Juli 2017, resmi sudah aku menjadi orangtua murid dari seorang siswa SD Negeri di wilayah Jakarta Timur. Saat itu usia Najwa 6 tahun 6 bulan. Meskipun berada pada urutan kedua dari bawah—dari total 64 siswa yang diterima—kami cukup bersyukur karena akhirnya tak perlu mengikuti seleksi penerimaan siswa pada gelombang yang ketiga.
Sebelumnya Najwa memang gagal mendaftar di gelombang pertama. Persaingan usia calon siswa yang rata-rata berada di kisaran 7 hingga 8 tahun membuat namanya langsung terpental beberapa detik setelah formulir pendaftaran berhasil kulengkapi secara online. Ya, seleksi penerimaan siswa di sekolah dasar negeri memang hanya didasarkan pada usia saja, tanpa melihat kompetensi lainnya. Sehingga semakin cukup usianya, maka semakin tinggi pula peringkatnya.
Rupanya hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang tidak mewajibkan calon siswa menguasai materi calistung di tingkat taman kanak-kanak. Bahkan untuk masuk ke sekolah dasar pun seorang anak tidak diharuskan lulus dari bangku taman kanak-kanak.
Sebagai calon orangtua murid tanpa pengalaman—karena Najwa adalah anak pertama—kami tentu cukup bersyukur ketika calon sekolah tempat belajar Najwa telah menerapkan Kurtilas, atau Kurikulum 2013. Dalam ekspektasi kami, sistem pembelajaran dengan kurikulum ini akan mendekati metode pembelajaran di sekolah tempat aku pernah bekerja sekitar sepuluh tahun silam. Contextual learning, begitu teman-teman guru biasa menyebutnya.
Kelebihan Kurikulum 2013
Akhirnya, tibalah hari di mana aku dan seluruh orangtua murid baru berkumpul di sekolah untuk pertemuan dengan guru dan kepala sekolah. Dalam acara yang berdurasi kurang lebih 60 menit tersebut, guru menekankan bahwa dalam Kurikulum 2013 nanti tidak ada lagi sistem ranking kelas, karena pada dasarnya semua anak cerdas dengan kecerdasan masing-masing. Sehingga tidak ada siswa paling cerdas atau sebaliknya.
Berulang kali pula guru menekankan bahwa penilaian dalam Kurtilas tidak didasarkan pada hasil akademis saja, melainkan karakter dan kepribadian anak. Oleh sebab itu guru tidak hanya menilai berdasarkan hasil di atas kertas, tapi juga dari keseharian dan cara anak berinteraksi dengan lingkungannya.
Di samping itu anak juga dituntut untuk aktif, kreatif dan berpikir kritis, karena dari pemaparan yang dapat kutangkap, nantinya dalam proses pembelajaran guru hanya berperan sebagai fasilitator. Sedangkan anak-anak akan digiring untuk memahami suatu persoalan, mengajukan pertanyaan, berdiskusi kemudian menemukan jawaban untuk permasalahan yang ditemuinya selama proses belajar.
Selain itu mata pelajaran juga dibuat lebih sederhana dalam bentuk kesatuan tematik. Sehingga beberapa mata pelajaran akan saling berkesinambungan dan jumlah buku yang harus dibawa anak juga menjadi lebih sedikit.
Bagi kami sebagai orangtua, segala hal yang berkaitan dengan tujuan atau lebih tepatnya kelebihan Kurtilas ini terdengar sangat menggembirakan. Karena nantinya sekolah tidak hanya mencetak ranking tapi juga bibit-bibit dengan karakter unggul. Anak-anak yang tidak hanya pandai mengerjakan soal di atas kertas ulangan, tapi aktif mencari solusi atas permasalahannya dan peka terhadap lingkungan.
Sayangnya saat itu guru tidak memberikan gambaran bagaimana nantinya penerapan Kurtilas ini di sekolah. Dengan jam belajar yang singkat, guru pun tidak menyampaikan seberapa besar beban materi dan target yang harus dituntaskan. Tidak pula disampaikan mengenai model pendampingan orangtua di rumah. Sehingga rasanya masih ada yang mengganjal. Namun aku berusaha positif saja karena masih awal. Seiring berjalannya waktu, aku yakin sekolah akan sering mengajak orangtua berdiskusi sekaligus mengevaluasi perkembangan anak-anak.
Penerapan Kurikulum 2013 yang Lumayan Bikin Galau
Terus terang, aku lumayan senang sekaligus kaget ketika menerima buku tema 1. Senang karena materi di dalamnya lebih banyak meminta praktik ketimbang ceramah. Kaget, karena bahannya banyak jika dibandingkan dengan jam belajar yang kurang lebih hanya 2,5 jam saja.
Aku juga mulai ragu, dengan materi yang lumayan banyak dalam satu tema, apakah mungkin semua materi disampaikan dalam bentuk contextual learning? Cukupkah kesempatan anak untuk berdiskusi dan mengeksplorasi sebuah materi? Bagaimana dengan tugas prakarya yang ada di beberapa sub-tema? Sempatkah semuanya dikerjakan di sekolah, mengingat model penilaian yang melibatkan pengamatan guru terhadap kreatifitas siswa?
Akhirnya, satu per satu pertanyaan itu pun terjawab seiring berjalannya proses belajar mengajar di kelas. Selain PR yang tak luput menjadi oleh-oleh dari sekolah, materi membuat prakarya, pengamatan dan diskusi pada akhirnya harus kami tuntaskan di rumah.
Celah Penerapan Kurikulum 2013
Mungkin teman-teman juga bertanya-tanya kenapa penerapannya justru seperti itu? Mengapa materi yang melibatkan aktivitas dan kreatifitas anak justru tidak dituntaskan di sekolah? Kuduga semua itu dikarenakan beberapa hal. Beberapa di antaranya sebagai berikut:
Pertama, kemampuan anak tidak seragam. Misalnya dalam hal yang paling mendasar saja yaitu calistung. Tidak semua siswa sudah lancar membaca atau berhitung ketika berada di bangku kelas 1. Padahal, sejak sub-tema 1 semua materi sudah menuntut anak bisa membaca, menghitung bahkan menganalisa kalimat. OMG, aku hampir nggak percaya saat membaca soal-soal di buku tematik Najwa. Terlalu sulit bagi guru untuk mendampingi siswa yang baru belajar membaca dan menulis bersamaan dengan mengajak siswa yang lainnya memahami dan menganalisa soal.
Kedua, jam belajar terbatas dan minim alat peraga. Sekitar 10 tahun yang lalu aku pernah bekerja di sekolah islam yang berafiliasi dengan sekolah di Singapura. Model pembelajaran yang kami terapkan pada saat itu mendekati contextual learning dan disusun tematik. Kala itu aku yang berada di bagian keuangan merasakan sendiri besarnya biaya operasional yang harus kami keluarkan untuk bahan dan alat peraga pembelajaran. Guru pun dituntut aktif dan kreatif menyiapkan bahan untuk setiap sesi tatap muka. Di samping itu, sekolah kami dulu merupakan sekolah full day yang mana jam belajarnya sangat panjang. Guru pun lebih leluasa mengatur aktivitas harian siswa sesuai dengan materi yang ingin diperdalam.
Ketiga, materi yang harus dituntaskan terlalu banyak. Bisa dibayangkan dong, kalau materi banyak sedangkan waktu sangat singkat, otomatis semuanya serba dipercepat. Salah satu solusinya mau nggak mau orangtua yang bertugas menuntaskan.
Di samping hal-hal di atas, ada beberapa hal yang kurasa masih kurang sejalan antara tujuan dan penerapan kurtilas. Di antaranya mengenai penentuan KKM yang lumayan tinggi untuk semua mata pelajaran. Ya, angka 70 pada mata pelajaran matematika bagi sebagian siswa memang tidak seberapa susah untuk dicapai. Tapi bagi siswa lain yang belum atau tidak memiliki ketertarikan pada mata pelajaran ini, tentu sangat berat.
Lalu mengapa, jika Kurikulum 2013 menganggap semua anak cerdas dengan kecerdasan masing-masing masih memberikan beban yang begitu berat untuk semua mata pelajaran? Apakah seorang siswa yang mendapat angka 90 di matpel bahasa indonesia, sedangkan 50 untuk matematika bisa dianggap tidak cerdas? Tentu tidak jika mengacu pada tujuan kurtilas. Tapi sayangnya, anak-anak dengan angka 50 ini kerap kali harus membuat pendidik mengeluh karena “terpaksa” harus “menuliskan angka yang berbeda”. Dari sisi orangtua dan pendidik, hal ini sebenarnya terlalu menjadi beban.
Selain itu aku juga sedikit galau dengan penilaian prakarya anak yang didasarkan pada hasil akhirnya. FYI tugas prakarya ini dikerjakan di rumah, sudah barang tentu orangtua akan membantu. Di sini proses kreatifitas anak hampir-hampir terlepas dari pengamatan guru. Parahnya lagi ketika guru justru mengagumi karya yang minim sentuhan tangan anak, hm… semakin tidak sinkron saja pengaplikasian kurtilas ini dengan tujuan awalnya.
Yang terakhir dan semoga setelah ini BukNaj nggak galau lagi dengan Kurikulum 2013, mengenai materi yang menurutku loncat-loncat. Dalam bayanganku, belajar dengan metode tematik justru mengajak anak mendalami suatu materi tuntas hingga akar-akarnya. Apalagi model pertanyaan dalam Kurtilas yang sengaja dibuat untuk mengembangkan pemahaman dan analisa siswa. Di sini seharusnya rasa ingin tahu siswa semakin besar terhadap sebuah tema untuk dipelajari hingga tuntas.
Tapi sayangnya materi Kurtilas terkesan meloncat-loncat—khususnya matematika. Misalnya saja dalam satu tema, ketika anak sedang belajar perkalian dan mulai menunjukkan minat yang tinggi. Eee, tiba-tiba saja dia harus belajar materi lain pada buku tema berikutnya. Sehingga seringkali minat anak hilang begitu saja karena menurutnya sekarang sudah harus belajar yang lain.
Lebih dari semua kegalauanku ini, sebenarnya aku tak permah mempermasalahkan keterlibatan orangtua yang cenderung dominan untuk mendukung ketuntasan belajar anak. Tapi, tolonglah, untuk materi kelas bawah (kelas 1 sampai 3), mohon kiranya diperhitungkan lagi beban dan targetnya. Sehingga anak bisa lebih menikmati masa-masa awal sekolah dan tidak hanya berpikir pada kompetisi, tugas dan ulangan.
Semoga kegalauan seperti ini hanya terjadi padaku saja. Dan semoga saja kami segera menemukan solusi yang mendukung ketuntasan penerapan Kurikulum 2013 ini. Ya, semoga.
kebayang sih dulu waktu SMP kurikulum apa ya itu lupa, tapi matkulnya juga banyak banget heu. Udah sekolah cuma 5 hari dan pulang abis ashar, abis itu ditambah les, sampe rumah jam 9. berasa banget puyengnya. Apalagi anak jaman sekarang yes, duh enggak ngebayangin, hiks. Kasian. Semoga nanti ada solusi yang lebih baik ya bun. Aamiin.
Hai, Mbak. Sedikit banyak aku bisa membayangkan apa yang dirasakan Mbak Damar sebagai orangtua. Aku nggak bisa tahu seutuhnya karena anak-anak bersekolah di sekolah swasta. Tapi mendengar cerita teman yang putra-putrinya bersekolah di sekolah negeri, sepertinya memang masih banyak PR di bidang pendidikan di negara kita . Aku terkejut lho waktu tahu siswa kelas 1 SD masuk pukul 07.00 pulang pukul 10.00. Aku bukan pendukung anak seharian di sekolah. Tapi bisa dibayangkan ya, pemanfaatan waktu yang sedemikian pendek bagaimana. Ya itu tadi, akhirnya semua menjadi PR dan orangtua yang dominan mengerjakan. Di sini guru jadi nggak tahu proses peserta didiknya dalam menyelesaikan permasalahan. Semoga ke depan ada perbaikan untuk kebaikan bersama ya, Mbak. Aamiin.
Anakku pas di sekolah lama pake kurtilas. Tapi trus pindah rumah, pindah sekolah, balik ke kurikulum sebelumnya.
Kegalauan yang sama
Dan ternyata jauh dari bayangan…di sekolah anakku, yang SD, masih ada peringkat . Dan itu diumumkan, dikasih piala dst..
Duh!
Terus loncat-loncat iya…sampai bingung ngajarinya, apalagi anaknya
Terus dia enggak full day juga..jadi banyak PR atau tugas untuk di rumah karena enggak cukup waktu di sekolah
Hiks! Aku berdoa banget ada solusi untuk Kurtilas 13 ini…
Tentang prakarya anak yang dikerjakan di rumah. Akhirnya anak-anakku dapat nilainya enggak pernah sempurna. Temannya 90-95 tapi anakku 80-85 karena bikin sendiri.
Karena yang dinilai hasil akhir. Padahal ribut di WAG ortu yang ngerjain Ayah atau Ibu. Hiks
Pengalaman anak pertama saya dulu (masuk SD tahun 2007), belum ada kurtilas, tapi sudah pakai tematik. Hasilnya ok banget menurut saya.
Tapi melihat materi kurtilas di sekolah anak ke-2, agak “berat” rasanya.
Memang tidak mudah menyesuaikan tema dengan materi untuk pelajaran tertentu yang runtut, seperti matematika, tapi tentu saja bukan tidak mungkin. Butuh kerja keras para guru & penyusun kurikulum saja sih untuk mewujudkannya, hehe… (please, jangan dibully, ini PR besar untuk memajukan pendidikan kita, hehe)
Anakku Afra juga di SD Negeri nih. Tapi kurtilas baru dia rasakan kelas 6 ini. Fiuhh, emang ga cukup kok waktunya kalo semua pelajaran tematik diselesaikan di sekolahnya. Alhasil, emang saya dan misua wajib nemenin dia di rumah. Ortu ikut2an belajar lebih lamaaa
Nah, karena Afra kelas 6, pastinya ada try out UN. Balik lagi deh ke ‘mapel sendiri2’ kalo lagi try out gitu. Nanti UN pastinya ga pake tematik, hehe
Pastinya, bongkar pasang kurikulum ini sebenarnya untuk mencari formula yg pas. Sebenarnya kurtilas maksudnya bagus, apalah daya masih meraba2 sepertinya.
Kok saya pengennya spt di Jepang gitu, ya. SD (1-3) seharusnya pelajarannya sederhana aja, lebih menekankan ke karakter, tapi harus realistis. Ga usah diburu2, gitu lho. Khususnya untuk SD Negeri yg notabene ada sampai pelosok (baca: perwakilan anak2 seluruh Indonesia). Kalau yg swasta mah mereka emang punya ‘formula khusus’
Still waiting. Anak lanang masih 5 tahun lagi masuk SD, hehe. Insya Allah
Ternyata anak pertamanya seumuran dengan anakku. Memang bikin galau kurikulum sekarang yang bebannya berat untuk anak-anak, terutama yang sekolah di negri. Alhamdulillah anakku di swasta ga dikasih PR dan ulangan, dia sistemnya pakai tematik per term dan harus selesai di sekolah worksheetnya. Memang full day sekolahnya, jadi saya ga mau bebani lagi dengan les ini itu. Di rumah hanya untuk istirahat.
Semoga Buk Naj ga galau lagi ya, ikuti maunya anak aja belajarnya, sambil didampingi.
Semoga sistem pendidikan kita akan terus diperbaiki. Dan tidak sebentar2 mengganti kebijakan yang kadang jadi membingungkan.
Kasihan anak-anak sekarang, kayak jadi kelinci percobaan. Anak saya yang SD negeri, awalnya kurikulum lawas, kemudian di uji coba kurtilas, PR nya juga seabreg mb??
Wah… Ternyata gak hanya saya yg galau nih. Kebetulan anak saya kurtilas saat kelas dua. Nah. Dia sempat mogok karena bingung soalnya kelas satu kurikulum 2006. Hadeeh… Tapi Alhamdulillah gurunya komunikatif dan terbuka jadi saya sering tanya perkembangan anak saya. Terkait prakarya biasanya saya beri dia contoh di rumah dan saya suruh melanjutkan di sekolah. Memang ada siswa lain yg langsung jadi saat dibawa ke sekolah. Tapi saya ingin anak saya bisa menikmati proses. Biarlah nilai tak sebagus temannya. Saya selalu menekankan jika nilai tidak penting. Haha
Jangan galau buuun, tenang jangan panik nggak hanya ortu kok kami juga guru masih belajar belajar dan belajar lagi
kurtilas memang masih jadi persoalan. aku dulu nerapin kurtilas bersama tim manajemen sekolah. jadi ada bedah kurikulum dulu sebelum diterapkan ke siswa.
Sebenarnya banyak yang masih salah mengartikan kurtilas ini, padahal ide awalnya justru tidak membebani anak. Tapi begitu deh, pergantian mentri pergantian aturan juga.
Harusnya kurikulum itu tidak menjadi beban bagi siapa saja termasuk orangtua. Saya juga sering kesal sekaligus sedih lihat bungsu saya pulang sore. Malamnya kerja PR berjibun. Kapan istirahatnya?
buta banget dengan kurikulum 2013, sudah gak punya anak kecil lagi
Kalau KKM, sebetulnya aku pernah nulis di blog Mbak. KKM ada sebagai batas standar kemampuan yang harus dikuasai anak. Mo gimanapun bakat minat kemampuan anak, ya batas minimal ya KKM itu. Pun kalau anak susah mencapainya, guru punya stok tahapan remedial. Penentuan angka KKM pun aslinya ada beberapa dasarnya. Nggak bisa ujug-ujug bikin angka 75 misalnya.
Saya sendiri pas lihat kurtilas malah mikir, ini mah seharusnya dan asyiknya untuk anak HS Guru punya keterbatasan waktu untuk melakukan PBM bersama siswa di sekolah kalo menerapkan Kurtilas yang emang titik pusatnya di proses.
tosss..sesama ortu galau juga dengan kurtilas ini. Beban pelajaran anak2 jaman sekarang ko besar ya. tapi setuju sih kalau setiap anak itu cerdas dengan keunikan masing-masing
Beberapa kali aku membaca tentang masalah di kurikulum baru ini. Membacanya saja sudah ikut pusing, apa lagi kalau mengalaminya langsung kali ya. Iyah semoga para penyusun kurikulu gak hanya pintar tapi pandai juga memahami kondisi di lapangan ya Mbak
Ternyata sama ya yang dirasakan banyak orang tua tentang kurikulum tigabelas ini. Rasanya bener2 bikin galau. Aku punya adik aja kalau bantuin ngerjain PR aja aku bingung sendiri. Tapi semoga anak anak kita semua bisa mengikuti ya mba
Sebagai orang tua yang anak-anaknya masih kelas 3 SD dan 2 SMP, saya juga melihat pendekatan yang dipakai sekarang agak berat dan seringkali banyak yang melebihi kapasitas anak-anak. Dan yang dikejar adalah kemampuan substansi saja ya, sisi lain yang perlu dibina jadi tidak sempat terpegang
anaku udah pake kurtilas di sekolah. ga masalah n bisa ikutin. cuma buat si bungsu yg agak riweuh krna dia kalo belajar harus dibacaain. emaknya yg puyeng nyari2 materi di buku tematik yg campur baur 😀
Baca ini aku jadi teringat keluhan kakakku yang sempat menyekolahkan anaknya di SD Negri. Kurang lebih keluhannya sama sepetti mbak, terutama untuk anak2 kelas 1-3 yang seharusnya mereka masih dalam posisi diajari tapi sudah dipaksa untuk mengerti kurtilas.
Mbaaa Damar semangat yaa.. kakak aku jg sdikit galau. Saat kls 1 masih ada ranking gtu. Anaknya sekarang kls 2.
Bbrp cerita memang banyak PR dan tugas pra karya..kurikulum yg berubah2 >.<
Huah.. Kalau bahas kurikulum pendidikan memang bikin pusing. Saya sih belum punya anak, tapi saya lihat adik saya yang kecil. Sekarang PR banyak, hampir tiap hari ada. Belum lagi bikin praktek kerajinan tangan.
Gimana nanti kalau saya punya anak dan masuk sekolah, sistemnya gimana lagi ya?
Aduh sedih kalau prakarya terlepas pengawasan. Tapi, di sinilah terlihat peran ortu bagaimana anak bisa mandiri belajar mengerjakan tugas atau bahkan dibantu ortunya. Komunikasi dengan pihak sekolah harus intensif. Pengalaman jadi guru dulu, perlu banget kerjasama kedua belak pihak
Aku ikut galau membaca tulisanmu Mbak hahahhaha komen2nya juga tapi jadi bikin melek soal ini. Karena taun kemarin Mamahku membahas kurtilas dan akunya gak mudeng. Di rumah adik bungsuku masih usia sekolah.
Tahun 2020 planningku anakku masuk SD, bukan SD Negeri tapi Madrasah Negeri. Membayangkan kurtilas dengan tugas segambreng di rumah. Ulala banget.
akhirnya ketangkap juga kegalauan emak2 di sini. Ini kurtilas makin bikin ortu jadi murid juga.
Berat ya kurikulum sekarang, hiks jadi ikutan galau juga gimana nanti anak saya bisa ngikutin apa engga. Mendengar keluhan yang tak hanya datang dari ortu tapi juga yang bersangkutannya suka ngeluh ini itu, beda sekali dgn jaman emaknya dulu sekolah itu mengasyikan
Jujur nih mba aku agak kurang srek ya sama kurikulum 2013 ini. Untuk anak kelas 1-3 terlalu banyak dan materi berat.
Akhirnya yang belajar orang tua bukan anak. Kasus seperti ini, keponakan dan teman-temannya di kasih PR tapi mereka tidak mengerti dengan materi karena si guru hanya nyuruh belajar sendiri, semua materi ada di buku. Memang betul ada dibuku. Lalu, ngapain anak sekolah kalau akhirnya orang tua yang ngajarin di rumah? Sehingga saat ulang banyak anak yang nilainya merah.
Kurikulum 2013 untuk kelas 1-3 memang agak berat mba. Ditambah beberapa sekolah tidak memiliki guru berkualitas. Seperti di sekolah keponakan. Gurunya tidak pernah menjelaskan, suruh belajar sendiri dari buku
Heheh sy juga sempat mengalami mba …merasa menjelimet amat ini tematik tp sekarang dibawa santai, apalagi gurunya kreatif anak2 diminta nandai dengan post ini beda warna di buku untuk tema beda jd pas belajar yg dibaca tinggal liat warna post it di buku
Mungkin harus ada keikutsertaan peran ortu dalam kurtilas ini mbak. Jadi ortu juga tahu betapa pentingnya proses kreatif anak.
Itulah sebabnya aku juga galau mau lanjutin HS atau masukin anak ke sekolah. Sementara sekolah yg aku taksir dengan cara belajar yg lbh ok harganya bikin aku pengsan haha 😛
Moga2 anak2 kita dikuatkan nih belajarnya, ortunya disabarin jg, supaya gak mematok harapan tinggi, jd sama2 legowo dalam belajar. Yg penting anaknya sholeh sholehah no 1 ya mbak 😀
Kalau saya lebih suka kurikulum sebelumnya. Kebetulan anak pertama masih dapat yang biasa sampai sekarang kelas 3. Sementara anak kedua sudah pakai kurikulum 13 dari kelas 1.
Untuk beberapa pelajaran lebih enak pakai kurikulum lama, walau memang akan lebih “capek”. Sementara kurikulum 13 lebih santai, tapi isinya banyak. Sebenernya kalau waktunya sedikit malah banyak yg gak dipelajari.
Seperti prakarya yg sekarang jarang dijadikan aktivitas kelas maupun PR.
Padahal sekolah negri anaknya teman saya, setiap hari dapat tugas prakarya, tapi di sekolah negri dekat rumah, hampir tak pernah mengerjakan semuanya dari awal tahun.
Mungkin balik lagi yaa ke sekolah dan wali kelasnya.
Aku jadi inget anak temenku yang stress masuk SD mba karena kelas 1 ya seperti yang mba jelasin menganalisa memberikan pendapat sementara ia belum lancar membaca akhirnya pulang sekolah sama temenku dimasukin Bimba dan terjadilah ya gitu deh ujung2nya kini pindah sekolah :p entah ya aku ga mau salahin sapa2
Neyna juga TK B dituntut sudah mampu baca mba alhamdulilah semester 1 kemarin aku bisa ngejar dan masuk semester 2 ini dituntut nulis halus wkwkwk kudu simingit jadi ortu
Kok aku jadi ikutan galau juga yaa,tapi aku nggakpunya solusi untuk memperbaiki gimana pola yg tepat untyk anak belajar di sekolah
Kalau lihat materinya sebenarnya lebih lengkap kurtilas, karena lebih padat cuma belum lengkap dengan alat peraga aja
Anak-anak saya waktu SD menggunakan kurtilas. Sedangkan di SMP Negeri, satu anak menggunakan kurtilas dan lainnya tidak. Kebetulan mereka berbeda SMPnya.
Menurut pengalaman saya, kurtilas ini kurikulum yang sebetulnya bagus. Tetapi, masih cocok untuk sekolah swasta. Alasannya, sekolah swasta kan jam belajarnya lebih panjang. Selain itu yang paling menjadi faktor terpenting adalah rasio murid : guru tidak sebanyak di negeri. Jadi, kegiatan belajar mengajar (KBM) pun bisa jauh lebih fokus. Apalagi kurtilas kan memang dituntut untuk mengadakan KBM yang aktif.
Kalau di negeri jadinya ya gitu, deh. PR melulu karena keterbatasan waktu dan rasio yang banyak banget muridnya
Tetangga saya juga banyak yang mengalami kendala saat pendaftaran sekolah anak by online ini. Bener2 beda 360 derajat saat masih sekolah dulu, di era sekarang seorang anak benar2 dituntut menjadi hiperaktif untuk mendapat penilaian yang baik
Itulah sebabnya kelima anak saya tidak ada yg di SD negeri, wkt yg sangat singkat, perbandingan jumlah murid dan guru, serta penyeragaman guru thd anak /tdk bersifat individual menjadi point penting alasannya. Termasuk 6 thn masa di SD adalah masa yg sangat panjang dgn kondisi guru SD negeri saat ini (maaf, mdh2an hanya di kota saya) saya khawatir krn anak adalah plagiator ulung sangat belajar pada lingkungannya. Blm lagi penerapan pelajaran agama secara teori n praktek yg sangat kurang….
Maaf ya mba..saya hanya menuliskan pendapat saya, sy tahu pasti Mba punya alasan dan pertimbangan ttt memasukan anak ke sklh negeri. Sy tau tdk semua sklh negeri spt sy bayangkan, tdk semua swasta jg baik..hrs pintar milih2..juga…
Duh niat banget saya komen sepanjang ini ya hahaha…..
Kurtilas emang bisa dibilang baru diterapkan ya..semoga kedepannya baik pihak pemerintah dan guru lebih siap lagi jadi para ortu ga merasa galau akibat penerapannya yg ga sesuai dengan yg diharapkan.
Bener deh mbak, bahannya itu banyak banget. Saya sampai kaget pas tahu si kecil ikutan berkali-kali ulangan harian. Saya juga baru tahu kalau sudah tidak ada sistem ranking ya pas terima rapor kemarin. Tenang jadinya..soalnya anak saya tipikal pengen nomor 1 muluk -_-
Aku setuju kurikulum 2013, karena akdemis tidak didepankan. Lebih baik karakter yang di kembangkan. Lihat saja perilaku anak sekolah zaman sekarang berbeda banget dengan yang dulu.
Kalau mendepankan nilai akademis, anak-anak bisa mendapatkan nilai bagus, dengan menyontek. Mungkin ada yang stres dan depresi karena tinggal kelas.
belum punya anak sih, cm berharap semoga penerapan kurikulum ini berjalan dengan baik dan lancar yah.
Aku punya anak kelas 1 mba. Paling males klo pelajaran SBK…ya itu, akhirnya malah jd pelajran buat ibunya.. nyari bahan, kadang mesti finishing…