“Sudah berumur kok, masih baca buku fiksi. Apa manfaatnya coba?”
Siapa yang pernah dapat komentar seperti ini? Hayooo, ngaku aja, karena kita samaan, haha.
Ya, meskipun usia hampir kepala 4 tetapi saya masih sangat suka membaca buku fiksi, loh. Apalagi setelah merasakan sendiri bagaimana manfaat membaca buku fiksi pada kehidupan saya.
Awalnya, saya memang mengoleksi buku fiksi bergenre anak dengan tujuan untuk membacakannya kepada DuoNaj. Namun, ternyata saya ikut jatuh cinta dengan buku-buku tersebut. Saya pun mulai mengoleksi aneka buku fiksi untuk genre remaja—dengan maksud menyiapkan koleksi untuk DuoNaj. Hingga akhirnya saya mulai merambah buku fiksi bergenre dewasa, komedi, sejarah dan tentu saja buku fiksi bertema fantasi yang merupakan genre favorit saya.
Sekarang ini, jika kalian bertanya siapa tokoh-tokoh dalam buku fiksi yang saya baca, tentu saya memiliki sederet nama, lengkap dengan karakter dan kebiasaan mereka.
Memang terdengar sok kenal sih. Tapi memang nyatanya saya mulai menyelami tokoh-tokoh dalam buku fiksi yang saya baca. Bukan sekedar namanya, namun juga apa yang mereka sukai, kebiasaan dan bagaimana mereka menyelesaikan konflik dalam cerita. Bahkan saya sering menciptakan gambaran utuh dari tokoh-tokoh tersebut dalam dunia nyata. Saya sering melihat mereka pada orang-orang yang saya kenal. Juga pada kedua anak saya.
Membaca Buku Fiksi Meluaskan Dunia
Hingga hari ini, membaca buku fiksi merupakan salah satu cara melakukan rekreasi sehari-hari. Apalagi selama harus di rumah saja, membaca buku fiksi merupakan salah satu cara yang membuat saya waras di masa pandemi.
Selain itu, membaca buku fiksi seperti meluaskan dunia saya, sehingga mengubah cara pandang terhadap suatu permasalahan.
Dulu, saya itu orangnya termasuk “kaku” dalam menyikapi suatu hal. Sekarang, meskipun saya tidak menampik bahwa karakter saya ini lumayan keras, namun saya merasa lebih luwes dalam menghadapi perbedaan. Lebih santai menjalani naik-turun kehidupan. Dan yang paling penting, membaca buku fiksi mengajarkan saya untuk menikmati seni kehidupan.
Nah, berikut beberapa manfaat membaca buku fiksi yang telah saya rasakan. Oneday, saya berharap Teman-teman juga merasakannya.
Manfaat Membaca Buku Fiksi
Meredakan stres
Yup, ini enggak kaleng-kaleng, ya. Sebuah studi yang dilakukan Universitas Sussex telah menunjukkan bahwa membaca buku fiksi dapat mengurangi stres. Kalian hanya perlu membiasakan diri unutk membaca dalam hati selama sepuluh menit namun turin setiap hari. Cara ini diyakini dapat memperlambat detak jantung dan menurunkan ketegangan pada otot.
Jadi, jika selama ini terlalu tegang menghadapi permasalahan hidup, seperti halnya yang saya alami. Maka kalian perlu membiasakan diri dengan aktivitas membaca dalam hati. Tak perlu terlalu lama namun rutin. Kemudian rasakan perbedaannya.
Saya sendiri sudah merasakannya. Setiap hari, selepas zuhur atau menjelang tidur saya usahakan selalu membaca buku barang 10 hingga 15 menit. Kadang-kadang kalau kebablasan memang bisa sampai satu jam. Dan cara ini benar-benar membantu mengurangi beban pikiran.
Mendapatkan hiburan
Bagi orang yang 24×7 di dalam rumah seperti saya. Tidak pernah kongkow dan enggak punya teman akrab di dunia nyata kecuali tentu saja Pak Suami dan anak-anak, buku fiksi merupakan salah satu sumber hiburan yang murah dan mudah dijangkau.
Itu sebabnya saya justru sering uring-uringan kalau kehabisan buku bacaan, khususnya buku fiksi. Karena terkadang jika membaca buku non fiksi kening saya malah makin berkerut. Bukannya mendapat hiburan, bisa-bisa nantinya saya malah butuh anti aging ekstra.
Menemukan role model
Memang benar bahwa setiap kita pasti memiliki role mode di dunia nyata. Entah itu orangtua, sahabat atau guru-guru kita. Tetapi, tidak dipungkiri banyak juga yang menemukan role modelnya dalam buku fiksi yang mereka baca.
Misalnya, ya saya sendiri. Saya menemukan sosok seorang ibu yang sabar, teguh melakoni asam garam hidup dalam novel “Ibuk” karangan Iwan Setyawan. Saya juga menemukan sosok relijius yang sebenar-benanya dalam diri Cak Dlahom, tokoh utama dalam buku “Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya“, karangan almarhum Rusdi Mathari.
Dua tokoh tadi tentu saja belum seberapa karena di setiap buku fiksi yang saya baca, hampir pasti ada satu atau dua tokoh yang bisa saya ambil sebagai teladan. Entah itu dalam buku fiksi bergenre humor, anak, dewasa, bahkan buku fiksi dengan cerita fantasi.
Memantik daya imajinasi
Saat membaca buku fiksi secara otomatis akan tercipta bayangan di dalam otak kita tentang latar tempat, kejadian dan gestur tokoh-tokohnya. Hal ini memungkinkan pembaca untuk melihat segala hal melebihi apa yang ada dalam penglihatan. Kisah dalam buku fiksi juga memungkinkan kita menciptakan dunia baru dalam kepala kita. Hal ini justru lebih mengasyikkan dibanding melihat dunia yang diciptakan dalam sajian visual.
Membantu menerima perbedaan
Melalui berbagai buku fiksi saya belajar bagaimana menerima keberagaman dalam kehidupan ini. Perbedaan cara pandang, di mana ia dilahirkan, pengasuhan, lingkungan, masalah yang harus dihadapi setiap tokoh, apa yang ia baca dan tujuan hidup masing-masing, semua hal itu menjadi satu akumulasi yang melatarbelakangi kehidupan seseorang.
Bagaimana seseorang bersikap, cara menyelesaikan permasalahan, bagaimana ia memandang kehidupan dan masa depan, kehidupan spiritual, karakter dalam diri, semua itu tak lepas dari kebiasaan sehari-hari dan dengan siapa ia berinteraksi.
Melihat segala hal ini saya menjadi lebih luwes dalam menerima segala perbedaan dalam kehidupan. Saya pun menjadi lebih berhati-hati dalam melabeli BENAR atau SALAH. Karena kenyataannya segala sesuatu yang terlihat benar dalam sudut pandang kita, bisa jadi bukanlah suatu kebenaran dalam kondisi orang lain.
Menurunkan risiko penyakit lupa
Membaca buku fiksi atau aktivitas membaca pada umumnya membantu menurunkan risiko penyakit lupa. Hal ini sudah dibutkikan oleh ibu saya, pada usianya yang menginjak 70 tahun, ibu masih memiliki ingatan yang segar. Masih sangat detil dengan setiap kejadian.
Membaca buku fiksi juga melatih saya lebih runut dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Hal ini muncul karena kebiasaan memecah detil-detil kecil dalam cerita fiksi, kemudian merangkainya kembali menjadi detil baru dalam ruang imajinasi di dalam kepala saya.
Meningkatkan fokus
Membaca buku tidak sama seperti membaca berita di portal media online, membaca website atau blog. Membaca buku, khususnya buku fiksi memaksa otak berkonsentrasi pada detil bacaan. Kebiasaan ini juga melatih pembaca untuk menutup sementara akses terhadap dunia di luar pikiran sehingga dapat meningkatkan fokus.
Cara ini juga yang saya gunakan untuk melatih kedua anak saya yang memiliki rentang fokus lumayan pendek karena kecenderungan kinestetik. Kami membiasakan mereka untuk duduk dan membaca buku fiksi selama 10 menit. Untuk Najwa, ia mulai membaca sendiri buku yang disukainya. Sedangkan Najib, saya membacakan buku pada saat menjelang tidur. Meskipun hanya sebentar, cara ini benar-benar membantu membuat mereka diam, fokus dan melatih imajinasinya.
Menemukan jati diri
Membaca kisah dengan berbagai perspektif yang berbeda secara tidak langsung memberikan kesempatan pada saya untuk mencoba pengalaman baru yang tidak dialami dalam kehidupan nyata. Cara ini sangat membantu untuk menemukan siapa diri ini yang sebenarnya. Kebiasaan ini juga membuat saya belajar lebih nyaman dengan kehidupan yang telah saya miliki. Membaca buku fiksi merupakan salah satu cara untuk membentuk versi terbaik dari diri sendiri.
Nah, jika selama ini Teman-teman masih belum merasakan manfaat membaca buku fiksi secara khusus, bisa jadi bukan karena tidak suka membaca buku fiksi, namun belum menemukan buku yang tepat.
Itu artinya Teman-teman harus mencoba mencari lagi buku seperti apa yang sekiranya cocok dengan karakter Teman-teman. Tidak harus novel tebal dengan konte berat, kalian bisa memulai dari Novel realis yang terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya saja novel karangan Mak Cik Andrea Hirata yang selalu mengangkat realita kehidupan.
Selama membaca!