Lebaran benar-benar membawa berkah bagi anak-anak. Eh, tapi bukan berartikita-kita yang udah nggak imut ini nggak ikutan dapat berkahnya, loh. Cuma beda ajajenis keberkahannya. Kalau anak-anak kan lebih riil bentuknya, hehehe … Matre banget saya. Ya, apalagi kalau bukan uang angpau lebaran. Hampir semuaanak menunggunya. Kalau sudah ramadan, yang ditunggu pasti lebaran dan amplopwarna-warni berisi lembaran uang baru, kan? Sudah tradisi, dan hampir setiap anak menyukainya.
Saking kepengennya bikin anak-anak semakin senang. Ibu saya sampai bela-belain bikin taskain mungil buat 4 cucu perempuannya yang masih kanak-kanak. Semacam adakeyakinan cucu-cucunya ini bakalan repot kalau harus salaman sambil menggenggamamplop-amplop itu. Jadi, setiap habis salim, dapat amplop, langsung deh, cuss …Masuk ke tas kain mungil yang terselempang di pundak. So, mereka bisa bebasbanget nyemil ini itu tanpa harus pegang-pegang amplop.
Hikmahnya juga anak-anak gak harus setor ke orang tuanyabuat bantuin nyimpen. Mereka bisa simpan sendiri dan tentunya “lebih aman” dariintervensi ibu-ibu macam saya. Yang sukakhilaf pinjam duit anaknya, hihi … *tutupmuka
Lebaran ini tahun ke-6 buat Najwa, sedangkan Najib baru duakali eksis ikut silaturahmi dari rumah ke rumah. Ya, karena lebaran pertamanya harusdilalui dengan sakit dan sempat opname di Yogya. Jadi saya sedikit protektifdan nggak mengajaknya keluar untuk bertemu orang-orang pada waktu itu.
Tahun-tahun sebelumnya, Najwa selalu menyerahkan uangangpaunya untuk disimpan saya. Biasanya, saya akan tabung atau belikan bendayang sedang diinginkannya. Misalnya dua tahun yang lalu saya belikan sepedamini roda dua warna pink yang sekarang jadi kesayangannya. Lumayan sih, waktuitu kami hanya menambah 100 ribu sama ongkos bajaj dari Jatinegara sampairumah. Selebihnya dibeli dengan uang angpaunya.
Pernah juga kami membantu menyimpan sementara. Untuk kemudiandibelikan sepatu, mainan atau digunakan sebagai uang saku saat liburan akhirtahun yang biasanya selalu rutin kami lakukan.
Beda dengan tahun ini. Karena Najwa sendiri yang menyimpan,dan dia sudah mulai paham dengan kepemilikan. Najwa nggak mau lagi sayaatur-atur. Misalnya saya bantu simpan atau tabungkan di rekening saya. Dialangsung buka sendiri amplopnya, keluarkan isinya dan tumpuk sesuai pecahanyang sama. Setelah saya bantu hitung, dia langsung simpan di dalam tas danlemarinya. Hahaha … Semacam ingin menyembunyikan dari saya.
Ayah Najwa yang melihat tingkah menggemaskan anakperempuannya langsung saja bersikap reaktif. Menanyakan akan digunakan untukapa uang yang dimilikinya. Najwa bilang mau dipakai beli baju princess, beli mainan yang banyak dan buat jajan. Oh, No!! Baju princess buat apa to, Nduk? 😌
Kemudian kami tanya, apakah barang-barang itu memang pentingdan dibutuhkan? Tentu saja Najwa paham pertanyaan kami, maka dari itu dia tidak benar-benar menjawabnya. Sebagai gantinya, dia berkata seperti ini, “Tapi aku kepengen, kan ini duitku sendiri, ya terserah aku, donk!”
Si ayah tak mau terlalu lama berkompromi dengan jawabananaknya, dan langsung menegaskan bahwa barang-barang itu kurang penting.Karena baju baru lebaran saja sebagian belum dipakai. Lebaran ini memang Najwadapat beberapa stel baju dari budhe-budhe dan tantenya. Mainan juga masihbanyak, jajan apalagi. Jadi, mau tidak mau kami mengintervensi peruntukan uanglebaran yang tidak sedikit itu.
Sebagai gantinya, kami memberikan ide bagaimana jikadibelikan seragam sekolah saja. Oh ya, sekedar info bahwa Najwa sudah diterimadi SD Negeri dekat rumah. Lumayan mepet umurnya, tapi lolos juga di gelombangkedua meskipun urutannya sudah mepet bawah.
Balik lagi ke ide beli seragam. Tentu saja Najwa menolak,dan beranggapan membeli seragam adalah tugas ayah ibunya, tentunya bukan denganuang yang dia punya. Nah, ini nih. Jawaban kayak gini sudah saya duga bakalankeluar dari mulut mungilnya. So, si Ayah langsung mengambil inisiatifmengajaknya berdiskusi. Digelarlah rapat kecil keluarga, jiah … *kibasjilbab
Kami pun memulai dengan menanyakan pada Najwa berapa jumlahuang yang diterima. Setelah najwa menyebutkan angkanya, kami mulai mengkonversidengan kebutuhan yang mungkin dipenuhinya dengan uang tersebut. Najwa masih berkilah, bahwa uang Najwa yauntuk Najwa. Kalau kebutuhan Najwa ya Ayah yang harusnya belikan.
Kemudian secara bergantian kami menyampaikan, bahwa dalamkeluarga kami tidak ada istilah uangku ya uangku. Ayah, ibu atau bahkan adiktak boleh ikut memiliki. Pemahaman seperti itu tidak berlaku untuk keluargakecil kami. Terlebih menyangkut kepemilikan uang.
Mengapa? Karena kami sedang membiasakan anak-anak untukmensupport satu sama lain. Tidak bersikap pelit dan harus saling membantu saat ada yangmemiliki rezeki tambahan. Caranya? Yadengan menggunakan uang yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, sehingga meringankan pengeluaran keluarga. Kami menekankan pada kata dibutuhkan,bukan diinginkan. Karena seringkali barang-barang yang dibeli sebenarnya takterlalu dibutuhkan. Hanya karena azas ingin atau tergoda dengan barang lucuberwarna pink hula-hula. Hahaha …kalau itu penyakit ibunya.
Selanjutnya, kami pun mengajak Najwa mendata barang-barangyang dibutuhkannya. Selain seragam sekolah SD, ternyata Najwa harus membelisepatu baru, terkait peraturan sekolah yang mewajibkan siswa-siswinya memakaisepatu dengan model khusus.
Budget sepatu ini sebenarnya tidak masuk dalam daftarkebutuhan tahun ajaran baru. Karena kami tidak merencanakan perlengkapansekolah baru di luar buku, peralatan tulis dan seragam. Tapi, apa mau dikata.Peraturan tetaplah peraturan yang harus ditaati oleh siswanya. So, sepatu barumendapat prioritas kedua setelah seragam. Disusul kemudian alat tulis dan buku.
Nah, untuk membuat Najwa tetap senang. Kami menyetujuisebagian uang dialokasikan untuk membeli barang kesenangannya, dengan catatanharus bermanfaat. Dari sekian banyak list keinginan yang disampaikannya, Najwamemilih mainan ketimbang baju princess atau aksesories lucu. Tentu saja kamimengiyakan, karena mainan yang dipilihnya adalah Lego Block. Sangat cocok untukmelatih kesabaran, ketelitian, imajinasi dan sarana yang pas untuk berkegiatanbersama kami, orang tuanya.
Ternyata setelah seluruh pos-pos kebutuhan pribadinyaterpenuhi, uang lebaran Najwa masih tersisa sekian ratus ribu. Tentu saja diasangat girang karena berpikir akan menghabiskannya untuk jajan atau membeliapapun yang diinginkan.
Eits … Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Segera kamiingatkan tentang rencana berkunjung ke Sky World untuk yang kedua kalinya. Jugarencana menginap pada liburan sekolah semester pertama.
Najwa berbinar mendengar kami mengingatkan kembali tentangrencana-rencananya. Dan dia pun setuju untuk menyimpan sisa uang lebaran yangmasih dimilikinya.
Akhirnya, seluruh uang itu tetap menjadi hak Najwa tanpakami kurangi jumlahnya. Hanya saja kami ikut membantu mengarahkan peruntukannya.Najwa pun mulai memahami dan tidak keberatan dengan semua yang telahdisepakati.
Kini, dengan bangga Najwa bisa berkata bahwa perlengkapansekolahnya yang baru dibeli dengan uangnya sendiri. Tentu saja hal ini sangat positif untuknya.Karena dia menjadi lebih semangat dan antusias untuk segera kembali ke sekolah.Lebih tepatnya ke sekolah barunya.
Mungkin kami terlalu konvensional sebagai orang tua. Tapibegitulah kami belajar dari berbagaimomen penting bersama anak. Bukankah tak ada satupun sekolah menjadi orangtua? Dan tak ada satu teori pun yang memberi garansi pasti berhasil untuk diterapkan dalam sebuah keluarga? Maka bereksperimen adalah cara yang tak bisa kami hindari untuk menemukan formula yang tepat.
Hihihi..Najwa keren euyy, beli perlengkapan sekolah pakai uang sendiri. Memang memberi pemahaman ke anak berkaitan dengan peruntukan uang angpau rada susah, apalagi kalo mereka tambah gede. Maunya dibeliin yang dia mau. Salut buat keluarga kecilnya Mbak Damar 🙂
Sip sip… Klo Adibaku masih boleh kuutangi, Alhamdulillah. Tau perjuangan simboke fia *halah perjuangan*merdeka!*