Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk bergelut dengan kerasnya medan terjal menuju kawasan Desa Uzuzozo, sebuah desa di pedalaman Nusa Tenggara Timur (NTT). Jalan setapak yang belum tersentuh aspal, kawasan perbukitan, hutan, hingga sejumlah sungai besar yang kerap kali meluap menjadi teman perjalanan bagi Bidan Dini.
Perempuan muda ini tak gentar mengabdikan dirinya sebagai bidan di salah satu desa terpencil di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Awalnya memang tidak mudah untuk mengurai benang kusut masalah kesehatan di sana. Namun kini, Dini dapat tersenyum lebar karena perjuangannya telah membawa banyak perubahan bagi masyarakat. Dan tentu saja menjadi berkat bagi dirinya sendiri.
Mengabdi dengan Keterbatasan Fasilitas
Jangan dibayangkan bahwa bidan yang memiliki nama lengkap Theresia Dwiaudina Sari Putri ini berkantor di puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya. Setiap hari, ia berpindah-pindah dari satu dusun ke dusun lainnya, dari satu dusun ke anak kampung yang letaknya berjauhan dan melalui medan ekstrim yang memisahkan. Tak jarang, Dini harus meninggalkan motornya di pinggir sungai kemudian menyeberangi jembatan reyot ketika air sedang meluap. Jika air sedang bersahabat, ia pun tak ragu membelah sungai dengan sepeda motornya.
Jauh dari kota, upah yang tak seberapa, serta fasilitas kesehatan yang minim tidak menyurutkan langkah Bidan Dini untuk mengabdi pada desa yang masih satu kecamatan dengan kampung kelahirannya. Meskipun terletak dalam kecamatan yang sama, namun butuh waktu dua jam dari pusat kota Ende untuk sampai di Desa Uzuzozo. Sinyal pun seringnya timbul tenggelam tanpa aba-aba.
Di desa Uzuzzozo hanya ada satu fasilitas kesehatan yang disebut pos kesehatan desa (poskesdes), bukan puskesmas karena letaknya bukan di kawasan kecamatan. Poskesdes yang ada juga minim peralatan kesehatan, bahkan hampir tidak ada. Lokasinya pun jauh dari 3 dusun dan 3 anak kampung yang ada di Desa Uzuzozo.
Perjalanan Bidan Dini Menjadi Pionir Tenaga Kesehatan di Desa Uzuzozo
Pengabdian Bidan Dini di Desa Uzuzozo dimulai pada tahun 2017 ketika masyarakat membutuhkan pertolongan kesehatan. Kepala desa berinisiatif menawarkan kesempatan pada Dini untuk berkarya sebagai bidan desa pertama di Desa Uzuzozo karena sebelum-sebelumnya tak pernah ada yang mau mengabdi di desa yang dihuni 366 jiwa tersebut.
Gayung pun bersambut. Tak butuh waktu lama bagi Dini untuk mengiyakan tawaran dari Damianus Nangge, pejabat kepala desa Uzuzozo kala itu. Sebagai lulusan baru dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Surabaya jurusan Diploma 3 Kebidanan, Dini merasa perlu pengalaman untuk mengaplikasikan ilmunya. Meskipun pada awalnya Dini pulang kampung untuk memenuhi kemauan kedua orang tuanya, namun pada akhirnya ia memenuhi apa yang menjadi panggilan hatinya.
Seekor anjing diserahkan kepada Dini sebagai pengikat kesepakatan. Dini yang mengabdi sebagai tenaga honorer di desa terpencil di Kabupaten Ende tidak mendapatkan honor dari pemerintah. Ia mendapatkan gaji dari dana desa yang diperoleh secara rapel. Kadang 6 bulan sekali, bahkan pernah juga baru menerima setelah satu tahun mengabdi.
Dengan segala keterbatasan yang ada, Dini sebagai satu-satunya tenaga kesehatan di Desa Uzuzozo menjadi orang yang pertama kali dicari ketika masyarakat butuh bantuan kesehatan. Tak sekedar ibu hamil, bayi, atau anak-anak, namun ketika orang dewasa dan lansia sakit pun, pertolongan DIni sangat dibutuhkan.
Dari Mitos Hingga Minim Fasilitas: Berbagai Masalah Kesehatan Ditemui di Desa Uzuzozo
Permasalahan demi permasalahan harus dihadapi Bidan Dini ketika pertama kali tiba di Desa Uzuzozo sebagai tenaga kesehatan. Terlebih masalah kesehatan ibu dan anak yang sangat mendesak dan harus segera diselesaikan.
Dalam salah satu podcast, Dini mengungkapkan bahwa ibu hamil enggan melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan. Pertama karena lokasinya jauh sehingga butuh waktu dan biaya untuk menjangkaunya. Kedua karena adanya kepercayaan dalam masyarakat bahwa kehamilan sebaiknya tidak dikabarkan pada banyak orang. Jadi, hanya suami istri saja yang tahu.
Selain masalah-masalah tersebut, ibu hamil juga tidak melahirkan di fasilitas kesehatan melainkan di rumah dengan bantuan dukun yang dipanggil mama dukun.. Persalinan dilakukan di rumah tanpa prosedur medis, tanpa peralatan yang steril sehingga berpotensi meningkatkan angka kematian bayi dan ibu.
Lain masalah ibu hamil, lain pula masalah anak. Dini mengaku terkejut ketika mengetahui anak-anak Uzuzozo mengalami stunting. Padahal, hasil bumi di sana cukup untuk konsumsi warga. Dini berpikir bahwa di sini terjadi kesalahan pola asuh orang tua yang memicu terjadi gangguan tumbuh kembang dan kurang gizi pada anak.
Di samping itu, ketiadaan pelayanan kesehatan dasar turut menyumbang potensi gangguan masalah kesehatan pada anak. Selain tidak mendapatkan imunisasi dasar, anak-anak juga tidak mendapatkan pembagian vitamin A, pemberian obat cacing, kegiatan posyandu, bahkan anak remaja juga tidak mendapatkan tablet tambah darah.
Mengurai Benag Kusut Masalah Kesehatan dengan Melakukan Pendekatan
Setelah mengetahui berbagai masalah kesehatan warga, Bidan Dini memulai aksinya dengan mendatangi rumah warga. Setiap hari ia berpindah dari satu dusun ke dusun yang lain, ia mengetuk satu per satu pintu rumah warga. Selain memeriksa kesehatan, khususnya kesehatan ibu hamil dan bayi yang baru lahir, Bidan Dini juga melakukan edukasi kesehatan seputar kesehatan ibu dan anak, menjelaskan pentingnya imunisasi, pola asuh dan pemberian makanan yang bergizi untuk anak.
Awalnya, keberadaan Bidan Dini tentu mendapatkan penolakan, terlebih karena dianggap masih terlalu muda. Bahkan, ia sempat dianggap sebagai ancaman oleh beberapa orang, seperti para mama dukun yang khawatir kehilangan pekerjaannya.
Tak hanya itu, ia juga harus melawan mitos dan kepercayaan yang terlanjur berkembang di masyarakat. Untuk melakukan pemeriksaan pun, tak jarang Bidan Dini harus mencari-cari warga ke kebun atau ke ladang. Ia harus membujuk warga agar mau memeriksakan kesehatannya.
Untuk menjalankan program-programnya, Bidan Dini mulai melakukan pendekatan pada warga. Ia pun mulai aktif mengikuti kegiatan gereja dan sekolah-sekolah, sehingga dapat menyisipkan edukasi tentang kesehatan. Dini juga bekerja sama dengan warga untuk mengadakan posyandu di rumah salah satu warga. Secara perlahan, kehadiran Bidan Dini mulai dirasakan membawa dampak positif bagi warga.
Memberi Pemahaman Tanpa Menolak Kepercayaan Warga
Dalam menghadapi mama dukun, Bidan Dini juga tak segan mendatangi mereka dengan membawakan daun sirih dan pinang sebagai buah tangan. Dini tidak berniat mematikan pekerjaan mama dukun. Ia justru mengajak mama dukun bekerja sama saat membantu seorang ibu melakukan persalinan. Dini ingin mama dukun membantu mengurus bayi yang baru lahir, sedangkan ia sendiri membantu persalinan ibunya.
Ia juga banyak memberikan pemahaman pada warga bahwa kehamilan seorang ibu harus dikabarkan, bukan disembunyikan. Hal ini bertujuan agar ibu hamil mendapatkan perhatian dan perlindungan dari keluarga, tetangga, juga perangkat desa. Dini meyakinkan warga bahwa zaman sekarang tak ada Nitu Pa’i (makhluk-makhluk) yang mengganggu ibu hamil. Kehamilan adalah berkah dari Tuhan dan akan dijaga oleh-Nya.
Pendekatan lainnya juga dilakukan Bidan Dini dalam hal imunisasi. Demi keberhasilan pemberian imunisasi bagi anak, Dini tidak menolak mitos yang terlanjur berkembang pada masyarakat perihal menancapkan bekas jarum suntik pada batang pohon yang berair seperti pisang.
Warga terlanjur percaya bahwa jika hal tersebut dilakukan anak-anak tidak akan demam. Dini pun tidak mempermasalahkan hal tersebut. Baginya, kepercayaan warga dan dunia medis harus diselaraskan agar mudah mengambil hati masyarakat. Selama hal tersebut tidak mengganggu urusan medis, ia tidak akan mengubah persepsi yang terlanjur terbentuk pada masyarakat.
Sebagai solusinya, Dini membiarkan para ibu mengambil bekas jarum suntik imunisasi untuk ditancapkan pada batang pohon. Kemudian, sebelum meninggalkan rumah warga, Dini akan mengambil bekas jarum suntik tersebut agar tidak disalahgunakan.
Buah Manis Perjuangan Tak Kenal Kata Menyerah
Perlahan, ibu hamil dan masyarakat mulai percaya pada Bidan Dini. Mereka tak segan memeriksakan diri dan melakukan persalinan di fasilitas kesehatan. Dini mengakui bahwa kasus persalinan ibu hamil di kendaraan atau di tepi sungai memang masih terjadi karena jarak fasilitas kesehatan yang cukup jauh dari rumah warga. Tetapi, setidaknya masyarakat sudah berniat dan membuka diri dengan adanya perubahan dan pendampingan bidan.
Masyarakat biasa hingga lansia juga mulai tak segan untuk memeriksakan kesehatannya. Dini menuturkan bahwa pernah suatu ketika seorang warga (pasien) menunggunya di pinggir jalan yang bakal Dini lalui dari satu dusun ke dusun lainnya. Warga tahu betul rute dan jarak tempuh yang dibutuhkan Dini, sehingga berinisiatif untuk mencegatnya di tengah jalan agar bisa diperiksa dan mendapatkan obat.
Dini juga gigih mengubah pola asuh masyarakat yang berdampak pada tingginya angka stunting anak. Melalui kegiatan posyandu, ia telaten mengedukasi warga mengenai bahan makanan bergizi yang bisa didapatkan di kebun juga lahan. Ia juga mengajarkan pada para ibu tentang cara pemberian makan yang baik, jadwal makan yang tepat untuk anak, juga kebutuhan nutrisi anak.
Bidan Dini mengaku tak segan jika harus ribut dengan orang tua saat ada yang tidak memberikan makanan bergizi pada anaknya. Berkat kegigihan Bidan Dini, dari tahun ke tahun angka stunting di Desa Uzuzozo terus mengalami penurunan.
Di samping itu, sekarang mulai terlihat perubahan pada gaya hidup masyarakat. Mereka tak lagi menolak pemberian imunisasi pada anaknya. Selain itu, Bidan Dini juga rutin memberikan vitamin A pada anak sesuai jadwal dari pemerintah. Dan yang tak kalah penting, program stunting juga menyasar remaja dengan pemberian tablet penambah darah.
Berkarya Bersama Masyarakat dan Meraih Penghargaan
Dini tak menampik bahwa keberhasilan revolusi kesehatan di Desa Uzuzozo tak lepas dari partisipasi banyak pihak. Misalnya seperti bantuan pihak desa dalam mensukseskan posyandu lansia dan balita yang diselenggarakan sebulan sekali. Dana desa juga digunakan dengan sebaik-baiknya untuk pemberian makanan sehat secara gratis, pendirian poskesdes, dan pembelian alat-alat penunjang medis.
Bidan Dini juga mendapat banyak bantuan dan berkolaborasi dengan mama dukun yang berperan sebagai ‘mata-mata’ dalam memberikan informasi tentang ibu hamil. Dini juga dibantu oleh kader posyandu dalam melakukan pemantauan terhadap kesehatan ibu dan anak, meskipun evaluasi akhirnya tetap dia yang memutuskan.
Atas pengabdian, pendekatan yang ulet pada masyarakat, ketabahan, dan perjuangan yang tak mengenal kata menyerah, Theresia Dwi Audina Sari Putri meraih penghargaan SATU Indonesia Awards Tahun 2023 dari PT Astra International Tbk untuk kategori bidang kesehatan.
Edukasi Kesehatan Masyarakat yang Berkelanjutan
Penghargaan yang diperolehnya adalah bonus yang tak pernah ia bayangkan, sekaligus tanggung jawab yang harus ia lanjutkan. Dini berpikir, penghargaan SATU Indonesia Awards adalah privilege sekaligus membuka kesempatan baru baginya untuk lebih diterima oleh masyarakat, dan mendapatkan lebih banyak dukungan.
Bidan Dini bertekad untuk melanjutkan edukasi kesehatan ibu dan anak dan menjalankan lebih banyak program yang bermanfaat bagi masyarakat di Uzuzozo dan desa-desa terpencil lainnya. Perempuan yang kini telah menyelesaikan pendidikan Sarjana Kebidanan ini masih bercita-cita untuk melanjutkan S2 untuk meraih gelar master. Ia berkeyakinan bahwa dengan semakin bertambahnya ilmu pengetahuan, maka semakin besar pula peluang dan privilege yang bisa didapatkan untuk melakukan lebih banyak kebaikan.
Sebagai upaya menjalankan edukasi kesehatan yang berkelanjutan, Bidan Dini juga telah menyiapkan kader untuk melanjutkan program kesehatan dan pencegahan stunting di Desa Uzuzozo. Ia berharap, ke depannya semakin banyak perhatian untuk permasalahan stunting dan edukasi kesehatan masyarakat. Terlebih untuk desa-desa terpencil yang masih mengalami keterbatasan akses dan fasilitas, Dini juga berharap negara hadir dan memberikan perhatian untuk rakyatnya yang berada di pelosok nusantara.
Kiprah dan pengabdian Theresia Dwiaudina Sari Putri ibarat oase di tengah gurun pasir yang menghampar luas. Kerja keras, ketabahan, dan semangatnya untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diraihnya memberikan pengharapan tersendiri bagi negeri ini bahwa generasi emas di masa depan itu nyata adanya.
Referensi:
- Podcast Radio Idola Semarang: “Ngobrol Bareng Theresia Dwiaudina Sari Putri, Pejuang kesehatan dari Desa Kekandere Nangapanda Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur”.
- Podcast Channel Youtube Mosato Doc: “Bidan Desa Cantik Asal NTT Terpilih dalam 14th SATU Indonesia Awards 2023/Podcast #ORANGKITA Eps 73”