Setelah lima tahun menjadi warga Jakarta Timur, ini saatnya aku melakukan sesuatu untuk kota ini. “Hikayat Kotaku” merupakan satu kesempatan, itu sebabnya aku akan menuntaskannya.
Cukup sederhana dan tanpa ekspektasi berlebih, aku hanya ingin meninggalkan kenangan pada kota perantauanku ini. Karena tulisan merupakan media yang saat ini bisa kugunakan, maka aku putuskan lanjut! Menuntaskan Jakarta Writingthon Festival 2019 yang telah kumulai sejak 2 bulan sebelumnya.
Sekilas tentang Jakarta Writingthon Festival 2019 atau JWF Hikayat Kotaku
Oh ya, untuk teman-teman yang kebetulan masih awam dengan kompetisi menulis Jakarta Writingthon Festival 2019 ini, sekedar informasi saja bahwa program ini bukanlah lanjutan dari writingthon-writingthon sebelumnya, seperti Writingthon Puspiptek atau Writingthon Asian Games. Penyelenggaranya pun berbeda.
Hanya saja, seperti writingthon-writingthon sebelumnya, Bitread Publishing sebagai pencetus writingthon (writing marathon) di Indonesia, kembali digandeng sebagai pemateri dan pihak yang bertanggung jawab dalam penerbitan karya.
Nah, khusus Jakarta Writingthon Festival 2019 ini, atau yang kemudian disebut JWF Hikayat Kotaku, penyelenggaranya adalah Sudin Perpustakaan dan Kearsipan Kota Administrasi Jakarta Timur dan AksaraMaya.
AksaraMaya sendiri merupakan perusahaan rintisan milik Indonesia yang bergerak menghasilkan aplikasi membaca buku secara digital. Untuk saat ini, produk dari AksaraMaya berupa iMOCO dan iJakarta yang merupakan perpustakaan digital.
Untuk Jakarta Writingthon Festival sendiri telah dilaksanakan sejak awal April 2019—masa audisi finalis—hingga pengumpulan karya tulis terakhir pada akhir Juni 2019. Sedangkan pada 16 Juli 2019 yang lalu, bertepatan dengan Hari Anak Jakarta Membaca (HANJABA 2019), telah diumumkan juga 10 karya terbaik dari kategori kelompok dan individu.
Baca juga: Bersyukur Tinggal di Jakarta Timur
Perjalanan Riset Penulisan Sejarah Pangeran Perang Klender
Sekarang balik lagi pada pengalamanku mengikuti kompetisi ini, ya. Jadi, setelah seluruh rangkaian pengumpulan contoh karya, technical meeting dan bimtek menulis yang sudah kuceritakan pada postingan Menuntaskan Jakara Writingthon Festival 2019 (bagian 1), dengan terpaksa aku harus melewatkan acara walking tour ke beberapa lokasi bersejarah di Jakarta Timur, yang sebenarnya masih menjadi rangkaian JWF Hikayat Kotaku.
Sebenarnya sayang sih, karena bisa jadi dari beberapa lokasi ini aku mendapatkan pencerahan baru. Tetapi, karena 2 kali weekend sebelumnya aku sudah meninggalkan anak-anak, mau tak mau kali ini aku harus memprioritaskan keluarga. Toh, acara walking tour ini tidak berkaitan langsung dengan 2 tema yang harus kukerjakan.
Aku pun memutuskan memulai pengumpulan data dengan riset pustaka. Memang, pada awalnya tugasku hanya menyediakan foto saja, tanpa menulis feature-nya. Tetapi, rasanya kok, kurang sreg kalau tidak tahu asal usul sejarahnya. Jadi kuputuskan sambil menyelam minum air saja. Sambil mencari obyek yang bisa didokumentasikan, sekalian sambil belajar sejarahnya.
Menziarahi Makam Haji Darip kemudian Bersilaturahmi ke Rumah Haji Uung
Nah, kurang seru rasanya jika perjalanan riset ini lancar-lancar saja. Sebagai pendatang di Jakarta, wajar kiranya jika aku kurang familiar dengan asal usul Pangeran Perang dari Klender, atau Srigunting. Tetapi, kenyataannya enggak cuma aku saja yang masih awam, masyarakat asli Jakarta Timur pun jangankan tahu, sebagian besar orang yang kutanyai malah baru sekali ini mendengar ada panglima perang dari Klender. Begitu pula dengan burung srigunting yang kemudian dijadikan logo Jakarta Timur.
Akhirnya, kuputuskan mencari makam Panglima Perang Klender sebagai lokasi riset yang pertama. Berbekal informasi dari beberapa sumber bacaan online, aku pun mendatangi Komplek Pemakaman Ar-Rahman di Jatinegara Kaum. Kemudian dari sanalah semuanya bermula. Dari menziarahi langsung makam Sang Panglima Perang, kemudian bercakap ringan dengan warga sekitar, sampailah aku di rumah nara sumber utama yang tak lain merupakan keturunan langsung dari Panglima Perang Klender.
Jujur, sebenarnya aku merasa prihatin dengan kondisi makam Sang Pahlawan yang tak ubahnya makam warga biasa. Tak ada yang istimewa dari lokasi ataupun nisannya. Hanya sebilah bambu dengan bendera merah putih ditancapkan di sebelahnya sebagai tanda bahwa di makam tersebut bersemayam tubuh pejuang kemerdekaan.
Dalam hati, aku sempat bertanya-tanya, Mengapa Haji Darip tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan seperti pejuang pada umumnya? Untungnya pertanyannku itu segera terjawab setelah bersilaturahmi dan bertemu langsung dengan Haji Uung, putra dari Haji Darip bin Kurdin.
Pertemuan dengan Haji Uung inilah yang kemudian membawaku pada kilas balik kehidupan Panglima Perang Klender. Dari penjelasan Haji Uung yang merupakan putra dari istri keempat Haji Darip inilah aku berhasil merangkum seluruh kisah hidup Panglima Perang Klender sewaktu kecil, ketika remaja kemudian hijrah ke Mekah, hingga kembali ke Indonesia kemudian menikah.
Dalam silaturahmi dadakan tersebut, Haji Uung dengan bangga mengisahkan masa-masa ketika Haji Darip berjuang melawan Jepang, membantu mempersiapkan kemerdekaan hingga masa agresi militer Belanda pasca kemerdekaan.
Dari rumah Haji Uung ini pula aku melakukan repro foto-foto Haji Darip ketika muda dan membaca langsung salinan dokumen perjuangan masyarakat Klender pada kurun waktu 1945-1949.
Sebagian Peran Pangima Perang Klender Menjelang Proklamasi Kemerdekaan
Cukup mengejutkan, karena ternyata Haji Darip ini memiliki hubungan yang lumayan dekat dengan Bung Karno dan tokoh-tokoh pemuda pada masa kemerdekaan. Haji Darip tidak hanya berjuang mengangkat senjata, tapi beliau juga bernegosiasi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam persiapan kemerdekaan, mengamankan gudang beras di area Klender, bahkan mengusulkan pemindahan Bung Karno dan Bung Hatta dari rumah persembunyian di pinggir kali Ciliwung ke tempat yang lebih layak di Rengasdengklok.
Banyak hal yang tadinya sam sekali tak kuketahu menjadi sangat menarik. Selain kisah kehidupan Haji Darip pada masa perang kemerdekaan, kehidupan pribadinya pasca kemerdekaan pun juga lumayan unik, di mana pada akhirnya Sang Panglima Perang Klender menutup rapat perannya selama masa perjuangan. Ia kembali menjadi pemuda betawi biasa. Berdagang di Pasar Klender sambil terus mengajar agama Islam dengan Masjid Al Makmur—di jalan Bekasi Timur—sebagai pusat tempat kajiannya.
Sebenarnya masih banyak pelajaran hidup dari kisah Panglima Perang Klender yang bisa dibagikan di sini. Tapi, versi lengkapnya nanti bakalan ada di buku “Hikayat Kotaku”, yang bisa teman-teman pinjam dan baca di Perpustakaan Daerah di Jakarta. Atau, bisa juga membaca versi digitalnya melalui aplikasi iJakarta. Jadi, tunggu saja tanggal launching-nya, ya.
Nah, dengan menyelesaikan riset tentang Panglima Perang Klender, sebetulnya pekerjaanku belum selesai begitu saja karena masih ada srigunting yang harus kudapatkan fotonya. Tapi cerita itu nanti saja, ya, di postingan berikutnya. Nantinya saat pencarian foto srigunting juga tidak kalah melelahkan, kok, dibanding riset Panglima Perang Klender ini. Selain itu, bakalan ada berita mengejutkan yang baru kuketahui seminggu menjelang deadline pengumpulan karya. Jadi, tungguin bagian ketiganya, ya. See you!
Wah ini penulis yang benar-benar menyukai sejarah nih.
Saya sangat tertarik sekali.
Saya baru tahu ada tokoh Haji Darlip
wah ini benar-benar penulis yang suka sejarah
saya sangat suka, jadi tambah ilmu tentang sejarah, khususnya daerah klender.
Wah jujur hidup dan besar di Jakarta aku baru tahu info ini terimakasih ya mbak
Tokoh pahlawan yang sudah banyak dilupakan orang. Terima kasih sudah menuliskan kisah Haji Durip, Sang Panglima Klender. Mudah-mudahan ini menjadi salah satu upaya untuk mengenalkan tokoh-tokoh yang telah berjasa bagi tanah air kita.
Jujur baru tahu mbak, kalau ada pahlawan perang dari klender bernama Haji Darip ini. Selain itu ternyata jasanya pun banyak dijaman kemerdekaan. Mudah-mudahan dengan riset dari mba Damar ini, gak cuma aku yang jadi tahu dan kenal dengan sosok beliau, tapi mudah-mudahan pemerintah mau mengapresiasi makam beliau menjadi lebih baik dan lebih terhormat. Al Fatihah untuk para pahlawan negeri ini
Sebagai anak lulusan jurusan sejarah, saya suka bahasannya mba damar. Memang kadang sejarah lokal kerap terlupakan. Terima kasih yaa atas fakta-fakta sejarah lokal seperti ini. Sangat bermanfaat banget buat generasi kita mendatang. Next, mungkin saya juga pengen nulis tentang sejarah kota saya, Depok. Tentang kisah Margonda, misalnya.
Nah, aku baru tahu Writingthon tuh dari writing & marathon. Menarik yaa…Haji Darip menutup rapat andilnya dalam perjuangan melawan penjajah. Low profile ya. Orang mah berlomba-lomba ingin diakui sebagai pahlawan. Wah…hebat mb Damar bisa menggali kisahnya dan menuliskan.
Sip…ditunggu kisah berikutnya
Begitu sederhananya makam Sang Panglima Klender ..padahal begitu besar jasanya bagi perjuangan bangsa.
Aku senang dapat banyak info dari JakartaWritingthon ini..Berasa baca sejarah dalam konsep kekinian..menyenangkan sekali membacanya. Jadi penasaran jika sudah jadi buku Hikayat Kotaku nanti
Pastu keren sekali!
Menarik sekali sih Mbak. Aku pun jadi kepo tentang sosok Haji Durip dan keputusannya menjadi pemuda biasa pasca kemerdekaan. Apa itu juga alasannya beliau tidak dimakamkan di Taman Pahlawan?
Oh aku pikir ini kelanjutan dari writhingthon sebelumnya. Aku baru tau ada writhington sekarnag-serakag ini. Dulu taunya hackaton aja buat para IT
Bersyukur banget bisa berkunjung di blog Mbak Damar ini. Jadi tahu lebih dalam soal sejarah yang mungkin tidak banyak orang tahu ya, Mbak.
Betewe jadi penasaran sama Srigunting. Ini bakal ditulis di blog atau di bukunya nanti mb?
Bersyukur bisa berkunjung di blog Mbak Damar nih. Jadi tahu sejarah lebih dalam. Menarik sekali.
Justru yang bikin aku agak bingung Haji Darip sama Srigunting ini sosok berbeda kah mb? Kelanjutannya ini nanti di buku ya?
Saya ketinggalan info nih yang bagian ke-1 nya.
Wuih, asyiknya BukNaj bisa menelusuri jejak sejarah. Bertemu langsung dengan keturunan Panglima Klender lalu bisa berkisah seperti ini.
Program yg sangat perlu ditiru di daerah lain. Saya jadi kepo apakah di sini juga ada program mirip writingthon spt ini 😉
Setahu saya, banyak pejuang yang memilih menjadi rakyat biasa setelah kemerdekaan, ya mbak. Bisa jadi, hal itu juga yang menyebabkan alm Haji Darip tidak berkeinginan dimakamkan di taman makam pahlawan. Dan memilih berdagang setelah masa kemerdekaan.
Yuni merinding membaca bagaimana perjalanan riset kak damar mengenai pangeran klender. Dan yuni baru ini mendengar bahwa pangeran klender juga ikut andil dalam merebut kemerdekaan. Apa karena yuni kurang membaca buku sejarah ya? Ya benar karena itu.
Jadi tidak sabar membaca bagian ketiganya. Mengenai sri gunting itu. Pasti tidak kalah seru.
Wah, perjuangan banget berarti ya ikut writhington ini. Ibarat wartawan, harus berburu berita dulu agar bisa menyajikan cerita berdasar fakta.. saluut mbak
Ku menunggu lanjutan postingan ini, suka temanya, jadi bertambah wawasan terutama tentang sejarah kota Jakarta Timur.
Ku besar di Jakarta, dan pernah tinggal di Jakarta Timur selama 11 tahun.
wah ikutan writhingthon gini jadi banyak tahu sejarah jakarta yg selama ini gak bayak terekspose ya…
Wah pakai riset beneran ini mbak, keren banget. Menulis berdasarkan fakta dan hasil pencarian berita. Wah patut diapreasi banget ini mah. Kamu Keren sekali, sangat menginspirasi
Jadi mencob mengulik sejarah, tokoh2 yang selama ini blm banyak.diekspos ya mba? Weis mantap. Good luck mba!
Bagus nih acaranya mengangkat sejarah daerah sekitar Damar, mumpung masih banyak yang tahu kisahnya dan kenal tokohnya jadi bisa diabadikan..jas merah kata Pak Karno..
Wah kegiatan seperti ini perlu banget nih dipertahankan. Selain mengasah kemampuan literasi peserta jg menjadi kesempatan utk mengenal dan mempublikasikan budaya daerah.
Keren, smg kegiatan spt ini jg menular ke kota2 lainnya.
Bagus nih acaranya mengangkat sejarah daerah sekitar Damar, mumpung masih banyak yang tahu kisahnya dan kenal tokohnya jadi bisa diabadikan..jas merah kata Pak Karno ya
Bener bener perjuangan ya mbk ikut writingthon. Risetnya pun harus blusukan ke Makam dan ke warga sekitar sampai akhirnya dipertemukan dengan Haji Uung…
Good luck ya mbk..
Aku auto ngitung jg berapa lama aku jd warga Jkt (coret) haha. Aku jg kepoh tau info writingthon2 gtu dr mana sih mbak? Aku kudet haha 😀
Btw baru tau nih ada panglima perang Klender namanya H. Darip. Seru pastinya ya kalau bisa ikutan napak tilas, tapi msh bisa berkunjung jg dan silaturahmi ke rumah anak2nya ya mbak. Jd apa alasan kok gak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan?
Kisah-kisah seperti ini selalu menarik untuk dituliskan. Entah kapan aku sanggup dan punya waktu melakukannya. Krn sebenarnya ada semacam titipan untuk menuliskan kisah perjuangan semacam ini. Aku belum berani.
Low Profile Banget Alm. Haji Darip Mbak, dengan adanya tulisan Mbak Damar ini, tentu akan ada org tahum panglima perang Klender itu adalah beliau
Terima kasih sudah berbagi, mbak
Nama ini sangat tidak familiar di buku2 sejarah, salut sama Mba karena mengangkatnya kembali, sehingga kami yg minim pengetahuan bisa mengenali jasa2 beliau, jd gak sabar pengen baca yg selengkapnya
Karen mbak, perjuangan risetnya untuk memperoleh informasi akurat tentang haji Darip. Jadi nggak sabar nunggu kisah tentang Sri gunting
Wah..biasanya orang tahu kalau pahalawan nasional gitu. Ternyata ada pejuang2 yang inspiratif..yang namanya ..kurang terkenal tapi sangat berperan dalam perjuangan.
Pak H. Darip tak ingin dikenal…tak mau dimakamkan..dimakan pahlawan agar niat tulusnya terjaga hingga ia tiada. Takut anak cucu menjadi sombong karena ia dimakamkan di makam pahlawan..
Wah aku jadi penasaran dengan panglima Klender. Jangankan di Jakarta mba, di beberapa daerah pun banyak orang yang awam di daerahnya ada pahlawab pejuang kemerdekaan. Miris memang.
Jadi banyak belajar sejarah juga karena artikel ini. Pasti seru menuliskan jejak sosok sosok yang pastinya sangat berjasa dalam perjalanan hidup bangsa.
Luar biasa nih, harus studi referensi dan pake metode turun lapangan juga yaa..
Go gooo mba semangat untuk menuntaskan keikutsertaan di Jakarta Writingthon ini.
Wah mba mantab perjalanan menelusurinya 🙂 jujur aja aku baru tahu Hadi Darip n Haji Uung hehehe duh bener2 yah ga tahu sejarah aku 😀
Waah keren banget nih Mak ikutan writingthrone. Bukunya pasti detail deh infonya karena terjun langsung ke lapangan. Semoga sukses yaa.
Komplit banget mak ceritanya, jadi berasa baca buku sejarah. Dan penasaran sama cerita srigunting nya.