“Buk, besok aku sama teman-temanku mau dikasih obat cacing di sekolah. Boleh, kan?” begitu tanya Najwa pada suatu sore, sepulang dari sekolahnya di hari Kamis.
“Oh, obat cacing? Ibuk lihat kalender dulu, ya. Soalnya, seingat Ibuk tahun ini Kakak sudah minum obat cacing,” jawab saya sambil berlalu menuju kalender yang tergantung di salah satu dinding di rumah kami.
Setelah saya periksa, ternyata sudah lebih dari 6 bulan sejak terakhir kali saya memberi obat cacing untuk anak-anak. Saya pun segera mencari tahu perihal kebenaran ucapan Najwa kepada koordinator kelas. Dan ternyata info tentang pemberian obat cacing di sekolah Najwa memang benar, karena dilakukan juga di beberapa sekolah lainnya.
Program seperti ini bisa dibilang baru bagi saya dan Najwa. Sebelumnya, Najwa belum pernah mendapatkan obat cacing dari sekolah, kecuali pemberian vitamin A dan imunisasi dasar. Saya sendiri termasuk orangtua yang menyambut baik berbagai program kesehatan di sekolah anak, asalkan informasi yang disampaikan jelas.
Setiap jadwal pemberian imunisasi atau vitamin diinformasikan pada orangtua, biasanya saya akan mengecek catatan pribadi kesehatan anak. Sekedar untuk memastikan saja agar tidak terjadi pengulangan, atau jarak yang terlalu berdekatan.
Kayaknya emang nggak keren banget, ya, urusan obat cacing ini. Makanya nggak banyak orangtua yang membahasnya dengan sesama orangtua yang lain. Topik tentang cacingan pun sepertinya jarang diulas, nggak seperti pro kontra ASI atau sufor dan imunisasi.
Anak kecil cenderung bermain di mana saja, tak peduli tempatnya kotor atau enggak.
Padahal, cacingan ini disebut-sebut sebagai salah satu penyebab masih tingginya kasus stunting di negeri ini, loh. Bahkan, menurut data dari Kementerian Kesehatan RI, prosentasenya masih berada di angka 28,12 persen, yang artinya masih sangat tinggi. Dan kabarnya data ini pun belum mewakili seluruh daerah di Indonesia. Itu artinya, bisa jadi prosentasenya lebih tinggi untuk skala nasional.
Penyakit cacingan atau infeksi cacing disebabkan karena adanya cacing yang bersarang di dalam usus manusia. Meskipun ada banyak jenis cacing yang bersarang, misalnya cacing pita, tambang dan kremi atau gelang. Tapi efek yang ditimbulkan masing-masing cacing ini berbeda-beda saat menginfeksi tubuh manusia.
Misalnya cacing gelang. Cacing ini biasa bersarang dalam usus manusia. Panjang betinanya mencapai 20 hingga 35 sentimeter dan bisa bertelur hingga 200.000 biji. Cacing gelang bisa masuk ke dalam tubuh melalui mulut, makanan yang terkontaminasi cacing dan sentuhan. Gejala perut kembung, diare dan menurunnya napsu makan biasa ditemui pada penderitanya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan si penderita lemah kemudian malas beraktivitas.
Untuk infeksi cacing tambang beda lagi, karena ukuran cacingnya lebih kecil, yaitu betinanya hanya mencapai 1 sentimeter. Lava dari cacing gelang masuk ke dalam organ tubuh manusia melalui kulit. Tapi, seperti halnya cacing gelang, cacing tambang pun bersarang dalam usus manusia. Kemudian gigi-giginya melekat pada selaput lendir dan menghisap darah. Akibatnya banyak penderitanya mengalami anemia, berat badan turun kemudian mual dan diare seperti pada penderita infeksi cacing gelang.
Sedangkan infeksi cacing kremi merupakan yang paling sering kita temui. Cacing kremi sangat kecil dan begitu bertelur ia akan mati. Tapi, biasanya pada malam hari menyebabkan rasa gatal pada anus. Nah, pada saat tangan kita menggaruknya, cacing bisa terbawa lagi dan masuk melalui mulut. Selain itu cacing kremi juga bisa bermigrasi ke area kemaluan kita. Jika hal itu terjadi, maka perlu segera diambil tindakan pengobatan karena dapat menyebabkan infeksi saluran kencing.
Infeksi cacing dalam usus manusia dapat mengganggu penyerapan sari makanan, sehingga bisa berdampak stunting
Cacingan Bisa Menyebabkan Stunting
enurut Rospita, terdapat empat jenis cacing yang paling sering ditemukan di tubuh manusia. Di antara lain adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), cacing tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus) dan cacing kremi (Enterobius vermicularis).Cacing gelang hidup di dalam usus halus. Panjang betinanya bisa mencapai 20-35 sentimeter dan mampu bertelur hingga 200.000. Cacing gelang masuk ke dalam tubuh lewat mulut, melalui makanan atau sentuhan terhadap benda yang telah terkontaminasi.Pada cacing gelang, gejalanya berupa sakit perut, kembung, diare, dan berkurangnya nafsu makan. Akibatnya, pengidap cacing gelang menjadi lemah dan kurang bergairah melakukan aktivitas.“Pada kasus berat, bisa terjadi penyumbatan usus karena infeksi cacing gelang. Meski jarang terjadi, bila tak ditangani dengan cepat bisa menyebabkan kematian,” kata Rospita.Sementara itu, ukuran cacing tambang jauh lebih kecil. Cacing tambang betina hanya mencapai satu sentimeter. Meski demikian, larva cacing tambang bisa masuk melalui kulit.Bila telah masuk ke dalam tubuh manusia, cacing tambang akan hidup di usus halus. Gigi cacing akan melekat ke selaput lendir usus dan menghisap darah hingga menyebabkan anemia. Berat badan turun, pucat, tidak nafsu makan, mual, dan diare adalah gejala infeksi cacing tambang.Untuk cacing kremi, mereka punya tempat tersendiri untuk bertelur. Hidup di usus besar, cacing kremi akan turun ke anus untuk mengeluarkan 11.000 telur per cacing di malam hari.“Cacing kremi setelah bertelur akan mati. Tapi, ketika malam hari kita merasa gatal, digaruk, bisa masuk lagi ke mulut, saat makan misalnya. Kremi juga bisa migrasi ke kemaluan dan bikin infeksi saluran urin,” kata Rospita.Selain cacing gelang, cacing cambuk juga dapat menyebabkan anemia. Ukurannya mencapai 30-55 milimeter.Pada taraf ringan, infeksi cacing cambuk tidak disertai gejala. Akan tetapi, pada tingkat lanjut akan terjadi peradangan dan iritasi selaput lendir usus. Lalu, 0,0005 cc darah akan dihisap oleh cacing gelang setiap harinya.Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Jangan Sepelekan Cacingan, Risikonya dari Anemia sampai Kematian”, https://sains.kompas.com/read/2017/10/17/200000123/jangan-sepelekan-cacingan-risikonya-dari-anemia-sampai-kematian. Penulis : Lutfy Mairizal Putra
Kasus cacingan memang lebih banyak ditemui pada pasien anak-anak. Tapi, sebenarnya cacingan bisa menyerang siapa saja. Asalkan terjadi kontak langsung antara kulit dengan air kotor atau tanah yang kebetulan mengandung telur cacing, maka saat telur cacing mampu menembus lapisan kulit kita, atau terminum dalam air yang dijadikan konsumsi harian, saat itulah telur cacing akan terus bergerak menuju pembuluh darah dan tersebar dalam organ tubuh kita. Misalnya saja usus.
Di dalam usus, telur cacing akan menetas dan berkembang biak hingga ribuan jumlahnya. Nah, pada kondisi tersebutlah cacing-cacing itu akan menggigiti dinding usus kita dan ikut menyerap sari-sari makanan. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan asupan yang optimal karena harus berbagi zat baik dengan cacing yang “tak diundang”. Kalau terjadi pada orang yang sudah dewasa, mungkin kekebalan tubuhnya sudah jauh lebih optimal. Bagaimana kalau terjadi pada balita? Tentu efeknya tak sesederhana yang kita bayangkan.
Sebagian besar anak memang masih suka bermain di mana saja, tanpa memerhatikan lebih jauh kondisi lingkungan. Begitu pun halnya dengan bermain tanah, bermain di sungai atau sawah bagi anak-anak di pedesaan. Selain itu sistem imun anak yang cenderung belum sempurna, menyebabkan mereka masih rentan terserang berbagai jenis penyakit.
Salah satu hal yang paling dikhawatirkan dari penyakit cacingan adalah masalah gagal tumbuh, atau yang kini lebih dikenal dengan istilah stunting. Stunting sendiri sering dikaitkan dengan masalah gizi buruk yang kronis—yang berlangsung dalam waktu lama— yaitu sejak bayi hingga anak berusia 2 tahun. Atau biasa dikenal dengan istilah 1000 hari pertama kehidupan seseorang.
Kondisi cacing yang terus bersarang dalam usus seorang anak akan sangat mengganggu penyerapan nutrisi untuk memenuhi kebutuhannya. Itulah sebabnya penyakit cacingan tak boleh disepelekan. Diperlukan kontribusi dari berbagai pihak dalam membentuk kebiasaan hidup sehat khususnya pada anak.
Mencegah Cacingan
Cara mencegah cacingan sebenarnya sangat sederhana, karena inti dari menanggulangi penyakit ini adalah membentuk kebiasaan hidup sehat. Baik untuk lingkungan tempat tinggal, maupun sanitasi dan bahan pangan yang dikonsumsi.
Membuat Kebiasaan Hidup Sehat
Kebiasaan hidup sehat memang harus dimulai dari diri sendiri. Biasakan untuk menjaga kebersihan tubuh mulai dari ujung kepala hingga kaki. Rutin memotong kuku, mencuci rambut dan mandi minimal 2 kali sehari.
Hal sesederhana mencuci tangan dengan sabun dan air juga harus dijadikan prioritas. Sebelum makan, setelah bepergian atau buang air kecil maupun besar, jangan lupa untuk selalu mencuci tangan dengan cara yang tepat. Yaitu dengan air yang mengalir. Jika kebetulan memiliki kebiasaan menggigiti kuku, maka baiknya segera dihentikan karena sangat berpotensi menjadi jalan masuknya cacing ke dalam tubuh kita.
Selain itu biasakan memerhatikan sanitasi keluarga. Kebersihan kamar mandi, WC dan saluran air jangan sampai diabaikan, karena di situ merupakan tempat bersarangnya cacing dan beraneka kuman. Biasakan juga agar anak-anak tidak membuang “hajat” di sembarangan tempat.
Mengolah Makanan dengan Tepat
Di samping menjaga kebersihan tubuh dari luar, maka makanan yang masuk ke dalam perut kita juga patut diberikan perhatian ekstra. Sebelum mengolah, pastikan bahan makanan sudah dicuci bersih sehingga tanah atau sisa pestisida tidak terbawa dalam masakan. Begitu pula dengan proses pengolahannya, usahakan tepat dan sesuai untuk setiap jenis bahan.
Misalnya daging dan ayam, maka hindari memasak setengah matang. Atau jika memang menginginkan mentah hingga setengah matang, maka pastikan kondisi daging terbebas dari cacing dan kuman. Begitu pula jika ingin mengonsumsi sayur dan buah mentah.
Minum Obat Cacing
Pemberian obat cacing bisa dilakukan secara rutin setiap enam bulan sekali atau sesuai anjuran dari dokter dan ahli kesehatan. Jika sudah biasa mengonsumsi obat cacing yang dijual bebas, maka pastikan mengikuti dosis dan aturan yang disertakan. Biasanya, obat cacing bisa diberikan pada anak dengan usia 2 tahun ke atas. Pemberian obat cacing memang tidak harus dilakukan, tapi dipercaya sangat membantu mencegah terjadinya infeksi cacing pada anak maupun orang dewasa.
Setelah mengetahui berbagai cara penyebaran cacing dalam tubuh kita, serta efek buruknya bagi pertumbuhan dan kesehatan. Rasanya nggak mau lagi menyepelekan penyakit yang satu ini. Iya, memang terdengar kurang keren. Tapi bukan berarti mengabaikannya. Dan berhenti beranggapan bahwa cacingan hanya identik dengan kemiskinan, karena nyatanya siapapun bisa terserang.
17 thoughts on “Jangan Sepelekan Cacingan!”
Wah jadi inget Erysha, soalnya usianya lagi usia seneng eksplore sana sini termasuk bermain air atau tanah
Saya juga masih sering minum obat cacing, paling tidak sekali setahun padahal sudah setua ini yah? Biasanya kalau anus gatal larinya ke obat cacing. Kasihan juga tuh si cacing selalu jadi kambing hitam heheh
Setuju Mbak..musti waspada pada cacingan yang menyerang anak-anak.Oh ya ada pemberian obat cacing ya, di sekolah anakku belum. Baru-baru ini imunisasi difteri..Mungkin sebentar lagi 🙂
Waktu kecil saya dikira cacingan karena makan banyak tapi berat badan enggak naik, akhirnya tiap satu tahun sekali minum obat cacing abis itu berat badan naik. Geli jg kalo diinget2 kok bisa cacingan. Ternyata sering main kotor2an terus makan gak cuci tangan duh. Joroknya saya dulu, hehe.
Wah, apalagi anak-anakku yang setiap harinya main tanah tuh, ya. Udah bahagia banget mereka puas main tanah di sekolah. Harus betul-betul jaga kebersihan, tentunya.
Saya kemarin si kakak dua kali mbak. Jadi pas saya sudah meminumkan ee dua bulan kemudian sekolahnya ada program ini. Si mbak bilang ke bu bidannya kalau sudah minum dari rumah dua bulan lalu. Ee sama bidan tetap harus minum.
Wah jadi inget Erysha, soalnya usianya lagi usia seneng eksplore sana sini termasuk bermain air atau tanah
Saya juga masih sering minum obat cacing, paling tidak sekali setahun padahal sudah setua ini yah? Biasanya kalau anus gatal larinya ke obat cacing. Kasihan juga tuh si cacing selalu jadi kambing hitam heheh
Cacingang tidak mengenal kaya dan miskin. Jd perlu pola hidup sehat
Cacingang tidak mengenal kaya dan miskin. Jd perlu pola hidup sehat
Setuju Mbak..musti waspada pada cacingan yang menyerang anak-anak.Oh ya ada pemberian obat cacing ya, di sekolah anakku belum. Baru-baru ini imunisasi difteri..Mungkin sebentar lagi 🙂
Waktu kecil saya dikira cacingan karena makan banyak tapi berat badan enggak naik, akhirnya tiap satu tahun sekali minum obat cacing abis itu berat badan naik. Geli jg kalo diinget2 kok bisa cacingan. Ternyata sering main kotor2an terus makan gak cuci tangan duh. Joroknya saya dulu, hehe.
Wah, jadi inget kalo saya belum minum obat cacing tahun ini. Terima kasih sudah mengingatkan secara ga langsung, ya Mbak.
Aku juga udah lama nggak ngasih obat cacing ke anak-anak. Tengkyu remind-nya, Mbak.
Betul juga ya, orang kadang tidaks serius membahas tentang cacingan. Padahal sama-sama merugikan kesehatan juga ya…
Wah, apalagi anak-anakku yang setiap harinya main tanah tuh, ya. Udah bahagia banget mereka puas main tanah di sekolah. Harus betul-betul jaga kebersihan, tentunya.
Saya kemarin si kakak dua kali mbak. Jadi pas saya sudah meminumkan ee dua bulan kemudian sekolahnya ada program ini. Si mbak bilang ke bu bidannya kalau sudah minum dari rumah dua bulan lalu. Ee sama bidan tetap harus minum.
Di sekolah Kevin juga baru aja dikasih obat cacing ni Mba. Cuma, boleh diminum di rumah. Untung sih, soalnya aku belum sempet beliin kemarin hehe.
Pemberian obat cacing harus itu demi kesehatan anak² kita.Apalagi untuk sekolah² yang daerahnya sulit air bersih.
Agak merinding baca tulisan mba…bayangkan cacing itu sesuatuu…Apalagi bisa menjadi slh satu sebab stunting. Hidup bersih penangkal dari cacingan yes…
Waspadai cacing… hal yang mungkin kurang diperhatikan, ya
Saat baca ini saya benar2 menyesal membiarkan si kecil pipis sendiri. Takutnya dia gak cuci tangan setelah dari KM. Duh… Thx infonya mbak
Itu sampai umur dewasa ya, mbak? Kok saya sekarang nggak pernah lagi minum obat cacing.