Kita memang tidak bisa memaksakan pola pikir, cara pandang dan kebenaran yang kita yakini. Setiap orang memiliki cara pandang dan pola pikirnya sendiri, yang biasanya sangat dipengaruhi oleh pengasuhan, komunikasi dalam keluarga, pengetahuan, pengalaman hidup dan sosialisasi dengan lingkungan. Pada akhirnya, pola pikir dan cara pandang tersebut juga memengaruhi kebenaran-kebenaran yang kita yakini. Yang bisa jadi kebenaran itu tidak selalu ideal bagi setiap orang.
Kurang lebih sepekan yang lalu, saat Mbak Olen atau yang femes dengan panggilan “Simbok”, membagikan tulisan di beranda facebook-nya dengan judul “Perempuan Mandiri”. Begitu membaca pembukanya, aku langsung merasa, Beuh, tulisan Mbak Olen ini, kok, gue banget ya. Bukan hanya karena sering membatin, tentang kondisi perempuan mandiri yang sejak dulu menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Tapi karena aku sendiri memiliki pengalaman karena statusku yang dianggap perempuan, atau lebih tepatnya perawan mandiri.
Dulu, saat usiaku dianggap sudah layak untuk menikah, orang-orang di sekitarku—baik tetangga maupun saudara—tidak sedikit yang berpesan agar aku tidak terlalu mandiri.
“Jadi perempuan nggak perlu terlalu mandiri, nanti laki-laki takut, loh! Apalagi kalau sudah umur segini (25 tahun).”
Untungnya, aku tidak pernah ambil pusing dengan kasak-kusuk di belakangku—yang lucunya enggak cuma lelaki. Tapi, banyak juga perempuan seumuranku yang sering mencekokiku dengan nasihat-nasihat kurang berfaedah seperti itu.
Dalam batinku, Ah, mungkin karena suami-suami teman perempuanku itu tidak suka dengan perempuan mandiri. Makanya, sebagai perempuan yang merasa lebih berpengalaman dariku—untuk urusan mendapatkan pasangan hidup—mereka menasihatiku agar tak perlu menjadi perempuan mandiri.
Begitu pun ketika beberapa teman lelaki melontarkan komentar sejenis tentang kemandirianku. Aku berusaha positive thinking saja, Ah, mungkin memang mereka tak cukup percaya diri untuk memiliki pendamping hidup perempuan sepertiku. Itu sebabnya Tuhan hanya menjadikan kami teman, bukan teman berbagi kehidupan.
Kalau dipikir-dipikir, dulu atau sekarang saat sudah menikah pun, aku tetap dengan karakterku sebagai perempuan mandiri. Aku tak banyak berubah meskipun seorang lelaki telah hadir dalam kehidupanku.
Aku tetap seorang perempuan, istri bahkan ibu yang mandiri.
Tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga single parent dengan seorang perempuan sebagai Ibu sekaligus Ayah, mau tak mau membuatku belajar secara langsung. Bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama dalam kehidupan. Bahwa laki-laki dan perempuan setara, memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama. Meskipun dengan kodrat masing-masing.
Aku memang sempat merasa “gerah” dengan berbagai tulisan yang bernada memojokkan perempuan mandiri.
Katanya, kalau perempuan bekerja itu menyalahi kodratnya sebagai istri.
Katanya, kalau perempuan punya penghasilan sendiri itu cenderung meremehkan suami.
Katanya lagi, perempuan yang terlalu mandiri itu seperti tidak butuh, bahkan tidak menganggap keberadaan lelaki.
Katanya lagi, perempuan pintar, berpendidikan tinggi, produktif berkarya dan lain sebagainya, itu cenderung tidak taat pada suami.
Hm.. nyengir dulu.
Nah, kalau yang mempermasalahkan kemandirian perempuan itu seorang laki-laki, aku sih mikirnya enteng saja. Ya, memang mereka ini makhluk-makhluk yang “alergi” pada perempuan mandiri. Mungkin takut kalah pintar, kalah kreatif, kalah cekatan, atau mungkin kalah setrong sama perempuan mandiri yang enggak cuma kuat angkat galon. Tapi sambil nggembol pun (hamil) mereka masih bisa nggandeng dan nggendong.
Tapi, enggak jarang aku langsung nyengir, saat mengetahui yang ngomong atau menulis seperti itu justru sesama perempuan. Dalam hatiku, Hidupmu itu seperti apa to, sampai mempermasalahkan sesama perempuan hanya karena kemandiriannya? Duh, nggak habis pikir aku. Bukannya malah senang karena kaumnya ini berdaya dan bukan diperdaya. Lha kok dirimu malah riwil dan sibuk meng-ghibah-kan perempuan mandiri. Selow banget hidupnya.
Tapi ya begitulah, kita memang tidak bisa memaksakan pola pikir, cara pandang dan kebenaran yang kita yakini. Setiap orang memiliki cara pandang dan pola pikirnya sendiri, yang biasanya sangat dipengaruhi oleh pengasuhan, komunikasi dalam keluarga, pengalaman hidup dan sosialisasi dengan lingkungan. Pada akhirnya, pola pikir dan cara pandang tersebut juga memengaruhi kebenaran-kebenaran yang kita yakini. Yang bisa jadi kebenaran itu tidak selalu ideal bagi setiap orang.
Pengalaman hidup bersama perempuan mandiri membentukku menjadi perempuan yang tak berbeda jauh dengan perempuan yang membesarkanku.
Aku selalu melihat perempuan sebagai sosok yang tak perlu dinomorduakan atas nama lemah dan posisinya di belakang lelaki. Benar, bahwa perempuan terlahir dengan kodratnya sendiri. Tetapi, hal tersebut tidak mengurangi tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dilahirkan dengan akal dan potensi.
Perempuan dan laki-laki sudah semestinya berbagi peran dalam kehidupan ini. Menurutku, menjadi perempuan mandiri merupakan salah satu caranya. Di mana seorang perempuan tidak selalu bergantung pada laki-laki.
Bukan. Bukan kami tidak butuh laki-laki. Tapi perempuan mandiri adalah mereka yang mampu memberikan sumbangsih untuk kehidupan. Untuk manusia yang lainnya, entah itu laki-laki atau sesama perempuan. Sumbangsih yang bisa saja berwujud tenaga, buah pikiran, bahkan penghasilan.
Memang sudah semestinya jika perempuan dan laki-laki menempatkan dirinya sebagai partner. Tidak ada yang boleh dikesampingkan baik peran maupun pendapatnya. Kalau pun ada sebagian perempuan yang “terpaksa” melepas kariernya karena urusan rumah tangga, hal tersebut pun harus melalui diskusi yang berimbang. Bukan menempatkan seorang perempuan sebagai pihak yang harus “dikalahkan”.
Memiliki pendamping seorang perempuan mandiri juga bukan suatu kerugian, kok! Jangan khawatir tidak dianggap hanya karena perempuan di sampingmu mampu mengurus dirinya sendiri.
Perempuan mandiri cenderung optimis, memiliki tujuan jangka panjang untuk diri sendiri dan keluarganya. Mereka cenderung mampu membuat skala prioritas. Mereka tahu apa yang terbaik bagi dirinya dan bagaimana merencanakannya.
Di samping itu, hidup dengan perempuan mandiri memberikan kesempatan kepada pasangan untuk mengembangkan diri mereka. Karena pada dasarnya perempuan mandiri memiliki kecenderungan mendorong orang lain untuk terus berkembang, seperti halnya pada dirinya sendiri.
Ya, semoga saja masyarakat kita semakin terbuka dengan keberadaan perempuan-perempuan mandiri. Bahwa menjadi perempuan mandiri bukanlah alasan baginya untuk ditakuti kaum lelaki, apalagi diperbincangkan kaumnya sendiri, hehe. Mending saling support, kan?
Saling support sesama perempuan, sangat penting… perlu dijadiin kebiasaan. Kalo bukan kita, sesama perempuan yaa siapa lagi. hehe. Jadi inget sering sekali dpt komen dari laki-laki, “Rum, jgn terlalu perfectionist.” “Nanti, nikahnya belakangan lho.” Hahaha. Moso aku harus jadi (tidak) mandiri, demi orang-orang berpikiran sempit. Rasanya jadi perempuan mandiri bukannya akan memudahkan banyak orang yaaa Mbak? Hehe, tulisan yang bagus Mbakkk.
Perempuan mandiri itu meringankan beban suami, setidaknya saat si suami mati, ia tahu sudah meninggalkan harta dan pengetahuannya di tangan orang yang tepat. Jadi dia lebih tenang saat ajal tiba.
Setidaknya itu menurut saya sih mbak.