Perempuan Berkebaya Biru

Wong wedok gak kudu neko-neko, tapi kudu sembodo.

Subuh belum berkumandang, saat aku mulai sibuk dengan beberapa stofmap dan file kabinet di tangan. Lama sudah aku mencari selembar kertas pengganti akta kelahiran, yang seingatku masih kusimpan sebagai salah satu kenangan masa kecilku. Aku ingat betul saat menyimpannya dalam amplop bersama akta kelahiran baru, setelah perubahan tanggal lahirku. Dan beberapa foto saat usiaku belum juga genap 1 tahun.

Kuambil kembali sebuah amplop coklat yang warnanya mulai kusam. Kubuka dan pilah satu-persatu seluruh dokumen yang ada di dalamnya. Huff … Lenyap! Tak selembar pun kertas tua yang kucari ada di sana.
Kubereskan seluruh isi amplop yang telah kumuntahkan. Namun, beberapa saat kemudian perhatianku teralihkan oleh selembar foto usang yang terselip di antara foto-foto masa  kecilku. ” Itu aku, …” gumamku dalam hati.
Bayi mungil berbaju merah, lengkap dengan kaos kaki dan topi berwarna senada, dalam gendongan perempuan berkebaya biru. Seketika kuambil foto itu dan bersihkan debu yang menempel di permukannya. Perempuan itu, entah berapa lama aku telah melupakannya. Bahkan dalam doa-doa pun, aku kerap kali melupakannya.
Perempuan itu Mbah Uti, Ibu dari ayahku. Parasnya ayu, berkulit putih bersih tanpa sentuhan bedak apalagi gincu. Rambutnya panjang, lurus dengan sedikit ikal di bagian bawah. Tapi tak terlalu kentara karena konde kecil selalu menjadi pilihan gaya rambutnya. Seingatku warna rambutnya selalu hitam. Tapi itu dulu, atas nama usia hampir separuhnya telah berubah menjadi putih kelabu.
Dalam sebagian memori masa kecilku, aku mengingatnya sebagai sosok yang halus dalam bertutur. Cocok dengan lakunya yang sopan dan tabiatnya yang khas perempuan zaman dulu, nggak neko-neko. Menurut cerita ibuku, Mbah Uti adalah sosok perempuan penjaga. Beliau bukan hanya mampu menjaga kehormatan suaminya. Namun sebagai istri, ibu, wanita dan seorang anak, ia mampu menjaga kehormatan keluarganya.
Sifatnya memang pendiam, mungkin memang begitulah caranya untuk menahan godaan ber-ghibah atau mengelola amarah. Semasa hidupnya, Mbah Uti selalu tunduk pada suami. Bahkan sampai Mbah Kakung meninggal pun, tak sedikit nasihat dan larangannya masih diugemi Mbah Uti.
Gaya hidupnya datar dan sederhana. Tak pernah berhutang, namun tak juga berlebihan dalam membelanjakan harta. Suatu ketika, jika hasil panen sedikit melimpah, beliau tak lantas berfoya-foya. Pun saat sawah tak memberikan hasil yang sepadan, maka hasil kebun menjadi bahan konsumsi harian, atau dijadikan sebagai alat barter di pasar.
Laku hidup seperti itu telah ditularkannya pada ibuku. Hingga akhirnya beliau pun mampu mengentaskan kami berempat tanpa bermodal pensiun, apalagi warisan dari almarhum Papa. Sungguh laku hidup yang pantas untuk ditiru. Meskipun aku tahu, tak mudah untuk menerapkannya di zamanku.
Dalam banyak hal, Mbah Uti telah menyumbangkan inspirasi bagi kami, empat anak perempuan yang kini telah bergelar ibu. Meskipun tak mengenyam pendidikan tinggi di bangku sekolah formal. Namun semangatnya untuk berilmu tak lekang oleh waktu. Kembali hangat dalam ingatanku, saat kacamata tebal berframe hitam yang dikenakannya mulai melorot hingga tengah tulang hidung. Pemandangan seperti itu sungguh sangat familiar bagiku.
Pagi hari menjelang siang, atau petang saat maghrib telah berkumandang. Selain buku atau majalah bekas, maka Al-Quran adalah bacaan wajib yang selalu menjadi teman menghalau segala kesepian. Dan tanpa merasa diberikan komando olehnya, kebiasaan seperti itu hampir menjadi rutinitas baru bagi kami yang setiap hari mengamati kebiasaannya.
Wong wedok gak kudu neko-neko, tapi kudu sembodo.” Jadi wanita nggak harus aneh-aneh, tapi harus berkemampuan. Begitu setidaknya warisan berharga yang ditinggalkannya bagi kami para cucu.
Aku sadar, di zamanku yang serba mudah, namun tak kurang juga yang namanya masalah. Prinsip hidup seperti yang diajarkan Mbah Uti tak sepenuhnya dapat kuteladani. Tapi, caranya bersikap terhadap suami, keteguhannya menjaga kehormatan diri, sikap pasrah namun tak menyerah dan selalu obah (bergerak/berkarya). Mengajarkanku bahwa pada dasarnya perempuan itu tangguh. Makhluk tangguh hanya saja kerap jasmaninya rapuh, namun niat dan tekadnya untuk berjuang selalu utuh.
Ahh … Aku merasa beruntung, lahir dan dibesarkan dalam dominasi perempuan pejuang. Bahkan sejak sebelum usiaku menginjak 6 tahun, hanya sosok perempuan-perempuan tangguhlah yang menjadi pelindungku. Mengisi setiap relung jiwaku untuk terus maju, berilmu dan bergerak menuju peradaban baru.
Bund, wis ketemu?”
Suara suami dari balik pintu membuyarkan lamunanku. Perempuan berkebaya biru, tiba-tiba aku merindukanmu. Maka subuh ini kuhadiahkan Al-Fatihah untukmu.
Dedicated to Alm. Mbah Uti Aminatun. Terima kasih sudah menjadi penjaga bagi kami dan ibu setelah kepergian Papa 27 tahun yang lalu.

Leave a Comment