Setiap tiba waktunya Hari Kartini diperingati, selain isu emansipasi wanita yang sebenarnya sudah mulai bergeser arah, hal mengenai mengapa harus Kartini masih saja ramai diperdebatkan. Ya, memang pahlawan wanita bukan hanya Kartini. Cut Nyak Dien atau Martha Christina Tiahahu memiliki sejarah perjuangan yang tak kalah heroik. Mengangkat senjata pada zamannya tentu bukan suatu hal yang bisa dilakukan oleh setiap perempuan bukan?
Tapi sadarkah kita, bahwa sebenarnya kita telah mulai membandingkan peran seorang perempuan bahkan sejak di kelasnya Kartini dan Cut Nyak Dien. Mengapa Kartini yang rela dimadu dan bukan Cut Nyak Dien yang berdiri dengan bambu runcingnya? Mengapa bukan Dewi Sartika yang mendirikan Sakola Istri tapi justru Kartini yang rajin curhat lewat surat-suratnya.
Di sinilah emansipasi wanita mulai bergeser arah. Bukan tentang memperjuangkan kesempatan untuk sesama wanita. Tapi justru emansipasi wanita harus dibayangi dengan sindiran bahkan komentar miring dari sesamanya.
Menjadi Wanita yang Serba Salah!
Sejak awal pengasuhan anak perempuan pun, seringkali orangtua menunjukkan ekspektasi yang ambigu. Mengharapkan anak perempuan tumbuh menjadi sosok yang mandiri. Tapi terus dibatasi dengan standart kepantasan umum yang sering kali tidak menusiawi. Tidak memberikan kemerdekaan dalam berpikir dan mengekspresikan pendapatnya. Bahkan seringkali perempuan tidak menyadari pentingnya belajar mencintai diri sendiri.
Belum lagi, pencapaian sebuah prestasi bagi seorang perempuan acap kali harus dibarengi dengan perasaan iri. Tidak hanya dari para lelaki, terkadang cibiran atau komentar nyinyir dari sesama perempuan justru lebih “galak” dalam menghakimi.
Ketika mencoba satu langkah kecil untuk mandiri, masyarakat mulai memberikan sterotipe pantas ataupun tidak pantas.
Pun saat memilih tak memberikan kontribusi nyata di ranah publik. Seringkali perempuan dianggap ketinggalan “kereta”. Sudah bukan zamannya nggak eksis apalagi duduk manis tanpa melakukan hal produktif.
Serba salah!
Serba salah!
Baca juga: Berdamai dengan Diri Sendiri
Kita memang hidup bukan di zaman Kartini yang butuh diberikan banyak kesempatan seperti halnya pria. Atau di zaman di mana wanita bahkan tak mengenyam pendidikan sebagai bekal menghadapi kerasnya dunia. Kita hidup di mana banyak tanggung jawab besar ada di pundak kita sendiri sebagai wanita.
Ketika tanggung jawab menghadirkan pendidikan untuk wanita lebih banyak dilakukan oleh sesama wanita. Ketika tanggung jawab mencetak peradaban baru lebih banyak dibebankan pada setiap benih dan hasil pengasuhan wanita. Ketika buah pikiran perempuan tak terlalu banyak diperhitungkan di luar lingkaran perempuan.
Tidakkah sudah saatnya kita saling menguatkan? Saling memberikan kemerdekaan bagi perempuan untuk lepas dari “penjajahan” komentar. Memberikan kesempatan untuk membebaskan pikiran. Karena sejatinya perempuan butuh merdeka untuk diterima apa adanya. Merdeka bagi perempuan adalah ketika mereka dicintai sebagai manusia yang tak sempurna.
Sebuah kemerdekaan bagi Kartini masa kini berawal dari kemerdekaan berpikir. Merdeka dalam memilih dan menjalankan pilihan-pilihannya. Merdeka untuk didengar dan diterima apa adanya. Dan kemerdekaan ini hanyalah awal baginya untuk memerdekakan kartini-kartini lain di zamannya.
Selamat Hari Kartini tahun ini!
Iyayah baru ngeh. Dari dulu ternyata kita udah nyinyir ke perempuan lain. Duuh…
Kenapa kok hari Kartini, engga hari Dewi Sartika. Setuju…harus memerdekakan diri dari nyinyiran. Apa harus mematikan medsos nih? Eh…baru bentar udah ngintip lagi…
Selamat hari kartini juga Mba Damar. Semoga kita juga bisa memerdekakan pikiran dan perbuatan kita ya dalam batasan-batasan aturanNya. Tanpa harus takut dikomentari atau dinyinyiri oleh orang lain alias nggam baperan ya wkwkwk