Kusta bukan kutukan, orang dengan kusta bisa sembuh!
Berbekal keyakinan tersebut, Ernawati, seorang perempuan yang berasal dari Desa Kanjilo, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan berani bangkit untuk melakukan pengobatan. Sebagai penyandang kusta, ia menyadari kuatnya stigma dari masyarakat kepada orang-orang yang mengidap penyakit seperti dirinya. Penyakit kusta bagi sebagian masyarakat dianggap sebagai kutukan. Bahkan sering kali dianggap hasil guna-guna.
Ernawati menuturkan bahwa pada awalnya ia merasakan ada keanehan dalam tubuhnya. Ada bercak putih pada kaki dan tangan yang sangat mengganggu. Ia pun segera memeriksakan diri ke puskesmas, hingga akhirnya didiagnosa kusta.
“Penyakit ini membuat saya dikucilkan. Dianggap karena hasil guna-guna akibat menolak lelaki,” begitu ujarnya sambil berkaca-kaca.
Awalnya, Ernawati yang mengalami tekanan mental karena harus menghadapi cemoohan masyarakat sempat tidak melanjutkan perawatan medis ke dokter. Namun, Ernawati kemudian bangkit dan kembali melakukan pengobatan hingga akhirnya dinyatakan sembuh, tetapi ia masih harus merasakan diskriminasi sebagai Orang Yang Pernah Menderita Kusta (OYPMK).
Ernawati hanyalah satu dari sekian banyak orang dengan kusta yang terpaksa mengurungkan niat untuk sembuh dengan alasan malu dan tidak sanggup menghadapi kuatnya stigma dalam masyarakat (Kompas).
Apa itu Kusta?
Kusta, penyakit ini merupakan salah satu jenis penyakit yang masih mengancam Indonesia, namun jarang diperbincangkan karena minimnya pengetahuan masyarakat. Atau, bisa juga karena kuatnya stigma terhadap penyakit ini sehingga terdengar tabu untuk dibicarakan.
Lalu, apakah kusta merupakan penyakit keturunan atau kutukan?
Menurut website resmi Fakultas Kedokteran Tropis, FK-KMK Universitas Gadjah Mada, kusta bukanlah penyakit keturunan dan tidak disebabkan oleh kutukan. Hanya saja sebagian masyarakat masih sering mengaitkannya dengan najis atau darah kotor. Sehingga sebagian masyarakat menganggap wajar jika penyandang kusta dikucilkan.
Kusta atau lepra telah dikenal hampir 2000 tahun sebelum Masehi. Penyakit kusta merupakan salah satu contoh Neglected Tropica Disease (NTD). Kusta adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang disebut: Mycobacterium leprae.
Menurut World Health Organization (WHO), kusta menyerang berbagai bagian tubuh, seperti: saraf, kulit, dan mukosa saluran pernafasan.
Kusta dapat menular melalui droplet atau cairan dari hidung dan mulut pada saat kontak langsung dengan pasien kusta secara terus-menerus dalam waktu yang lama (WHO, 2019). Jadi, meskipun penularannya sama-sama berasal dari droplet penderita, namun penularan kusta tidak seperti Covid-19 yang sangat cepat. Penularan kusta terjadi jika seseorang memiliki kontak erat dengan pasien dalam waktu lama dan terus-menerus.
Bakteri penyebab kusta yaitu Mycrobacterium leprae berkembang biak dalam 2 hingga 3 minggu dengan masa inkubasi kurang lebih 5 tahun. Sehingga, gejala kusta tidak langsung muncul pada seseorang yang terpapar. Gejala kusta dapat muncul dalam 1 tahun, tetapi bisa juga baru muncul setelah 5 tahun.
Kusta ditandai dengan munculnya bercak putih pada kulit, merah, rasa kesemutan pada beberapa bagian anggota tubuh hingga hilangnya fungsio anggota tubuh (Kementerian Kesehatan, 2019)
Prevalensi Pasien Kusta di Indonesia.
Indonesia sendiri termasuk salah satu negara yang terus mengalami peningkatan kasus kusta baru setiap tahunnya. Prevlensi kusta di Indonesia sebesar 0,70 kasus/ 10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 8,08 kasus/10.000 penduduk pada tahun 2017.
Menurut data profil kesehatan Kementerian Kesehatan RI, semua provinsi yang berada di pulau Sulawesi, Maluku, dan Papua merupakan provinsi dengan angka penemuan kasus kusta baru yang cukup tinggi (jumlah kasus baru hingga 1.000).
Orang dengan Kusta Bisa Sembuh
Penyandang kusta bisa sembuh. Bahkan, jika ditangani lebih cepat maka dapat mencegah ancaman kecacatan. Namun, kusta yang tidak mendapatkan penanganan medis atau pengobatan memang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf tepi, anggota gerak dan mata.
Kondisi rusak permanen dan cacat inilah yang menyebabkan munculnya stigma dari masyarakat kepada pasien kusta yang sudah sembuh, maupun pasien kusta baru. Stigma merupakan pandangan negatif dan perlakuan diskriminatif pada seseorang. Hal inilah yang menghambat pasien kusta baru dan pasien yang sudah sembuh beserta keluarga untuk dapat menjalani kehidupan sosial sebagaimana mestinya. Bahkan tidak sedikit dari pasien kusta yang tidak mendapatkan akses layanan kesehatan yang layak untuk berobat.
Dukung Akses Kesehatan Inklusif bagi Disabilitas Termasuk Orang dengan Kusta
Seperti yang saya sebutkan di atas, penyakit kusta jarang mendapatkan perhatian, atau diperbincangkan karena minimnya pengetahuan masyarakat. Saya pun menganggap penyakit kusta di Indonesia sudah tidak ada, nyatanya prevalensi pasien kusta masih sangat tinggi bahkan terus meningkat setiap tahunnya.
Hingga pada tanggal 22 Juli 2021 yang lalu, saya mengikuti talkshow live Youtube chanel Berita KBR yang mengangkat topik “Akses Kesehatan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas termasuk Orang dengan Kusta”.
Hadir dalam talkshow tersebut:
- Bapak Suwata dari Dinas Kesehatan Subang.
- Bapak Ardiansyah, Aktivis Kusta dan ketua PerMaTa Bulukumba.
Talkshow live Youtube yang selama 60 menit yang dipandu oleh host Ines Nirmala ini disiarkan bersama 100 jaringan radio KBR di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Selain itu, talkshow juga dapat diakses melalui gelombang 104,2 MSTri FM Jakarta, live streaming via website kbr.id, dan chanel youtube Berita KBR.
Dalam talkshow tersebut Bapak Suwata menjelaskan bahwa prevalensi kusta di Kabupaten Subang juga masih tinggi, yaitu pada tahun 2018 ditemukan kasus cacat tingkat 2 sebanyak 7 pasien, pada tahun 2019 terdapat 9 kasus, sedangkan pada tahun 2020 sebanyak 12 kasus. Sehingga jika diakumulasi, dalam 3 tahun terakhir ini terdapat disabilitas akibat kusta sebanyak 28 orang. Sedangkan pada tahun 2019 jumlah disabilitas secara keseluruhan mencapai angka 11.872 orang.
Orang dengan kusta memiliki permasalahan disabilitas sensorik dan motorik, di samping harus menghadapi kuatnya stigma dari masyarakat. Hal ini sangat berdampak pada kehidupan sosial ekonomi mereka. Selain itu faktor umum seperti minimya pengetahuan akan kusta, pemahaman dan kepercayaan yang keliru tentang kusta, juga kesiapan petugas medis untuk melakukan deteksi dini terhadap penyakit kusta turut mepengaruhi penanganan orang dengan kusta.
Tidak jauh berbeda dengan permasalahan di Kabupaten Subang, menurut Pak Ardiansyah, di Bulukumba, Sulawesi Selatan sendiri stigma dan diskriminasi kusta masih sangat tinggi, dan ditandai dengan lambatnya penemuan kasus.
Selain itu, masih ada pasien kusta yang belum mendapatkan akses layanan pengobatan ke Rumah sakit Umum. Mereka hanya mendapatkan rekomendasi dari puskesmas, sedangkan petugas puskesmas sendiri belum dapat memberikan pelayanan secara optimal.
Upaya Peningkatan Layanan Kesehatan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas dan Orang dengan Kusta
Orang dengan kusta berada dalam kondisi memprihatinkan, bahkan bisa dibilang secara umum termarginalkan. Kondisi fisik yang berbeda kerap kali menjadi penghalang untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Begitu pun dengan akses pendidikan dan infrastruktur publik lainnya.
Menyadari hal tersebut, Dinas Kesehatan Kabupaten Subang melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan akses layanan kesehatan bagi inklusif termasuk orang dengan kusta. Beberapa di antaranya, yaitu:
- Melakukan advokasi pada pemerintah daerah setempat seperti yang tercantum dalam UU no. 8 tahun 2016.
- Menyediakan layanan kesehatan serta meningkatkan peran kesehatan inklusif.
- Mengintegrasikan layanan dalam Forum Satuan Kerja Perangkat daerah (SKPD) peduli kusta, dan disabilitas Orang Yang Pernah Menyandang Kusta (OPYMK), juga penyandang disabilitas.
- Membentuk kelompok-kelompok disabilitas untuk mendapatkan akses layanan inklusif, seperti layanan pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Layanan Inklusif terhadap Orang dengan Kusta di Masa Pandemi Covid-19
Pada masa pandemi seperti sekarang tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi orang dengan kusta untuk mendapatkan layanan kesehatan yang optimal. Hal ini rupanya mendorong Kabupaten Subang untuk menerapkan strategi tersendiri dalam hal pelayanan inklusif termasuk orang dengan kusta. Beberapa di anataranya, yaitu:
- Menerapkan layanan kesehatan secara integratif dan kolaboratif dengan cara deteksi dini melalui ICF, pengobatan fropilaksis pada kontak penderita kusta, pengobatan Multi Drug Therapy (MDT), tata laksana reaksi, perawatan dan pencegahan cacat, perawatan diri maupun pencegahan mandiri di rumah dengan cara menghadirkan perawat homecare.
- Menyipakan Sumber daya Manusia (SDM) melalui on the job training bagi dokter, petugas puskesmas, dan menyelenggarakan workshop tentang integrasi program di puskesmas.
- Meningkatkan peran serta masyarakat dalam workshop kader kusta, akses rujukan kusta di desa-desa, dan advokasi pembiayaan yang berasal dari sumber dana desa.
- Pemenuhan kebutuhan logistik terkait obat reaksi, obat untuk MDT, dan obat-obat lain.
- Pemenuhan jaminan kesehatan bagi disabilitas dan orang dengan kusta.
Program Prioritas bagi Disabilitas dan Orang dengan Kusta
Di samping itu, Kabupaten Subang juga menetapkan program prioritas terkait kusta dan disabilitas, yang meliputi:
- Pengendalian dan pencegahan penyakit kusta melalui pengobatan dan edukasi masyarakat untuk menghilangkan stigma.
- Pencegahan kecacatan terhadap orang dengan kusta.
- Mencanangkan program pemberdayaan orang dengan kusta dan disabilitas dengan menjalin kerja sama dengan sektor peningkatan life skill.
- Melakukan komunikasi untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap disabilitas dan orang dengan kusta.
Edukasi Masyarakat untuk Menghapus Stigma dan Diskriminasi Disabilitas dan Orang dengan Kusta
Menghapus stigma yang terlanjur berkembang dalam masyarakat bukanlah hal yang mudah. Diperlukan edukasi khusus, dan dilakukan secara terus-menerus hingga masyarakat meninggalkan informasi yang keliru.
Dalam hal ini, keberadaan organisasi seperti PerMata sangat berperan dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. PerMata merupakan organisasi bagi orang-orang yang pernah menderita kusta. PerMata bergerak dalam hal advokasi terkait kebijakan, penolakan layanan kesehatan bagi pasien, juga melakukan pendampingan pasien kusta untuk mendukung kepercayaan diri mereka.
Pak Ardiansyah sendiri, sebagai Ketua PerMata sekaligus aktivis kusta pernah melakukan rehabilitas selama 3 tahun. Hal inilah yang mendorongnya untuk terus melakukan edukasi kusta pada mahasiswa dan masyarakat umum agar memiliki pemahaman yang benar, sehingga dapat membentengi diri dari stigma.
Di samping itu Pak Ardiansyah dan PerMata juga aktif melakukan literasi kesehatan tentang penyakit kusta termasuk cara penanganannya agar diketahui banyak pihak.
Orang dengan kusta bisa sembuh. Baik Pak Suwata maupun Pak Ardi mengajak siapapun yang menderita penyakit ini untuk bersikap optimis bahwa kusta dapat disembuhkan. Mereka juga mendorong pasien kusta untuk melakukan perawatan tubuh dan konsultasi mengenai tata laksana reaksi. Selain itu orang dengan kusta perlu menggunakan alat bantu untuk mencegah terjadinya kecacatan.
Hal yang tak kalah penting dalah perlunya upaya bersama untuk mendobrak stigma yang terlanjur berkembang dalam masyarakat, untuk mendukung disabilitas kusta dan Orang Yang Pernah Menyandang Kusta (OYPMK). Bersama-sama kita perlu mendukung agar mereka mendapatkan layanan dan akses kesehatan inklusif bagi disabilitas termasuk orang dengan kusta yang setara dengan masyarakat pada umumnya.
Referensi:
- Chanel Youtube Berita KBR.
- https://tropmed.fk.ugm.ac.id/2020/08/28/penyakit-kusta-bukanlah-penyakit-kutukan/
- kompas.com
Iya nih, yang melekat dipikiranku soal kusta memang penyakit yang menular dan seperti biasa mendengar cerita2 orang tua jaman dulu turun temurun begitu.
Makasih loh penjelasannya, jadi lebih tercerahkan dan nambah wawasan aku seputar kusta.
Dan alhamdulillah ya, kalo bisa sembuh.
Semoga hadirnya PerMaTa terus mengedukasi masyarakat.
Dulu pertama kali mengenal penyakit kusta itu waktu saya nonton serial drama di televisi. Waktu itu memang orang yang punya penyakit kusta disangka sebagai penyakit kutukan dan sangat dihindari.
Syukurlah sekarang masyarakat sudah mulai diberi edukasi tentang penyakit ini, ya, sehingga tidak ada stigma buruk bagi penderitanya.
Sedih banget ya mereka yang kena penyakit ini. Sudahlah menderita karena penyakitnya, eh dapat stigma dan diskriminasi juga. Jadinya gak bisa produktif dan percaya diri. Semoga deh, dengan semakin banyaknya sosialisasi mengenai mereka, masyarakat jadi lebih teredukasi. Dan stigma serta diskriminasi itu gak ada lagi. Mereka berhak untuk hidup lebih baik.