Seperti biasa, saya bangun 3 jam lebih awal dari anak-anak. Setelah membuat draft untuk bahan postingan blog pada hari berikutnya, saya bergegas menuju dapur untuk membereskan gelas dan piring kotor bekas makan semalam. Melanjutkannya dengan membereskan rumah yang selalu berantakan karena anak-anak baru berhenti bermain saat jam tidur malam tiba.
Segera saya menuju lemari pendingin untuk mengecek stock sayur dan lauk untuk disajikan sebagai menu sarapan. Tapi kemudian saya baru teringat, Najwa dan Najib sudah pesan ingin makan telur rebus untuk sarapan pagi itu. Kebetulan sekali justru persediaan telur di rumah sedang habis. Maka sambil menunggu toko sembako di dekat rumah buka, saya melanjutkan dengan menyapu lantai dan membereskan cucian untuk dimasukkan ke keranjang setrikaan.
Tepat pukul 5 pagi, saya berangkat membeli telur ke toko yang berjarak 50 meter dari rumah. Dan 10 menit kemudian saya sudah berada di rumah kembali. Begitu masuk dapur, hal pertama yang saya lakukan adalah merebus telur untuk sarapan anak-anak. Sembari menunggu telur matang, saya pun merebus sayur, membuat sambal dan menggoreng ayam untuk menu sarapan yang lain.
15 menit berikutnya telur telah matang, dan tepat saat itu Najwa sudah bangun dan duduk di ruang tengah. Saya pun segera menyiapkan telur dan makanan lainnya di meja makan, mengoles roti dengan coklat sebagai pengisi kotak bekal, mengisi botol air dan menyiapkan seragam Najwa untuk hari itu.
“Kak, sudah waktunya mandi. Ibuk sudah siapkan semuanya.” Begitu saya berusaha mengingatkan Najwa untuk segera mandi.
“Sebentar, Buk. Sebentar lagi,” sahut Najwa masih di tempat duduknya.
Saya pun melirik jam dinding, memang masih pagi, sih. Masih cukup jika Najwa mau mengulur waktu sampai kurang lebih 15 menit lagi. Saya beranjak menuju meja kecil di sebelah rak buku yang mulai berjejalan isinya. Sambil menunggu Najwa mandi, saya berpikir masih punya waktu untuk meng-edit draft yang sudah setengah jadi.
Jari-jari saya mulai menyentuh kotak-kotak kecil di atas external keyboard yang tersambung pada laptop. Melanjutkan beberapa kalimat penutup sebelum nantinya meng-edit naskah secara keseluruhan. saat itu juga tiba-tiba mulut Najwa mengajukan satu pertanyaan pada saya.
“Buk, Ibuk tuh sampai kapan, sih, nulis-nulis kayak gitu?”
“Ya, sampai seterusnya, Kak. Karena Ibuk sudah berniat untuk bekerja dengan cara menulis seperti ini.”
“Masak setiap hari Ibuk nulis, emang berapa banyak buku yang mau dibuat? Masak mau buat buku terus?”
“Ibuk menulis bukan untuk membuat buku saja, tapi Ibuk juga menulis di blog. Kakak ingat, kan, cerita-cerita yang kapan hari Ibuk bacakan dari laptop Ibuk? Yang ada fotonya Najwa, Ayah, juga Adik?”
“Iya, tapi sampai kapan Ibuk mau seperti itu? Coba Ibuk kerjanya pergi ke kantor saja. Jadi kalau pagi Ibuk berangkat kayak Budhe atau Umminya Dinda. Setelah pulang, sampai di rumah sudah nggak kerja lagi. Kita cuma bermain.”
Saya mulai paham arah pembicaraan Najwa. Pasti dia mau saya main terus sama mereka. Karena sebelumnya Najwa sudah menyampaikan keinginannya itu. Pokoknya kalau anak-anak main, ibuk juga harus main. Nggak boleh masak, nggak boleh nyapu apalagi ngetik. Saya pun bernafas dalam-dalam, mencoba tidak terpancing emosi di pagi hari.
“Ibuk nggak punya kantor, Kak. Jadi semuanya dikerjakan dari rumah. Kalau Ibuk kerja di kantor, kakak mau ditinggal Ibuk sampai sore atau malam?”
“Iya, nggak pa pa.”
“Terus, Kakak sama siapa di rumah? Kita kan nggak punya, Mbak? akak mau dititipkan di penitipan?”
“Iya, mau. Di sana aku bisa main sepuasnya, kan?”
“Nggak juga, kalau waktunya main ya main, makan harus makan, tidur siang ya harus tidur. Nggak seperti yang Kakak bayangkan. Lagian Ibuk belum nemu tempat penitipan untuk anak sebesar Kakak.”
” Yawdah, kita cari Mbak saja.”
“Bilang Ayah dulu, kalau yang itu. Eh, tapi, kalau Ibuk kerja di kantor pun, di rumah Ibuk tetap menulis seperti ini. Karena Ibuk sudah terlanjur suka. Di Kantor kan nggak boleh semaunya sendiri , Kak. Harus bekerja sesuai perintah bosnya. Trus gimana, dong?”
“Aku tuh maunya Ibuk cuma nemenin main aku sama adik, jadi kalau kerja jangan di rumah. Atau pas aku tidur saja.”
Ahh, kepala saya rasanya mulai berat. Emosi mulai terpancing, mulut sudah pengen teriak. Tapi masih saya tahan, meskipun cara berbicara mulai terdengar emosional.
“Ibuk tuh tugasnya banyak, Kak. Memang seharusnya Ibuk selalu menemani kalian main, tapi Ibuk harus masak, belanja, menyiapkan bekal kakak, mencuci, menyapu lantai, mengepel, mengantar kakak sekolah, menemani kakak belajar di rumah, mengantar exkul. Belum juga kalau Dek Najib minta main keluar, Ibuk harus menemani juga. Jadi nggak bisa kalau Ibuk harus menemani Kakak main terus. Ada waktunya kita main bareng, ada saatnya juga Kakak harus menemani Adik bermain, sedangkan Ibuk beres-beres rumah, dan kalau masih sempat Ibuk minta waktu menulis sebentar saja.”
Nampaknya Najwa nggak mau menerima penjelasan saya. Dia pun mencari cara lain.
“Ya sudah, Ibuk nulisnya malam saja, pas aku, Adik, Ayah sudah tidur semua.”
“Biasanya juga gitu, Kak. Kalau badan Ibuk lagi nggak capek. Sekarang Ibuk nggak kuat tidur malam-malam. Badan Ibuk udah capek, pagi pun Ibuk bangun masih sangat pagi. Kalian aja kalau main sampai malam-malam, Ibuk belum bisa istirahat sebelum kalian tidur.”
Najwa diam, lalu saya menambahkan lagi.
“Menurut Kakak, Ibuk harus gimana?”
“Ya sudah, Ibuk boleh menulis, boleh kerjain apa aja di rumah. Tapi kalau aku ngajak main, Ibuk harus main sama aku.”
Begitu jawabnya sambil meninggalkan saya menuju kamar mandi. Saya diam, tidak mengiyakan atau menolak permintaannya. Karena saya tahu betul bagaimana sifat Najwa. Dia sangat suka berdebat dengan saya, kemudian kesal dan menangis kalau kemauannya nggak diikuti. Meskipun ujung-ujungnya baikan lagi.
Sepanjang hari saya memikirkan obrolan bersama Najwa tersebut. Menyesal kenapa saya jadi ikut-ikutan ngeyel sama anak-anak. Sempat sedih, goyah, bingung harus bagaimana. Tapi saya belum ingin membahasnya kembali. Saya butuh waktu untuk mengatur emosi. Saya benar-benar tidak menyangka, tiba-tiba saja Najwa tidak mendukung saya sama sekali. Padahal saya yakin betul dialah motivasi saya untuk terus berkarya.
Ya, sudahlah. Nampaknya weekend kali ini saya akan lebih banyak bersantai. Me-refresh semangat, hati, merekonsiliasi hubungan dengan anak-anak, terutama Najwa. Membuat kesepakatan baru dengan mereka dan tentu saja menyusun rencanayang lebih baik.
Wish me luck!
Tulisan ini diikutsertakan tantangan One Day One Post Oktober 2017 Blogger Muslimah Indonesia
#ODOPOKT9
Jadi keinget anakku yg pertama udah bisa protes, "Bunda jangan mainan hp/ leptop terus donk". Mak jleebb hedeeeeh "mainan" katanya :(Kalu udah gtu palingan ya instrospeksi diri aja knp anak ngira bundanya lbh banyak ngabisin waktu depan leptop timbang ma dia huhuhu 🙁
Anak bagaimanapun memang tetap untuk selalu ingin bersama ibunya ya mba. Hehhe 🙂
Dulu, pas awal demen di depan leppy, anak-anak ngira saya main game layaknya mereka…Jadi merengek minta main gadget juga. Tapi lama-lama ngerti, mungkin karena mereka usianya sudah di atas Najwa yaaa…Yang penting sih, tetap kontrol emosi saat ngobrol dengan mereka, meski tanduk sudah siap di kepala 😀