Menjadi orang tua merupakan sebuah pilihan dengan konsekuensi pengasuhan hampir di sepanjang usia. Dahulu, orang sering bilang bahwa segera setelah anak-anak meninggalkan masa balita dan kanak-kanak, maka tugas pengasuhan menjadi semakin ringan. Hal ini dikarenakan anak-anak mulai mandiri, tak perlu disuapi atau dimandikan lagi.
Zaman Berganti, Tantangan Pengasuhan Kian Rumit
Kenyataannya, pergeseran zaman yang diikuti dengan perkembangan teknologi dan informasi telah menghadirkan tantangan baru pada dunia pengasuhan. Orang tua seangkatan saya yang baru berkenalan dengan teknologi “dipaksa” untuk mengasuh anak-anak digital. Anak-anak yang hari ini kita asuh dan besarkan adalah mereka yang tanggap teknologi. Mau tak mau mereka pun segera bersinggungan dengan gawai, internet, smartphone, juga sosmed.
Kemajuan teknologi yang membuka berbagai peluang baru bagi anak-anak digital ini harus diakui merupakan tantangan baru dalam pengasuhan. Gangguan kesehatan mental, depresi, stres, bunuh diri menjadi kosa kata baru—yang dulunya tak lazim untuk diperbincangkan—kini telah menjadi salah satu topik perbincangan yang sangat diminati di dunia maya. Dibicarakan oleh siapa saja, tak terkecuali oleh remaja dan anak-anak.
Fakta Gangguan Kesehatan Mental pada Remaja di Indonesia
Gangguan kesehatan mental pada remaja bukanlah isapan jempol belaka. Menurut data pada tahun 2018, sebanyak 9,8% merupakan prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala depresi dan kecemasan untuk remaja berumur >15 tahun. Besar kemungkinan angka ini terus bertambah selama pandemi dan pasca pemulihan pandemi. Bahkan menurut data dari RSCM, selama pandemi ini gangguan kesehatan mental pada remaja meningkat hingga 100%.
Selain itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Sedangkan, dalam Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016, diperoleh data bunuh diri per tahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada 5 orang melakukan bunuh diri, serta 47,7% korban bunuh diri adalah pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.
Di Indonesia sendiri awareness terhadap gangguan kesehatan mental bisa dibilang meningkat cukup signifikan. Sayangnya, meningkatnya kesadaran tentang mental illness diikuti dengan meningkatnya perilaku mendiagnosis diri sendiri, yang bisa jadi salah, kemudian tidak mendapatkan penanganan yang tepat.
“Darurat Kesehatan Mental Bagi Remaja, Mengapa Kian Rentan?”
Berangkat dari rasa prihatin terhadap tingginya prosentase gangguan kesehatan mental pada remaja di Indonesia, pada Kamis 29 September 2022 yang lalu, FARAH.id, sebuah portal berita yang mengangkat isu seputar wanita dan keluarga Indonesia menggelar talkshow bertema “Darurat Kesehatan Mental Bagi Remaja, Mengapa Kian Rentan?”
Acara yang digelar di Sofyan Hotel Cut Meutia ini menghadirkan dua nara sumber yang kompeten di bidangnya, yaitu: Mona Ratuliu, public figure, pegiat parenting, sekaligus founder Parenthink. Juga Irma Gustiana A, Psikolog dan founder Ruang Tumbuh.
Dalam acara yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam ini, seluruh peserta mendapatkan banyak pengetahuan baru mengenai apa itu kesehatan mental, faktor penyebab gangguan kesehatan mental, dan perubahan apa saja yang terjadi pada seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental.
Selain itu, sesi yang paling ditunggu dalam parenting talkshow saat itu adalah sharing dari Mona Ratuliu mengenai pengalamannya dalam mendampingi Mima, putrinya. Mona akan membagikan pengalamannya ketika pertama kali Mima mengeluhkan adanya gangguan dalam dirinya. Hingga akhirnya, Mima dapat melalui naik turun dengan kondisi kejiwaannya, kemudian mampu membagikan pengalamannya bangkit dari depresi.
Apa Itu Kesehatan Mental?
Mengutip dari laman WHO, definisi kesehatan mental adalah kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, dapat bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya, atau berkontribusi pada lingkungan terdekatnya (anak, pasangan, tetangga, institusi tempat bekerja).
Itu artinya, individu yang mengalami gangguan kesehatan mental atau mental illness berada dalam kondisi sebaliknya, yaitu: tidak dalam kondisi sejahtera, tidak dapat mengelola stres, tidak bisa produktif, dan tentu saja tidak dapat berkontribusi pada komunitasnya atau pada lingkungan terdekatnya (anak, pasangan, tetanggam, institusi tempat bekerja).
Kesehatan mental terbagi dalam beberapa kontinum, yaitu: kontinum normal, kontinum bergejala, dan gangguan. Untuk penanganannya sendiri bisa dilakukan psikoterapi dengan ahlinya, juga medikasi oral sesuai saran dan anjuran dari ahli medis.
Kisah Mona Ratuliu Menyelamatkan Putrinya dari Depresi
Kita pasti berpikir bahwa survivor mental illness atau depresi pada kalangan remaja hanya mungkin terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dalam “keluarga bermasalah”. Atau, dengan kata lain, anak-anak dan remaja yang berpotensi mengalami mental illness memiliki kecenderungan berasal dari keluarga yang berada dalam kondisi tidak baik-baik saja.
Kenyataannya, seorang Mona Ratuliu yang kita kenal sebagai pegiat parenting pun tak luput dari permasalahan serupa. Mona Ratuliu dan suami merupakan representasi keluarga bahagia, hangat, harmonis, terdidik, dan cukup memberikan perhatian kepada anak-anaknya. Namun menjelang pertengahan tahun 2022 yang lalu, mereka harus menerima kenyataan pahit bahwa putrinya mengalami depresi.
Mima dan Gejala Mental Illness pada Usia Pra Remaja
Berita ini tentunya menjadi ramai dibicarakan karena sebagian besar orang berpikir, Mana mungkin putri Mona Ratuliu mengalami depresi? Kok bisa? Sejak kapan?
Ternyata, gangguan kesehatan mental yang dialami Mima tidak terjadi secara tiba-tiba seperti yang kita bayangkan. Mona mengisahkan bahwa, Mima mulai mengalami gangguan sejak SD Kelas 6 akhir, atau pada usia antara 12-13 tahun.
Kala itu, Mima sering mengeluhkan sakit perut dan sesak. Mona pun segera mengambil tindakan dengan melakukan pemeriksaan pada dokter. Namun, alih-alih mendapatkan diagnosa medis mengenai gangguan kesehatan pada perut dan pencernaan Mima, dokter justru menanyakan apakah Mima memiliki masalah di sekolah. Kemudian menyarankan pada Mona untuk membawa Mima berkonsultasi dengan psikolog. Meskipun pada awalnya Mona merasa “aneh” dengan saran dari dokter, namun pada akhirnya mereka melakukan sesi konseling dengan psikolog.
Masalah tak berhenti sampai di situ. Pada awal-awal usia SMA, Mona bercerita bahwa Mima mengalami kecemasan dan panik. Mona dan suami akhirnya memutuskan membawa Mima mengunjungi psikolog klinis untuk mendapatkan penanganan yang lebih tepat. Gangguan kejiwaan pada Mima pun terus berlanjut hingga pada April 2022 yang lalu Mima sering menangis tanpa tahu penyebabnya. Akhirnya, pada Mei 2022 yang lalu Mima menulis di sosial media bahwa dirinya adalah seorang survivor depresi.
Mima adalah seorang survivor yang sangat beruntung karena memiliki orang tua yang tanggap terhadap kondisi anak-anaknya. Mima juga sangat beruntung karena dibesarkan dalam keluarga yang menjalankan fungsi komunikasi dalam keluarga dengan sebagai mana mestinya.
Mima dapat mengomunikasikan kondisi kejiawaannya pada kedua orang tuanya. Ia pun berhasil bangkit dari keterpurukan dengan dukungan dari orang tua sekaligus orang terdekat, dan orang yang paling dipercayai olehnya.
Namun, bagaimana dengan anak-anak kita juga remaja di luar sana? Dapatkah kita melindungi mereka dari gangguan kesehatan mental? Apa saja faktor penyebab gangguan kesehatan mental yang dapat diwaspadai orang tua?
4 Faktor Penyebab Gangguan Kesehatan Mental
Dalam salah satu sesi dalam parenting talkshow berasam FARAH.id yang lalu, Irma Gustiana menyampaikan setidaknya terdapat 4 faktor pemicu mentall ilness pada diri seseorang.
Faktor Biologis (Genetik)
Seorang anak yang dilahirkan dalam keluarga dengan riwayat gangguan psikologis seperti depresi, bipolar, stres, memiliki kemungkinan mewarisi gangguan genetis serupa.
Lingkungan sosial
Meliputi lingkungan di mana anak dibesarkan, akses terhadap pengasuhan, dan bagaimana fungsi komunikasi dijalankan dalam lingkungan tersebut.
Kondisi Psikologis Seseorang
Resistensi setiap orang berbeda-beda sehingga pengelolaan stres juga berbeda. Anak-anak, remaja, dan orang dewasa perlu mempelajari dan mempraktikkan manajemen stres masing-masing.
Teknologi dan Sosial Media
DataWHO pada tahun 2019 menyebutkan bahwa teknologi dan sosial media berkontribusi besar terhadap kesehatan mental seseorang. Sehingga benar kiranya jika perkembangan teknologi dan informasi merupakan salah satu tantangan besar dalam pengasuhan generasi digital.
Sebuah riset membuktikan bahwa usia 14 tahun merupakan fase kemunculan perdana gangguan kesehatan mental pada remaja. Sehingga orang tua perlu waspada dan tanggap ketika anak-anak memasuki usia pra remaja yaitu pada usia 13, 14, dan 15 tahun.
3 Aspek yang Mengalami Perubahan Akibat Ganguan Kesehatan Mental
Meskipun diagnosa gangguan psikologis hanya dianggap akurat jika dilakukan oleh Psikolog melalui serangkaian tes dan sesi konseling, namun kita dapat mendeteksi beberapa aspek yang mengalami perubahan pada saat kondisi mental mengalami gangguan.
Gejala Fisik
Pada umumnya seseorang dengan gangguan mental akan mengalami masalah saluran pencernaan seperti asam lambung, diare, juga gerd. Hal ini dikarenakan organ pencernaan memiliki struktur yang menyerupai dengan struktur otak sehingga gangguan pada jiwa seseorang akan memengaruhi pencernaannnya. Selain itu perlu diwaspadai gangguan sakit kepala yang terjadi secara terus menerus, seperti: migren dan vertigo
Perubahan Emosi
Marah-marah, stres, mudah tersinggung merupakan perubahan emosi yang juga perlu diwaspadai. Selain itu perubahan perilaku seperti: ingin memukul dan membanting barang, keduanya juga perlu diwaspadai.
Penurunan Fungsi Kognitif
Terjadi penurunan konsentrasi, mudah lupa, ingin menyendiri, muncul keinginan untuk menyakiti diri sendiri.
Apabila seseorang atau remaja mengalami perubahan dari aspek-aspek yang disebutkan di atas, usahakan tanggap dan segera mencari pertolongan. terlebih jika intensitas perubahannya terjadi antara 2 hingga 6 pekan, maka sangat dianjurkan untuk segera melakukan sesi konseling atau meminta bantuan dari ahli medis.
Peran Orang Tua dalam Menangani Gangguan Kesehatan Mental pada Remaja
Berkaca dari pengalaman Mona Ratuliu dalam mendampingi sebagai survivor depresi, tentunya kita tidak dapat memungkiri besarnya peran orang tua dalam menangani mental illness pada remaja. Untuk itu orang tua perlu melakukan beberapa hal untuk meminimalisir gangguan psikologis pada remaja, di antaranya:
Memaksimalkan fungsi komunikasi
Komunikasi tidak seedar ngobrol atau berbagi cerita, namun dalam menjalankan fungsi komunikasi orang tua harus bersikap tanggap dan dapat membaca situasi anak.
Menerapkan Digital Parenting
Dalam hal ini orang tua tidak harus lebih jago dari anak dalam urusan digital, karena pada kenyataannya orang tua jauh tertinggal di belakang. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam digital parenting meliputi:
- Pengenalan teknologi sesuai usia dan kebutuhan anak.
- Membuat batasan penggunaan gawai.
- Sesekali mendampingi anak saat menggunakan gawai.
- Menyeimbangkan dengan aktivitas fisik di dunia nyata.
- Menerapkan demokratic parenting sehingga anak lebih kritis terhadap pengaruh negatif dari dunia digital.
Hindari judgemental dan over critics
Pada dasarnya manusia tidak suka dikritik, begitu juga dengan remaja dan anak-anak. Yang dibutuhkan remaja adalah rasa aman, dipercaya dan dapat mempercayai, rasa nyaman, sehingga jika ada masalah mereka tahu harus mencari bantuan ke mana.
Tata kelola pengelolaan emosi
Orang tua perlu mempelajari dan mempraktikkan tata cara pengelolaan emosi sehingga tidak mudah “meledak” ketika mendapati remaja dan anak-anak dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja.
Kesimpulan
Berdasarkan data-data yang telah dihimpun maka kita perlu bersepakat bahwa gangguan kesehatan mental pada remaja memang sudah berada pada situasi darurat. Untuk itu perlu dukungan lintas sektor untuk menangani masalah yang mulai mengancam generasi penerus bangsa ini.
Di samping itu, orang tua memiliki peran penting untuk menyelamatkan remaja dan anak-anak dari gangguan kesehatan mental yang semakin mengkhawatirkan. Orang tua perlu bersikap terbuka terhadap masalah kesehatan mental pada remaja, tanggap dan hindari bersikap abai terhadap setiap keluhan anak.
Pas banget, mental kini sangat riskan dan goyang menurut aku, jangankan remaja, anak anak dan dewasa bisa kena loh, apalagi setelah usai 2020 dan 2021 kemarin semua sudah normal tetapi justru menimbulkan masalah baru jika kita tak siap
Memang benar sih tantangan mengasuh anak saat ini berbeda dengan zaman dulu. Kalo sekarang jauh lebih sulit, apalagi perkembangan teknologi yang begitu masiv. Nah ini nih efek dari teknologi dan medsos cukup berkontribusi besar terhadap kesehatan mental seseorang. Ih ngeri banget…. Semoga putra putri dan juga kita semua dijauhkan dari gangguan kesehatan mental ini, aaamiiin
Memang gangguan kesehatan mental ini sekarang paling banyak dialami orang-orang termasuk remaja ya, Kak. Kita tentu wajib aware, tapi juga jangan self-diagnosed ya, Kak.
kalau ada gangguan kesehatan mental sebaiknya dikonsultasikan ke ahlinya yaa.. melakukan diagnosa sendiri itu malah gawat. kalau ada gejala, mending langsung konsul aja menurutku kak.. tapi info kayak gini penting sebagai wawasan juga
Jujur aja aku baru tahu lho mbak kalau Mona Ratuliu itu pegiat parenting. Taunya ya artis biasa aja. Pas lihat instagramnya ternyata inspiratif banget ya beliau ini.
Haturnuhun kak Damar.
Ini menjadi wacana dan pengetahuan yang baik sekali bagi orangtua supaya aware dengan keadaan terdekatnya, tapi tidak melupakan kondisi mental health diri sendiri juga.
Aku merasa memang terlalu banyak sosial media ini, selain membuat kita FOMO juga terkadang jadi ovt dan pada akhirnya membuat kondisi mental yang tidak sehat.
Kudu seringkali di maintenance juga kali ya..
Agar mental tetap dalam kondisi under control.
Aku salut dengan Mona Ratuliu dan keluarga. Mau berbagi dengan kita semua mengenai pengalaman luar biasanya mendampingin ananda agar bisa kembali dalam pelukan keluarga.
ngeri ngeri sedap ya isu mental illness dan mental health belakangan ini terutama buat anak-anak remaja, harus mulai bersiap jadi orang tua yang tanggap digital dan isu-isu kesehatan mental juga nih, apalagi anak-anak yang baru-baru pada lahir masuk golongan generasi alpha
Ikut acaranya jadi nambah ilmu makin banyak ya mba, btw memang betul sih lingkungan dan sosmed bisa bikin merusak mental kalau kita ga bijak menggunakannya, banyak pengalaman yang saya baca seperti itu, jadi mari kita jaga kesehatan mental kita agar tetap sehat
Noted setiap ciri2 gangguan kesehatan mental pada remaja. Harus aware ya karena migren dan vertigo juga bisa menandakan kesehatan mental terganggu. Setuju banget, kalau sekarang orang tua harus bisa menerapkan digital parenting juga.
Akhir akhir ini, kesehatan mental jadi sesuatu yang banyak diperbincangkan ya mbak
Makanya nggak ada salahnya untuk tetap aware dgn isu ini
Termasuk Mengenali gejala gejalanya
menjadi orang tua tidaklah mudah, banyak PR dan rintangan yang harus dihadapi, namun jika komunikasi berjalan dengan baik tentu akan lebih mudah untuk mencari solusi.
anak pun juga harus bisa terbuka pada orang tua sebagai orang terdekat yang bisa membantu dan bertanggung jawab terhadap perkembangannya.
selalu salut dengan keluarga Mona Ratuliu ini, anak-anaknya pun juga sangat terbuka pada orang tua dan tidak mencari tahu ataupun menjugde dirinya sendiri akan apa yang dirasakannya yang belum tentu sesuai dengan yang dipikirkannya.
Tulisannya lengkap dan bisa jadi referensi untuk identifikasi masalah kesehatan mental. Thank you, Kak, sudah berbagi. Memang isu kesehatan mental bukan hanya sekadar isu sih saat ini. Nggak cuma orang dewasa, bahkan banyak juga ya anak-anak yang mengalami gangguan mental. Semoga semakin banyak orang tua yang aware nih, seperti Mona
Anak sekarang menurutku tidak setangguh anak dulu ya mbaa…gampang frustasi kurang gigih. Naah kasus2 gangguan mental anak remaja apalagi di kota besar banyak. Baru tadi siang aku diskusi masalah anak di sekolah anakku, ada yg suka mengadu domba sampai bener2 berantem hebat ternyata si anak ortunya bercerai dia ikut pakdhenya.
Itu baru salah satu kasus yaa banyak banget td crita2nya.
Memang betul, kesehatan mental pada remaja itu bukan isapan jempol belaka. Perlu duduk bersama supaya anak mau terbuka. Dan gak mudah loh membuat anak mau “bicara”