Tanah masih basah saat kami berempat melangkahkan kaki ke luar rumah. Pagi itu gerimis kecil kembali turun di Jakarta, setelah sehari sebelumnya hujan deras mengguyur selama berjam-jam. Saya yang tipe prepare abis tak lupa membawa perlengkapan, bekal dan baju ganti karena khawatir hujan deras kembali mengguyur ibukota. Kata orang, biasanya kalau Imlek bakalan hujan seharian. Tapi sepertinya tidak untuk hari ini.
Hampir satu jam ketika commuter line yang kami tumpangi berhenti di peron stasiun Jakarta Kota. Tidak seperti biasanya, hari ini stasiun cenderung sepi penumpang. Tadinya saya menyangka karena tanggal merah, sehingga orang-orang memilih menghabiskan waktu di rumah. Tapi ternyata saya salah, karena di luar stasiun jalanan sangat padat bahkan mulai macet. Ternyata, kami yang terlalu siang sampai di Jakarta Kota.
Nuansa Tionghoa mulai terasa saat kami memasuki jalan Keadilan. Kami sangat beruntung karena sempat bertemu dengan seorang bapak yang sedang melakukan ritual membakar uang mainan dari kertas, untuk dipersembahkan pada leluhurnya. Untuk kami yang biasanya melihat ritual ini dalam film-film Mandarin, apa yang dilakukannya tentu sangat menarik, sehingga sayang jika tidak diabadikan.
Kami segera turun dari bajaj, berjalan menyusuri jalanan yang penuh sesak menuju pintu masuk vihara. Lampion berwarna merah menghiasi jalanan sepanjang vihara hingga bagian dalam. Selain itu, lilin dan aroma dupa terasa menyengat saat kami menginjakkan kaki di pelataran.
Pada saat perayaan Imlek, umat Tridarma memang selalu datang ke vihara untuk membakar dupa kemudian berdoa. Selain itu mereka pun saling bercengkerama dengan teman atau saudara yang kebetulan bertemu di area vihara.
Pagi itu perayaan Imlek memang dipusatkan di Vihara Darma Bakti. Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta pun datang ke sana untuk mengikuti acara perayaan. Jalanan semakin ramai dengan aparat keamanan yang menjaga dari area pasar hingga bagian dalam vihara. Mobil-mobil milik stasiun TV lokal turut memadati area vihara untuk ikut berburu berita.
Kami pun tak mau kalah berburu tempat untuk mengabadikan gambar.Dan beruntung karena berkesempatan melihat dari jarak dekat interaksi warga dengan Wakil Gubernur yang datang lebih awal. Sedangkan 15 menit kemudian, Gubernur DKI hadir bersama rombongan lainnya.
Saat kerumunan rombongan Gubernur mulai berkurang, kami tak menyia-nyiakan waktu untuk segera memasuki area-area yang dibuka untuk umum. Mengamati ritual yang dilakukan umat Tridharma, mengambil gambar dan memberikan penjelasan pada Najwa yang banyak bertanya. Momen ini memang sudah kami persiapkan untuk mengenalkan tradisi dan keragaman pada anak-anak. Maka kami pun sangat siap menjawab, termasuk ketika Najwa bertanya tentang, “Apakah ini tempat berdoa? Apakah mereka berdoa pada Tuhannya?” Maka saya pun mengiyakannya, dengan memberikan sedikit penjelasan yang dapat dipahaminya dengan sangat mudah.
Setelah puas melihat-lihat dan mengambil gambar di wilayah vihara. Kami melanjutkan berjalan kaki di daerah sekitarnya. Sayang sekali hari itu toko-toko di sana sedang tutup karena perayaan Imlek. Padahal, tadinya kami ingin mengunjungi beberapa toko souvenir atau makanan khas Tionghoa. Tapi sepertinya kami datang pada saat yang kurang tepat. Sehingga keinginan mencicipi Kopi Es Tak Kie pun sirna begitu saja.
Sesampainya di wilayah belakang vihara, kami kembali berhenti untuk melihat kelenteng kecil yang berdiri di mulut gang di Jalan Kemenangan. Beberapa orang juga melakukan ritual serupa di sana. Membakar dupa, berdoa kemudian mempersembahkan sesaji untuk leluhurnya.Selesai mengambil gambar, kami pun bergegas dan berhenti kembali ketika bertemu dengan sebuah gereja katolik yang rasanya sayang jika tidak kami singgahi untuk melihat keunikan arsitekturnya.
Selain ornamen khas Imlek yang berupa lampion, lilin berwarna merah dan dupa, di bagian depan gereja terdapat 2 buah patung singa yang melambangkan kemegahan bangsawan Tionghoa. Tak hanya itu, gereja ini pun menggelar misa dengan bahasa Mandarin khusus pada hari Minggu pada pukul 4 sore.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Romo dan mengambil beberapa gambar di area gereja. Kami pun merasa lelah dan berniat mengakhiri acara jalan-jalan di wilayah Petak Sembilan. Kebetulan suara adzan juga telah berkumandang dari masjid yang terletak tidak jauh dari sana. Maka kami pun bergegas, karena suami dan Najib harus mengikuti ibadah salat Jumat.
Perjalanan hari itu sebenarnya lumayan melelahkan, tapi kami semua sangat menikmatinya. Terlebih karena dapat melihat langsung keragaman yang menjadiciri khas Indonesia.
Sebuah pelajaran bagus bagi duo naj
Wah, seru banget perjalanannya mbak. Luigi pernah aku ajak di tempat ibadah agama lain. Tapi dia belum ngerti. Hehe. Salam kenal mbak 🙂
Sisi lain kota Jakarta. Seru banget jalan-jalannya 🙂
Wah main ke Vihara gini jadi inget ke Budha Relic di Singapur. Beberapa kali saya dan teman menghentikan langkah karena umat Budha yang lagi berdoa, jadi nggak mungkin kami melintas di depan mereka yang lagi ibadah. Kalau Gereja, saya belum pernah masuk, karena belum tau Gereja wisata di sini atau mungkin di tempat lain. Seru Buk Naj liburannya, sekalian mengajarkan bocah2 ttg toleransi ya.
Seru ya mba, bisa ke glodok saat perayaan imlek. Dekor warna merahnya cantik. Duh, baca mie ayam, malah jadi ikutan lapar. 😀
Pernah kesini enggak pas imlek..pasti kalau lagi imlek auranya berbeda. Apalagi pas hari Jumat ya..Jadi saksi keragaman keagamaan:)