“Serahkan mereka kepada alam, jangan patahkan ambisi mereka. Cita-cita mereka lebih tinggi daripada cita-cita kalian” – Sosaku Kobayashi.
Suasana peringatan Hari Pendidikan Nasional masih hangat terasa. Banyakkalangan baik aktivis maupun pemerhatipendidikan masih terus menyuarakan visi dan misinya tentang bagaimanaseharusnya pendidikan di negeri ini.
Bertepatan dengan hal itu, para pelajar berseragam “putihbiru” terlihat mengadu nasib di meja ujian. Ya, peringatan Hardiknas tahun inibebarengan dengan ujian nasional untuk siswa siswi tingkat SMP.
Sebagai orang tua, pengalaman saya memang masih minimterkait serba-serbi bangku sekolah anak. Baru tahun ini berencana mendaftarkanNajwa ke sekolah SD. Pilihan kami pun terbatas di SD negeri dan swasta yangpaling dekat dengan rumah. Memang batasan itu kami sendiri yang membuat,mengingat kami tinggal di Jakarta dan sangat menghindari menyekolahkan anak ditempat yang jaraknya relatif jauh dari rumah.
Dalam hal mendidik anak, saya setuju bahwa orang tua tetapmengambil porsi terbesar. Ibaratnya, sekolah hanyalah tempat bersosialisasi,menambah pengalaman nyata dan mengambil materi. Namun dalam penjabaran danpengaplikasiannya. Rumah dan orang tua harus mendominasi. Memberikan pondasiyang akan dijadikan sebagai pijakan bagi mereka kelak.
Berbicara tentang sekolah dan pendidikan, saya kembaliteringat dengan Tomoe Gakuen. Sebuah sekolah di Jepang yang berdiri pada zamanperang Asia-Pasifik. Teman-teman yang memiliki koleksi buku “Totto Chan, GadisCilik di Jendela” pasti sudah tidak asing lagi dengan nama sekolah ini. Ya,karena buku memoar Totto Chan begitu terkenal.Tidak hanya di Jepang, negara yang menjadi saksi bisukeberhasilan model pendidikan Tomoe Gakuen. Buku Totto Chan bahkan telahditerjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Sempatmenjadi best seller di zamannya, dan dibaca oleh para pemerhati pendidikan. Sekilas mungkin Temans penasaran dengan apa yang terjadidalam sistem pendidikan di Tomoe Gakuen. Sekolah yang bisa dibilang “biasa”saja pada saat itu. Bukan sekolah pemerintah yang penuh dengan fasilitas. Tapimereka memiliki model pendekatan dan pembelajaran yang “tidak biasa”. Yangakhirnya melahirkan anak-anak yang “luar biasa”.
Adalah Sosaku Kobayashi, seorang pendidik sejati yangmemiliki gagasan tentang Tomoe Gakuen. Kecintaannya pada anak, dan pemahamannyatentang karakter dasar anak tidak perlu diragukan lagi. Pada dasarnya, semuaanak memiliki karakter baik. Orang dewasa dan lingkunganlah yang kemudianmerusaknya. Entah secara sengaja atau tanpa disadari.
Sikap terbuka yang ditunjukkannya pada siswa siswi TomoeGakuen, mau tak mau membuat anak-anak nyaman berbagi apapun dengannya.Pendekatan model inilah yang memungkinkan seorang guru menanam dan menumbuhkanhal baik pada anak.
Tomoe Gakuen bukan model sekolah mutakhir dengan jadwalpelajaran padat dan beragam ekstrakurikuler. Tapi model sekolah sederhana,dengan beragam cara untuk menumbuhkan minat dan kecintaan anak pada bidang yangdisukainya. Kegiatan yang biasa disebut ekstrakurikuler pun terlalu berlebihan.Tapi, banyak hal dilakukan sebagai bentuk pembiasaan pada anak. Sebagai saranamembentuk rutinitas dan memasukkan nilai-nilai untuk ditanamkan pada jiwa-jiwayang masih polos dan suci.
Bagi Mr. Kobayashi, belajar tidak selalu duduk rapi di dalamkelas, tidak harus mengikuti jadwal berurutan yang ditentukan oleh pihaksekolah, dan tidak sebatas pelajaran bahasa, hitungan atau menghafal.
Berjalan-jalan di lingkungan sekitar sekolah adalahbagian dari memelajari ilmu alam. Makan siang bersama adalah saatnya berbagi dan mengenalaneka bahan makanan yang berasal dari gunung dan laut. Jam olahraga adalahsaatnya membentuk kepercayaan diri dan menghilangkan perbedaan antarasesamanya.
Model pembelajaran di Tomoe Gakuen terlihat spontan danalamiah. Tapi saya yakin Mr. Kobayashi dengan pemahamannya yang tinggi tentangsifat dasar anak telah merencanakannya dengan sedemikian rupa. Boleh jadianak-anak menganggap mereka hanya bermain-main di sekolah. Namun sang kepalasekolah sudah paham betul. Materi apa saja yang diselipkan di antara kesenangan-kesenanganitu.
Dalam banyak kesempatan, Mr.Kobayashi selalu berkata, “Kaubenar-benar anak baik”. Ucapan ini terus ditujukan kepada anak didiknya danmemberikan efek positif terhadap perkembangan karakter anak. Mendengar orang lain menyebutnya “anak baik”,alam bawah sadarnya akan merekam dan menjadikannya ingatan masa kecil yangmendasari perkembangan jiwa anak.
Hal ini pulalah yang membuat seorang anak yang pernahdikeluarkan dari sekolahnya, Totto Chan. Tumbuh menjadi pribadi yang memesona. TottoChan terus mengingat kata-kata Mr. Kobayashi, bahwa dia adalah anak yang baik.Kata-kata sederhana yang mampu menjadi “rem” dalam setiap tindakannya. Dan pendorong baginya untuk memberi arti dalam kehidupan ini.
Tidak hanya dibiasakan untuk berbuat baik dan menyayangisesama makhluk Tuhan. Totto Chan dan kawan-kawan dibiasakan untuk menghargaiperbedaan dan tidak menjadikannya sebagai sebuah permasalahan. Mereka juga didukunguntuk terus mengasah empati, meluapkan rasa ingin tahunya terhadap suatu permasalahan,dibiarkan mencari solusi dan diberikan tanggung jawab atas hal-hal yang telahdilakukannya.
Semua ini tentu saja tidak hanya dilakukan melaluiteori-teori dalam kelas. Tapi dalam berbagai kegiatan dan kesempatan. Bahkan permasalahanyang sengaja dirancang untuk memantik kecerdasan berpikir dan bertindak bagianak.
Bagi saya, Tomoe Gakuen adalah sekolah “luar biasa”. Sekolahyang mampu membuat anak-anak betah setelah bel pulang berbunyi. Atau membuatanak-anak tak tahan untuk segera ke sekolah saat bangun di pagi hari.
Mungkin, model sekolah dengan pembelajaran seperti di TomoeGakuen bisa menjadi angin segar di dunia pendidikan. Terlebih bagi orang tuayang memiliki anak-anak kritis dan cenderung susah diajak duduk berlama-lama dikelas. Atau mengikuti banyak ekstrakurikuler dan les sebagai pengisi kegiatandi luar jam sekolah.
Apalagi jika sekolah bisa menjadi jembatan, yangmengantarkan anak memahami sifat baik pada dirinya melalui pembiasaansehari-hari. Sehingga pendidikan karakter tak lagi butuh untuk dijabarkan dalamberlembar-lembar kurikulum pendidikan yang minim pengalaman nyata.
Ah… Sepertinya ini hanyalah impian dan curhatan BukNaj yang sedang mencari sekolahuntuk Najwa. Meskipun kadang impian tak seindah kenyataan, tapi memiliki sebuahpegangan sebagai role model wajib hukumnya. Sehingga, sebagai orang tua kami bisamembantu memenuhi kebutuhannya akan ilmu dan pengalaman yang tak didapatnya di bangku sekolah formal. Semoga …
Walaupun saya memberi komentar terlambat, tapi monggo untuk melihat konsep Sekolah Tetum Bunaya di Jagakarsa, sekolah yg konsep dan kurikulumnya diciptakan mirip dg Tomoe Gakuen.
Terima kasih