Menuntaskan Jakarta Writingthon Festival 2019 (bagian 1)-Audisi Finalis hingga Bimbingan Teknis

Stasiun Jatinegara sengaja kupilih sebagai materi penulisan ikon Jakarta Timur. Bukan tanpa alasan jika akhirnya bangunan cagar budaya ini yang kemudian menarik perhatianku, karena sebagai perantau, Stasiun Jatinegara merupakan tempat pertama yang kusinggahi ketika memutuskan mengadu nasib di Ibukota.

Iya, bagi perantau dari Jawa, Stasiun Jatinegara merupakan tempat pemberhentian kereta pertama di wilayah Jakarta. Itu sebabnya aku pun memilihnya sebagai bahan penulisan Audisi Finalis HIkayat Kotaku untuk event Jakarta Writingthon Festival 2019, yang berlangsung pada April 2019 yang lalu. Stasiun Jatinegara tak hanya menyimpan jejak sejarah perkembangan perkeretaapian di Jakarta, tapi juga menjadi salah satu wilayah penting dalam perkembangan Jakarta Timur di masa mendatang. Sedangkan bagiku. Stasiun Jatinegara adalah tempat di mana keputusan sebagai perantau Ibukota kami bulatkan.

 

Kurang lebih seribu kata dan beberapa foto Stasiun Jatinegara kugunakan untuk melengkapi essai yang berjudul “Stasiun Jatinegara dalam Pusaran Cerita”. Seperti biasa, aku mengirimkannya menjelang deadline berakhir. Minim ekspektasi, karena sejak awal persyaratan usia sempat mengganjal jalanku. Maka seperti biasa, kirim dan lupakan. Biarkan setiap tulisan menemukan pembacanya. Biarkan setiap karya bertemu dengan takdirnya.

Pengalaman Baru Menulis Hikayat Sebuah Kota

Tak berselang lama dari deadline pengiriman naskah, pengumuman finalis pun tersebar di dunia maya. Melalui akun instagram Aksara Maya—salah satu penyelenggara kompetisi menulis, Mas Taumy yang kebetulan juga terpilih sebagai salah satu finalis me-mention namaku di kolom komen postingan tersebut. Ya, kami kembali bertemu dalam writingthon bersama Bitread setelah sebelumnya tergabung sebagai alumni Writingthon Asian Games 2018. Selain kami, sebenarnya masih ada Mbak Muyassaroh—founder Estrilook yang juga lolos sebagai finalis. Tapi sayang, karena alasan keluarga beliau mundur dan posisinya pun digantikan oleh peserta lainnya.

Tidak seperti kompetisi menulis yang biasa kuikuti, Jakarta Writingthon Festval 2019 merupakan kompetisi menulis yang bersifat pendampingan dalam kelas menulis. Hal tersebut baru diinformasikan kepada peserta pada  acara tehnical meeting yang dilaksanakan di Kantor Walikota Jakarta Timur, 3 hari setelah pengumuman pemenang.

Meskipun ini bukan kompetisi pertama, tapi jujur aku sempat merasa berat dengan run down kegiatan yang lumayan panjang. Jakarta Writingthon Festival 2019 akan dilaksanakan dalam jangka waktu kurang lebih 3 bulan. Di mana selama 2 bulan pertama berupa bimtek penulisan, kemudian riset dan proses menulis dengan pendampingan mentor. Dilanjutkan pengumpulan karya dan pengumuman pemenang kurang lebih 15 hari berikutnya.

Nah, kabar kurang baiknya, ternyata dari seluruh finalis yang berjumlah kurang lebi 30 orang, nantinya hanya yang terpilih sebagai pemenang saja yang akan mendapatkan hadiah. Ini sungguh mengejutkan dan berbeda dengan writingthon-writingthon yang sebelumnya, di mana peserta dengan artikel terpilih otomatis berstatus pemenang dan mendapatkan hadiah. Tugas berikutnya hanya bersenang-senang, bekerja sama untuk menulis satu buku antologi sesuai tema dari penyelenggara.

Sempat berpikir untuk mundur dari kompetisi ini. Bagi perempuan berumah tangga sepertiku, mengikuti kompetisi dengan rentang waktu yang sepanjang itu rasanya terlalu melelahkan. Baik dari segi tenaga maupun pikiran.

Aku pun sempat berulang kali mendiskusikannya dengan Pak Bas. “Kalau menurutmu perlu, ya lanjutkan.” Kalau tidak salah hanya begitu saran darinya. Itu artinya, aku harus menemukan alasan mengapa aku perlu menjadikan tulisanku sebagai salah satu bagian buku “Hikayat Kotaku”.

Bimtek Menulis dan Perubahan Materi Tulisan yang Mengharuskan Peserta Melakukan Riset Ulang

Akhirnya, setelah menemukan alasan mengapa aku harus menulis di buku “Hikayat Kotaku” ini, aku pun lanjut untuk menuntaskan apa yang terlanjur kumulai. Bertempat di Sudin Perpustakaan Jakarta Timur, di Rawa Bunga, bimtek menulis yang merupakan acara pertama dalam rangkaian Jakarta Writingthon Festival 2019 pun kuikuti selama 2 hari. Bersama Bitread Publishing yang bertindak sebagai pengampu materi kepenulisan, mentoring sekaligus penerbitan karya, seluruh finalis pun mendapatkan pengetahun menulis dari dasar. Termasuk bagaimana melakukan riset dan menyiasati tema yang minim data juga jejak peninggalan.

Meskipun lumayan melelahkan, jujur selama 2 hari mengikuti bimtek, akulumayan me-refresh pengetahuan menulis yang selama ini memang hanya kupelajari secara otodidak. Di samping itu, kami juga mendapatkan pengetahuan tentang teknik fotografi. Memang tidak mendalam karena waktu yang disediakan panitia hanya 2 jam. Tapi cukuplah. Cukup menghibur di tengah tekanan karena pengumuman skema penulisan karya yang lumayan mengejutkan.

Dalam bayangan kami, finalis hanya melanjutkan dan memperdalam tema yang sebelumnya sudah diajukan sebagai contoh karya dalam audisi. Tetapi, ternyata kami harus menulis tema baru yang  terbagi dalam 4 kelompok. Adapun tema-tema tersebut meliputi Profil Jakarta Timur, Landmark, Sosok dan Kuliner Khas Jakarta Timur.

Selain itu, peserta juga dibagi dalam dua kategori. Di mana dalam satu kelompok terdiri dari penulis essai dan fotografer. Ini benar-benar mengejutkan, karena seorang yang bertugas sebagai fotografer otomatis harus melakukan riset lebih dari satu tema penulisan, tergantung berapa penulis essai yang harus disediakan fotonya.

Aku sendiri mendapatkan tema Sosok Jakarta Timur  dengan dua penulis essai yang harus kusediakan fotonya. Adapun sosok yang kami angkat adalah “Panglima Perang Klender” dan “Srigunting”.  Itu artinya, aku harus melakukan riset untuk minimal 2 tempat. Meskipun kenyataannya lebih, karena keterbatasan sumber data dan informasi yang tersedia.

Nah, sampai di sini kompetisi dan kerjasama yang sesungguhnya baru akan dimulai. Seperti apa kelanjutannya? Kejutan-kejutan apa yang menanti seluruh finalis? Lalu, mengapa aku merasa perlu menulis untuk “Hikayat Kotaku”, semuanya aku tulis di postingan berikutnya, ya. See you!

 

 

 

 

 

 

31 thoughts on “Menuntaskan Jakarta Writingthon Festival 2019 (bagian 1)-Audisi Finalis hingga Bimbingan Teknis”

  1. Biarkan setiap tulisan menemukan pembacanya. Biarkan setiap karya bertemu dengan takdirnya.
    Dan ternyata tulisan Mbak Damar selalu bermuara di tempat yang mengejutkan.
    Senang membaca kisah panjang menuju Hikayat Kotaku yang nyatanya berliku.

    Reply
  2. Lhah nggantung banget ini. Harus tahu kisah lanjutannya. Stasiun Jatinegara yaa tempat aku turun kalau pulang ke Jakarta, zaman msh kuliah di Bandung. Wong rumahku di belakang stasiun. Wkwkwk…ngebajaj deh.
    Menarik banget, ada tokoh Panglima Perang Klender.

    Reply
  3. Mbak blogger panutanku iki! Dirimu emang hoki banngget mba Damar. Kontes-kontes menulis semacam ini jadi semacam cemilan buatmu wkwkwk. Congrats again, dan happy for your achievement yaa… ditunggu karya-karyamu yang nggak kalah cetar lainnya. Ganbatte!!

    Reply
  4. Saya baru tau bentuk depan Stasiun Jatinegara. Selama ini gak begitu memperhatikan karena suka crowded banget di daerah sana. Sebetulnya cantik ya bangunannya. Model stasiun lama. Semoga aja tetap bertahan bentuknya seperti ini

    Reply
  5. Wah seru juga acaranya, walaupun nggak menang, udah dapat ilmu dari bimtek yang diadakan, bermanfaat untuk naskah selanjutnya ya insya Allah

    Reply
  6. Panglima Perang Klender” dan“Srigunting”.  …12 tahun aku di Jakarta baru dengar setelah mbak Damar cerita haha
    Menarik dan menantang bangets temanya. Dan dirimu berhasil menaklukkannya. Superrr!

    Reply
  7. Waah keren terpilih sebagai finalis writingthon lagi. Selamat Mbak..by the way sudah terlanjur basah dilanjutkan sekalian ya. Meski sepertinya melelahkan ya harus ikut proses yang 3 bulan. Gak papa demi ilmu baru yaa…

    Semangaaat…..

    Reply
  8. Saya suka akalo ada cara kayak gini, apalagi kalo wawancara langsung dan meriset sendiri, seru yah. harus banyak yang menuliskan kayak gini, agar ga tenggelam ceritanya nanti sama anak cucu yah

    Reply
  9. Salut banget deh sama mak satun ini keren2 tulisannya bisa masuk writhingthon juga. TErnyata menulis itu harus banayk riset juga ya biar tulianny alebih mendalam

    Reply
  10. Oh “Klender” itu nama orang? Panglima perang gtu? Baru tau hehe. Sebagai pendatang aku jg blm terlalu paham kota Jakarta.
    Btw aku keinget juga stasiun Jatinegara itu membawa kenangan buatku, dulu pas masih tinggal di Sby kalau abis dr Jkt naik keretanya dr sana 😀
    Wokeh ditunggu lanjutan ceritanya 😀

    Reply
  11. Saya kira ini cerita tentang Writington yang Asian Games, ternyata bukan. Ternyata berlanjut di kemudian hari.

    Btw, saran dari suami Mbak Damar persis dengan saran suamiku kalau aku lagi galau. Haha. Alhamdulillah selalu didukung suami ya Mbak.

    Reply
  12. Aku jadi ingat buku anak yang berjudul “Kisah Kota Kita”nya kak DK Wardhani dan Watiek Ideo.
    Tapi sungguh konsep yang berbeda ditawarkan dari Hikayat Kotaku yaa…
    Semoga sukses dan lancar yaa…
    Fightiing~

    Reply
  13. huwooo kompetisi selama 3 bulan, keren banget! capek sih tapi banyak ilmu dan pengalaman dengan riset sana-sini di lapangan. Salut, Mbak! Ini menarik tapi bukan tipeku sih membahas hikayat kota

    Reply
  14. Keren banget kakak, ini pengalaman baru dan berkesan banget buat penulis. Seru deh membaca ulasan kakak tentang jakarta writingthon 2019. saya malah gak tau ada event keren ini. Selamat ya kak.

    Reply
  15. Sumpah Mbak 2 bulan? Wow luar biasa. Kalau aku sepertinya ga diizinkan suami. Hehe maklum ada 2 anak kecil2 belum bisa ditinggal selama itu. Riset kalo bolak balik jakarta juga lumayan pastinya. Tapi tiap keluarga punya pertimbangan sendiri. Selama masih ada kesepakatan bersama, kesempatan, waktu, kesehatan, jelas ambil lah. Aku pun begitu kalo ada kesempatan di depan mata. Sukses ya Mbak

    Reply

Leave a Comment