Diana Cristiana Dacosta Ati: Mendidik dengan Hati Demi Anak Papua yang Melek Pendidikan

Banyak orang ingin menjadi guru. Banyak orang mampu mengajar dan mencerdaskan muridnya. Namun, hanya sedikit yang mampu mendidik dengan ketulusan, dengan segala tantangan yang harus dihadapinya, dengan segala keterbatasan fasilitas untuk mengajar. Di antara yang sedikit tersebut, Indonesia patut bersyukur memiliki seorang Diana Cristiana Da Costa Ati.

Diana, begitulah perempuan kelahiran Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut dipanggil. Di era di mana berbagai macam profesi menawarkan fasilitas dan imbalan materi yang menggiurkan, Diana memilih menjadi guru di daerah terpencil. Ia bertekad mendidik anak-anak di pedalaman Papua. Diana telah membulatkan tekad  untuk mewujudkan ketulusannya dalam mengajar dengan menjadi guru di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).

Kondisi Pendidikan di Kaibusene yang Membulatkan Tekad Diana untuk Mendidik Anak Papua

Semua dimulai pada awal tahun 2018, ketika Diana mengikuti Program Guru Penggerak Daerah Terpencil yang diinisiasi Bupati Mappi, Kristosimus Yohanes Agawemu yang bekerjasama dengan Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada.

Pada awalnya, Diana ditugaskan di Kampung Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua. Di wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Papua Selatan ini, Diana menyaksikan betul bagaimana kondisi Tanah Papua yang terberkati dengan kekayaan alam, namun masyarakat hidup dalam kemiskinan, kekurangan gizi, dan terbelenggu. Diana mengibaratkan kondisi masyarakat pada masa itu tak ubahnya “Bagai tikus mati di lumbung padi”.

Ia masih ingat betul ketika pertama kali bertemu dengan anak-anak SD Kaibusene yang tidak dapat menyebutkan identitas negara Indonesia. Anak-anak menyebut BIntang Kejora sebagai bendera Indonesia, tak dapat menyanyikan lagu Indonesia Raya meskipun sudah kelas 6. Bahkan, mereka tak dapat menghafal Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia, Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi Diana. Ia pun menangis ketika pertama kali melihat nasib anak-anak didiknya yang penuh keterbatasan. Ruang kelas hanya 3 ruangan sehingga bercampur untuk beberapa kelas. Dan fasilitas lainnya tentunya juga sangat terbatas.

Sembilan Jam Hingga Lokasi Mengajar

Sempat terhenti sebagai Guru Penggerak ketika pandemi melanda, pada tahun 2021 yang lalu Diana kembali menandatangani kontrak baru di Kabupaten Mappi, Papua. Kali ini ia ditempatkan di Sekolah Dasar Negeri Atti, Kampung Atti, Distrik Minyamur.

Untuk mencapai SD Atti, Diana memerlukan waktu hingga sembilan jam perjalanan hingga sembilan jam dari Merauke hingga Ibukota Mappi. Ia dan teman-teman guru lainnya harus menaiki pesawat ATR sekitar 1 jam dari kepi, melakukan perjalanan darat selama 2 jam menuju pelabuhan Agham. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan perahu ketinting selama 4 jam untuk menelusuri sungai Mappi menuju Kampung Khaumi di Kampung Atti. Dari Kampung Atti, ia harus berjalan kaki sekitar 2 jam hingga sampai di tempatnya mengajar.

Perjalanan ini bisa dibilang cepat karena terpotong waktu dengan perjalanan pesawat. Namun jika terpaksa menggunakan transportasi darat, maka dibutuhkan waktu hingga 23 jam hingga sampai di SD Atti. Itu sebabnya, Dian dan guru-guru lain ditempatkan di mess atau asrama sekolah yang masih berada di lingkungan sekolah. Sekolah Dasar Atti berada di tengah ladang, di antara hutan, rawa-rawa dan perairan dan berjarak sekitar 1 kilometer hingga sampai pemukiman Kampung Atti.

Tak Gentar Meskipun Mengajar dengan Berbagai Tantangan

(Gambar: dok. milik Cantika.com)

Jika melihat perkembangan dunia pendidikan di Indonesia yang melesat seperti sekarang, rasa-rasanya tak mungkin jika di Papua yang tanahnya kaya raya masih tertinggal sangat jauh di belakang.

Menurut penuturan Diana, pada tahun 2018 ketika Diana pertama kali mengajar budaya pendidikan di sana masih sangat rendah, siswa kelas 5 dan 6 masih banyak yang belum bisa membaca, menulis, apalagi berhitung. Sebenarnya Kampung Atti dihuni oleh sekitar 20 kepala keluarga saja. Akan tetapi, rata-rata dalam satu keluarga anaknya banyak sehingga banyak anak-anak yang perlu mengenyam pendidikan. Sayangnya, kebanyakan anak tidak pergi ke sekolah dan lebih memilih untuk pergi ke hutan bersama keluarganya.

Cara berpikir masyarakat Mappi sangat sederhana karena tujuan utama mereka adalah bertahan hidup, bisa mencari makan tanpa bersekolah. Bahkan untuk mencari makan pun mereka tak perlu bekerja dengan berkebun atau berladang karena mereka bisa mendapatkan semuanya dari hutan.

Selain itu, kondisi geografis juga memengaruhi budaya pendidikan dan cara berpikir masyarakat. Sebagai contoh saja, di SDN Atti yang memiliki siswa sejumlah 86 orang, sebagian besar masih bertempat tinggal jauh dari sekolah, bahkan beberapa anak masih tinggal di hutan yang memiliki jarak tempuh 2 jam hingga sampai di sekolah.

Masalah lain yang tak kalah runyam bagi pendidikan di pedalaman Papua adalah fasilitas sekolah yang terbilang minim. Pada tahun 2021 ketika baru pertama kali menginjakkan kaki di SDN Atti, pemandangan yang Diana dapatkan sangat berbeda dengan sekolah dasar pada umumnya. Jika umumnya siswa SD ke sekolah memakai seragam merah putih, di SDN Atti anak-anak memakai pakaian sehari-hari yang biasa dipakai untuk bermain, tanpa sepatu sepakai alas kakinya.

Begitu pun dengan suasana belajar di kelas, alih-alih menggunakan bangku dan kursi, Diana mengajar sambil lesehan. Duduk di lantai bersama murid-muridnya. Sekarang, meskipun belum berubah sepenuhnya, namun sebagian besar siswa sudah mengenakan seragam. Dan bangku-bangku kelas sudah bisa ditemukan.

Mengajar dengan Pendekatan Kontekstual Sesuai Kebutuhan Siswa

Perbedaan pemahaman tentang pendidikan, wilayah geografis yang sulit, dan terbatasnya fasilitas pendidikan menuntut Diana dan kedua orang timnya sesama pengajar di SDN Atti untuk menerapkan metode pembelajaran kontekstual yang paling dekat dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.

Saat ini, jika harus menerapkan kurikulum dari pemerintah maka terlalu sulit bagi guru karena penerapannya tidak sesuai dengan kondisi murid-muridnya. begitu pun dari segi administrasi yang sulit disesuaikan oleh guru yang jumlahnya sangat terbatas.

Oleh karena itu, dipilihlah kurikulum kontekstual dengan pendekatan sosial, yaitu melalui sosialisasi kepada orang tua, penyesuaian materi dengan budaya dan kebiasaan masyarakat yang bertujuan untuk mengubah pola pikir mereka. Di samping itu, Diana dan dua kawannya, Fransiska Erlyansi Bere dan Oktofianus Halla, fokus memberantas buta huruf, mengajarkan dasar-dasar berhitung, dan sesekali menyisipkan pendidikan nasionalisme. Para guru mengaku harus berhati-hati dalam menyisipkan materi nasionalisme karena di Papua masih banyak simpatisan OPM.

Proses belajar mengajar juga terbilang berbeda karena jumlah guru dan ruangan kelas yang terbatas. Di SDN Atti, semua guru harus mengampu semua bidang studi, bahkan mengajar di dua kelas yang berbeda. Selain tentang pelajaran, guru-guru juga membekali siswanya dengan keterampilan bercocok tanam. Biasanya, tiap pukul 15.00 anak-anak akan diajak bercocok tanam sayuran, merawat, hingga memanennya. Tanaman yang dipilih biasanya kangkung, tomat, kacang panjang, dan lain-lainnya. Setelah panen setiap 2 kali dalam sebulan, Diana dan kawan-kawan akan memasaknya untuk dijadikan menu makan bersama dengan siswa.

Mendidik dengan Hati, Membawa Perubahan untuk Anak Papua Selatan

(Gambar: dok. milik Kompas.id)

Tahun 2021, ketika pertama kali mengajar di SDN Atti, terdapat 65 anak sebagai peserta didik di sekolah tersebut. Pada tahun berikutnya yaitu 2022, sebanyak 24 anak melanjutkan pendidikan ke SMP. Sedangkan pada bulan Juli di tahun yang sama, SDN Atti menerima murid baru sebanyak 20 anak.

Pada tahun pelajaran berikutnya yaitu Juni 2023, sebanyak 12 anak berhasil menyusul teman-temannya di jenjang SMP. dan pada September 2023 yang lalu, tercatat ada 12 anak yang duduk di bangku kelas 6 SD.

Sadar bahwa Diana dan dua orang temannya tak dapat mengandalkan orang tua untuk menyediakan alat tulis bagi siswa karena jarak yang terlalu jauh untuk berbelanja, maka ia berinisiatif membuka penggalangan donasi melalui sosial media. Dalam penggalangan donasi tersebut, Diana tidak menerima uang namun sebagai gantinya ia menerima buku, alat tulis, juga pakaian layak untuk anak-anak.

Pak guru Vian, salah satu kolega Diana juga aktif melakukan live TikTok untuk menunjukkan kondisi riil sekolah mereka sehingga bantuan terus berdatangan. Donasi-donasi tersebut dialamatkan ke rumah kos Diana yang berada di Kota Kepi untuk kemudian diambil setiap 5 bulan sekali.

Kini, setelah Diana memenangi SATU Indonesia Awards 2023 kategori Pendidikan dari Astra, sekolah tempatnya mengajar juga mendapatkan banyak perhatian berupa fasilitas penunjang pendidikan seperti bangku dan meja belajar, perbaikan jembatan yang menjadi akses utama ke Kampung Atti.

Selain itu, Astra juga memberikan dukungan berupa tablet belajar sehingga anak-anak pedalaman mengenal pembelajaran digital. Astra juga memberikan ruang bagi Diana dan kawan-kawan untuk berkolaborasi dengan kegiatan yang dilakukan bersama anak-anak pedalaman. dalam hal ini, Diana menuturkan bahwa Astra memiliki komitmen yang kuat untuk menembus batas pedalaman yang selama ini jarang tersentuh.

Berkarya dan Mendapat Dukungan dari Masyarakat

(Gambar: dok. milik Puslabdik)

Melihat banyaknya perubahan yang terjadi pada masyarakat Kampung Atti, Badan Musyawarah Kampung mewakili warga merasa bersyukur dengan kehadiran Diana dan teman-teman.Sekarang ini, anak-anak kampung bahkan yang terkecil pun terbebas dari buta huruf. Padahal, dulu selain tidak bisa membaca anak-anak Kampung Atti juga masih suka terbalik-balik saat menulis huruf. Saat diajak berbicara juga kurang nyambung karena tidak memahami Bahasa Indonesia.

Sebagai ucapan terima kasih, warga sering mengirimkan hasil kebun maupun tangkapan mereka seperti singkong, daun singkong, daging ulat, juga daging buaya. Selain itu warga kampung juga menyuruh anak-anaknya menimbakan air untuk guru-gurunya dari sumber air terdekat dari mess guru.

Ketulusan dan dukungan warga inilah yang semakin memantapkan langkah Diana untuk mengabdi di Papua. Ia bahkan lebih memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) dan rela berpisah dengan ayahnya yang berkebangsaan Timor Leste.

Sikap terbuka dan dukungan yang diberikan masyarakat Kampung Atti merupakan sebuah kolaborasi positif bagi Diana untuk mendidik anak-anak pedalaman. Meskipun prosesnya tidak mudah dan lama, namun upaya bersama ini akan membawa perubahan besar apabila terus dilakukan secara bersama-sama dan tentunya berkelanjutan.

Referensi:

  1. https://puslapdik.kemdikbud.go.id/perjuangan-diana-cristiana-da-costa-ati-mengajar-di-pedalaman-papua/
  2. https://nasional.tempo.co/read/1891401/cerita-diana-menjadi-guru-penggerak-untuk-berantas-buta-huruf-di-pedalaman-papua-selatan?page_num=1
  3. https://www.cantika.com/read/1852534/kisah-diana-cristiana-da-costa-ati-guru-penggerak-daerah-terpencil-di-papua-selatan

Leave a Comment