Wahab, Pemuda Banyumas yang telah berhasil mengolah sebanyak 60 juta ton sampah organik.
Menurut penuturan Arky, perlu proses panjang hingga krisis sampah di Banyumas dapat diatasi seperti sekarang. Alumnus Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung ini mengisahkan awal mula ia pulang ke Banyumas pada tahun 2018. Ia melihat adanya peluang di balik krisis sampah di kotanya. Kondisi tersebut memunculkan ide di benaknya untuk mengatasi permasalahan sampah organik melalui budidaya maggot.
Awalnya ia hanya mengolah sampah dari tiga rumah saja, dengan 3 orang teman yang bersedia memulai usaha dengannya. Memang prosesnya tidak mudah, namun setahun kemudian semakin banyak warga yang ikut mengumpulkan sampah. Ia juga melihat bahwa sebagian besar sampah warga merupakan sampah organik. Akhirnya, berkat ketekunannya, pada 2019 Arky dan teman-temannya berhasil mengelola sampah organik untuk satu desa yaitu Desa Banjaranyar.
Pada proses awal pengelolaan sampah, Arky sempat mencoba metode composting. Tetapi, ternyata metode tersebut memakan waktu cukup lama, dan perlu lahan yang cukup luas. Maka dari situlah, ia mencoba penguraian sampah dengan maggot.
Mengenal Maggot, Larva Kebaikan
Sayangnya, tak banyak yang tahu mengenai maggot. Padahal, maggot adalah larva, atau juga dikenal dengan sebutan belatung. Yang membedakan, maggot adalah fase larva dari lalat tentara hitam atau Black Soldier Fly. Waktu hidup maggot lebih lama dan sifatnya steril karena tidak dimakan.
Menurut penjelasan Arky, maggot betina akan mati setelah bertelur sedangkan yang jantan mati setelah kawin. Sehingga, maggot tidak mencari makan di tempat-tempat kotor jadi tidak membawa penyakit.
Budidaya maggot juga tidak memerlukan lahan yang luas karena memiliki kemampuan memakan sampah organik sebesar tiga kali dari berat tubuhnya dalam waktu kurang dari 24 jam. Sat kilogram maggot juga dapat mendekomposisi antara 2 hingga 5 kilogram sampah organik per hari.
Olah Sampah Organik Nol Sisa
Selain membantu proses dekomposisi sampah organik dengan waktu singkat, budi daya maggot terbukti telah memberikan nilai manfaat dari sampah yang bau dan mengotori lingkungan. Sampah yang telah didekomposisi maggot yang disebut kasgot merupakan pupuk organik yang sangat baik untuk tanaman.
Arky menuturkan bahwa keberadaan kasgot sangat membantu para petani. Menurut laporan dari kelompok tani, pupuk kasgot dapat menjadi alternatif pemupukan untuk area persawahan. Selain itu pupuk kasgot memberi efek positif pada tanah. Tanah menjadi lebih sehat karena berkurangnya penggunaan pupuk kimia. Penanaman pada media yang sehat otomatis membuat hasil tanaman di atasnya juga lebih sehat untuk dikonsumsi.
Hal ini juga membuktikan bahwa pengolahan sampah organik dengan maggot tidak menyisakan masalah dan tidak ada limbah tersisa karena semua dapat dimanfaatkan.
Maggot, Si Kecil yang Menjanjikan
Budidaya maggot selain membantu dekomposisi sampah organik juga memiliki peluang komoditas yang menjanjikan. Maggot mengandung protein dalam jumlah tinggi dan dapat menjadi pelengkap pakan ikan. Pasar maggot juga terbuka luas karena permintaan yang tinggi. Arky menjelaskan bahwa setiap bulan ia baru bisa memproduksi sekitar 120 ton maggot dengan omset mencapai 500 juta. Jumlah ini terhitung masih kecil dibandingkan kebutuhan pasar yang berkisar 1.000 ton per bulan.
Peraih SATU Indonesia Awards yang Tak Ragu Bergumul Sampah
Arky Gilang Wahab memiliki kontribusi besar pada penyelesaian masalah sampah organik di kotanya. Sebagai seorang inisiator, penggerak, sekaligus penebar semangat kebaikan, ia pantas diganjar sebagai salah satu Penerima SATU Indonesia Awards 2021 untuk bidang lingkungan.
Pemuda Banyumas ini sekarang sibuk bepergian dari kota ke kota untuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak dalam penanganan sampah organik. Yang terbaru, Arky bersama Greenprosa, perusahaan limbah dan bioteknologi yang berpusat di Banjaranyar ini digandeng Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor untuk pengelolaan sampah khususnya jenis organik. Selanjutnya, proyek TSI Bogor akan menjadi percontohan di TSI lainnya.
Arky menekankan bahwa semangat untuk melakukan suatu hal yang bermanfaat perlu selalu dikibarkan. Baik bermanfaat untuk manusia, alam, dan lingkungan. Selain itu ia juga mendorong siapapun untuk memiliki semangat berbagi dengan sesama, berbagi ilmu juga pengalaman. Semangat seperti inilah yang harus kita miliki untuk memperbaiki kualitas kehidupan. Dan semangat kebaikan itu juga yang harus ditularkan membawa kemajuan bagi Indonesia di masa depan.
Referensi:
- https://www.mongabay.co.id/2023/01/05/baru-4-tahun-pemuda-ini-mampu-olah-60-ton-sampah-organik-begini-kisahnya/
- https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/12/17/arky-gilang-wahab-menjawab-darurat-sampah-di-banyumas
- https://www.radioidola.com/2021/mengenal-arky-gilang-wahab-pembudidaya-maggot-dan-pebisnis-olah-sampah-dari-banyumas/
- https://www.goodnewsfromindonesia.id/network/content/arky-gilang-wahab-sukses-olah-sampah-jadi-pundi-rupiah-eYrkS5