Pict by: @bastianpribadi |
Jakarta itu debu Jakarta itu macet Jakarta itu banjir Jakarta itu yel-yel demo buruh Jakarta itu mal Jakarta itu pedagang kaki lima yang mati-matian membela kiosnya Jakarta itu rumah kumuh yang berderet sepanjang rel kereta yang satu demi sati dibongkar polisi tata kota Jakarta itu berangkat subuh pulang magrib Jakarta itu ondel-onde Jakarta itu Pak Ogah yang setia menunggu di di tikungan jalan Jakarta itu jerit klakson mobil Jakarta itu angkot tua yang batuk-batuk mogok persis di tengah jalan Jakarta itu terhimpit ka-er-el yang menunggu sinyal keberangkatan.
Berulang kali kuulangi larik demi larik pada halaman 124 Hujan Bulan Juni. Berulang kali pula aku tersenyum sendiri. Apa yang dituliskan Sapardi Djoko Damono pada lembar terakhir bab ketiga novel tersebut sangat mewakili perasaanku. Tapi itu dulu, sekitar 5 tahun yang lalu, saat gundah gulana bergelanyut tak menentu.
Pagi ini aku sengaja mengambil jeda dari rutinitas harian. Melangkahkan kaki ke lantai atas. membuka pintu untuk kemudian duduk di sebuah bangku kayu. Tak pernah terbayangkan di benakku akan menikmati Jakarta yang sekarang ada di hadapanku. Gelap, sepi, bahkan tiupan anginnya pun mulai menusuk-nusuk dadaku.
Pict by @bastianpribadi |
Anganku kembali pada potongan kisah sekitar 5 tahun yang lalu. Aku tak mampu menutupi perasaan gelisah dan bimbang untuk menjadi bagian dari ibukota negeriku. Terlalu besar tantangan yang harus kuhadapi. Terlebih karena harus meninggalkan kenyamanan yang hampir membuatku terlena tanpa upaya untuk terus memacu diri.
Jakarta semakin menakutkan saat menjadi bahan beradu pendapat dengan lelaki yang menjadi teman hidupku. Kudu siap rekoso, ora perlu nelongso. Kata-kata itu semakin menggalaukanku. Kenapa harus ke Jakarta jika hanya cari rekoso, nelongso. Mengapa tak dilanjutkan saja kehidupan yang sekarang tak sekedar nrimo.
Ahh, tapi itu dulu. memang semua hal hanya akan menjadi bayangan jika hanya dibayang-bayangkan. Hingga kumantapkan langkahku untuk menapak di kota yang menjadi penjuru negeriku. Berkereta malam bersama gadis kecil yang menjadi saksi kegalauanku. Hingga nanti tiba waktunya kami tertawa bersama, di Jakarta yang mengukir banyak pelajaran.
Stasiun Jatinegara menjadi saksi pertemuan kami dengan laki-laki 180 cm pada dini hari yang riuh. Mulai pagi ini, inilah kehidupan baru rumah tangga kami. Menyatu tanpa jarak yang harus ditempuh kala kalender menunjukkan baris terakhir di bulan itu.
Jakarta tak terlalu silau kala itu. Ah, podo wae. Tiap hari pun aku masih berbahasa Jawa bersama kanan kiriku. Tak ada sikap acuh tak acuh seperti yang sedia kala orang ucapkan untuk menggambarkan ibukota. Tapi tetap saja aku hampir menyerah saat itu. Karena sebungkus nasi untuk sarapan tak lagi 2.000. Kadang 5.000, 8.000, bahkan 10.000.
Pict by @bastianpribadi |
Hari berganti minggu. Minggu pun tak sungkan menyambut bulan dan tahun. Bobot badanku turun 5 kilo. Itulah kenanganku saat pertama kali mudik kala lebaran 5 tahun yang lalu.
Semua orang mengira aku nggak akan betah jadi bagian ibukota. Mereka pun mengira pikiran telah menggerogoti lemak di tubuhku. Ahh, kalian sok tahu. Sekali lagi bukan karena itu. Sebenarnya karena aku merindukan aktivitas rutin bergincu kemudian memacu kendaraan ke tempat kerjaku dulu. Hal yang paling kurindukan untuk saat itu.
Kucoba menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas dan bergabung dalam komunitas. Meskipun ini tak serta merta menambal “kehilangan” yang kurasakan. Tapi harus kuakui aku belajar banyak hal tentang Jakarta dalam kegiatan baruku.
Jakarta menyuguhkan perspektif baru. Jurang pemisah yang tanpa sengaja tercipta di tengah kota ini, membuatku mulai melihat kehidupan dengan cara baru. “Di Jakarta nggak cuma orangnya yang berebut jalan, tikus got pun nggak mau kalah berebut dengan sesamanya.” Begitu kata suami pada suatu waktu. Sepertinya aku pun mulai memahami semua itu.
Jakarta memang keras, tapi dia menyediakan kesempatan bagi siapapun yang mau mencoba. Kemampuan tentu saja menjadi modal utama, tapi apalah artinya jika tak ada kemauan yang mendorongnya.
Jakarta memang menyediakan banyak “jurang”, tapi siapapun bisa melalui jurang-jurang itu dengan keyakinan. Memiliki kepercayaan diri, membuang jauh rasa malu dan gengsi menjadi kuncinya.
Jakarta terlalu campur aduk hingga kita bisa melihat Indonesia dalam versi mini di dalamnya. Tapi di tempat inilah kebhinekaan tak sekedar menjadi pajangan. Karena pendidikan toleransi langsung memiliki ruang untuk diaplikasikan dalam keseharian.
Lamunanku buyar saat silau dan jerit klakson menggantikan suasana Jakarta yang kutemui saat bangun tadi. Hm, rupanya aku mulai jatuh cinta pada kota ini. Kota yang menyuguhkan segala rupa kehidupan. Kota yang kuakui memanjakan penghuninya dengan fasilitas. Kota yang tak pernah “sepi” tapi menyediakan ruang untuk lebih mengenal diri. Kota yang mendidikku memiliki cara pandang yang baru, meskipun tak mampu menyingkirkan karakter asliku.
Ibarat usia pernikahan, aku telah melalui 5 tahun pertama yang penuh tantangan. Selamat datang tahun-tahun berikutnya. Be nice to me.
Jakarta memang luarbiasa mba, aku jadi inget kali pertama bekerja diterima di salah satu perusahaan Jakarta sementara aku tinggal di Bekasi. Selepas solat subuh sudha ramai sekali orang-orang yang rebutan bis salah satunya aku. Pulang pun sama rebutan bisa sampe rumah badan rontok akhirnya aku ga kuat cukup seminggu menikmati Jakarta dan minta mutasi ke Bandung hingga aku menikah menetap di Bandung coret hehehe
Tadinya saya juga berat banget mau ke Jakarta. Tapi karena terpaksa ya akhirnya menikmati. Skrg suka galau kalau kelamaan di kampung. Kangen ketoprak yang tiap hari lewat. Hehehe
Ikut senang, Mbak … 5 tahun pertama terlalui dan merasa mantap menjalani tahun-tahun berikutnya. In syaa Allah akan lebih mudah 🙂
Amin, terima kasih Bunda.Semoga semakin istiqamah 🙂
Beda tipis kita Mbak, aku 8 tahun sudah di Jakarta..Dan, jatuh cinta? mau enggak mau iya..Meski kadang masih terselip doa semoga bisa mencicipi daerah baru lagi..hihihi..
Iya, beda dikit banget. Saya juga kadang masih pengen nyobain kota lain, Mbak. Tapi suami masih konsen mengembangkan karier di sini. Ya, kayaknya untuk saat ini emang paling pas ya Jakarta sih
Sudah lama ya Mbak tinggal di Jakarta, semoga ke depannya lebih baik lagi.
Sedengan aja Mbak. Amin, semoga makin kerasan 🙂
Wah cerita Jakarta ini mengingatku saat usia 20tahun merantau kerja di Jakarta. Dan merasakan KRL dan busway yang penuh sesak saat jam pulang kerja adalah pengalaman yg berkesan. Yup seperti mb Damar, Jakarta pernah mendidikku. Ketika aku semakin mencintai kota itu, aku harus kembali ke kota asalku 🙂
Di mana pun itu, setiap tempat pasti mendidik kita kok. Yang penting enjoy menjalaninya 🙂
Hebaaaatt sudah melewati tahun ke 5, membaik terus di tahun-tahun berikutnya ya mba. Salam kenal dari Jogja. ^_^
Siap Mbak, salam kenal juga dari Jakarta. 🙂
Salam kenal mba :)Jakarta adalah tempat yang seru untuk beraktifitas. karena setiap hari pasti ada cerita yang baru. aku juga sempat tinggal di Jakarta dari kecil sampai SMA :)Jakartanya tinggal dimana mba?
Halo Mbak Egy, saya di kelnder Jaktim. Wah, Mbak Egy malah udah lama banget, udah hafal Jakarta nih
Entah kenapa,.meskipun terkenal keras aku pengen ngerasain tinggal di Jakarta hehee
Hehehe, menantang Mbak. 🙂
Iiiih sukaaa gaya bertuturnya Mbak Damar, berasa baca buku gitu. Ayooo Mbak bikin bukuuu lagi hehehe, ke Jakarta aku kan kembali. Saya belum punya kesempatan hidup di Jakarta, langsung merantau ke luar Jawa
Aku malah pengen ke luar Jawa, Mbak. Tapi bukan sekarang tentunya, Heheheh
Iya Mbak, biar Dilan aja yang mgrasain, heleh TerDilan
Intinya haruis dibawa enjoy aja Mbak 🙂
Insya Allah terus berbenah Mbak. Biar orang-orang pada betah hehehe