7 Hal yang Perlu Dipertimbangkan saat Memilih Sekolah Anak

“Baca satu per satu. Cari namamu sampai ketemu.”

Sore itu, 23 Juni 2021, Najib anak laki-laki saya duduk manis di depan laptop untuk mencari namanya di website PPDB DKI. Ia berusaha membaca puluhan nama yang tertera di pengumuman hasil seleksi salah satu sekolah dasar negeri yang kami pilih. Awalnya, ia cukup  khawatir karena hingga akhir halaman pertama namanya tak kunjung terlihat. Namun, setelah kami meng-‘klik’ halaman berikutnya, maka di situlah nama Najib tertera pada urutan yang ke-29.

“Hore! Aku jadi anak SD,” Najib pun berteriak girang ketika berhasil menemukan namanya.

Rasanya baru kemarin saat saya harus mondar-mandir untuk mengajak Najib mengunjungi beberapa sekolah taman kanak-kanak yang cocok untuknya. Proses pencarian sekolah TK untuk Najib terbilang tidak mudah jika dibandingkan saat mencarikan sekolah untuk Najwa. Kami harus mengunjungi sekitar 5 sekolah, hingga akhirnya pada Januari 2019 yang lalu mendaftar di salah satu TK swasta umum untuk kelas playgroup.

Selama dua tahun enam bulan, Najib telah menyelesaikan pendidikan bermain di taman kanak-kanak ini. Saya sebut pendidikan bermain karena kenyataannya Najib lebih banyak bermain dibandingkan belajar. Saya pun cenderung lebih santai dengan target pembelajaran Najib. Jauh jika dibandingkan dengan target belajar Najwa pada usia yang sama.

Pergeseran Pola Pengasuhan Memengaruhi Pemilihan Sekolah untuk Anak

Saat mengasuh Najib, saya memang banyak merombak pola pengasuhan yang pernah saya terapkan pada Najwa. Ada beberapa alasan mengapa saya melakukan hal tersebut., di antaranya karena:

  • Pertama, saat mengasuh Najwa kami cenderung teoritis karena belum memiliki pengalaman.
  • Kedua, beberapa cara mengasuh memang tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi sekarang.
  • Ketiga, pola pengasuhan tersebut terbukti tidak efektif untuk Najwa.
  • Keempat, pergeseran cara pandang orangtua terhadap pola pengasuhan anak.
  • Kelima, karakteristik anak kedua yang lumayan berbeda dari kakaknya.

Pergeseran pola pengasuhan ini pada akhirnya juga memengaruhi pemilihan sekolah untuk anak-anak. Saat memilih sekolah untuk Najwa, saya mengakui terlalu idealis dan mengikuti trend di lingkungan kami. Berbeda saat memilih sekolah untuk Najib, kami lebih berani untuk mengambil keputusan dengan melihat lebih dalam mengenai apa yang dibutuhkan anak-anak kami.

Terlalu Idealis saat Memilih Sekolah untuk Najwa

Masa-masa ketika mengasuh Najwa, jujur saja kami memang masih meraba-raba tujuan pendidikan untuknya. Kami sempat berpikir, mumpung masih kecil, Najwa perlu belajar lebih banyak pendidikan agama sehingga memasukkannya di TK Al Quran. Namun, ketika berencana memasukkannya kembali ke SD berbasis Islam, Najwa langsung menolak karena ia tidak mau sekolah full day. Najwa juga berceloteh bahwa ia tidak mau terlalu lama berada di sekolah.

“Belajar di sekolah sebentar saja, lainnya belajar di rumah. Belajar mengaji cukup di rumah dengan Ibuk. Sambil bermain dengan adik,” begitu katanya.

Najwa mengeluh tidak banyak bermain di sekolahnya yang dulu. Ia juga tidak diajarkan menyanyi atau menari, jarang dibacakan buku cerita, namun lebih banyak mengaji dan menghafal doa dan surat pendek.

Sebelumnya kami tentu sudah mengetahui bahwa Najwa bakal lebih banyak belajar agama di TK Al Quran. Hanya saja, kami tidak menyangka bahwa porsi bermain jauh dari yang dibutuhkan anak. Selain itu, belakangan kami baru menyadari bahwa Najwa memiliki kecenderungan kinestetik dan dominan otak kanan. Sehingga wajar jika ia merasa tidak dapat menyalurkan energi dan kesenangannya di sekolah lama.

Berusaha Melihat Kebutuhan Anak saat Memilih Sekolah untuk Najib

Berkaca dari pengalaman pengasuhan Najwa, kami berusaha mencari tahu model belajar seperti apa yang dibutuhkan Najib.

Sebagai anak anak laki-laki, energi dalam tubuh Najib jauh lebih besar, daya imajinasinya juga  lumayan tinggi, dan sudah ditunjukkannya semenjak usia batita. Najib juga memiliki kecenderungan belajar yang tidak jauh berbeda dari kakaknya yaitu kinestetik, sehingga ia pun tidak tahan duduk terlalu lama.

Kami pun memutuskan untuk mengajak Najib memilih sendiri sekolah pertamanya. Dari 5 sekolah yang kami kunjungi, Najib langsung betah di salah satu TK Swasta Umum yang berada di dekat rumah kami. Di sekolah ini, Najib belajar dengan 9 anak lain dalam satu kelas. Karena statusnya TK Swasta Umum, otomatis murid di sana juga memiliki latar belakang agama dan suku serta ras yang beragam.  Namun, Najib senang dan betah belajar di sekolah ini. Bahkan, Najwa yang sering ikut mengantar Najib juga merasa betah di sekolah tersebut. Ia juga akrab dengan guru-gurunya.

Menurut Najwa, sekolah seperti sekolah Najib merupakan sekolah impiannya. Sekolahnya berwarna-warni, banyak mainan dan lagu-lagunya bagus. Najwa juga senang jika saya ajak untuk menghadiri acara di sekolah adiknya.

Setiap Keluarga Memiliki Pertimbangan Tersendiri dalam Memilih Sekolah untuk Anak-Anaknya

Menjadi orangtua itu memang banyak seninya, juga menuntut kita untuk terus belajar meskipun tidak ada sekolahnya. Tidak hanya dalam mengasuh, untuk memenuhi kebutuhan anak pun kita dituntut untuk belajar mendengar. Mencari tahu apa yang benar-benar mereka butuhkan, tidak sekedar ikut-ikutan trend yang sedang berkembang.

Masa-masa ketika Najwa memasuki SD, Islamic full day school merupakan salah satu jenis sekolah yang paling diminati di lingkaran pertemanan dan keluarga besar kami. Anak-anak kakak saya, juga anak kakak ipar saya, semuanya bersekolah di sekolah sejenis. Semuanya belajar dengan model pembelajaran berbasis agama dan bilingual.

Saya dan suami tentu memiliki ketertarikan serupa karena melihat capaian keponakan-keponakan kami.

Tetapi, ternyata bukan hal seperti itu yang dibutuhkan anak-anak. Najwa dan Najib adalah tipe anak-anak yang lebih suka mengeksplor alam dan berkegiatan bebas. Maka dari itu kami pun sepakat agar anak-anak belajar di sekolah “secukupnya saja”. Selebihnya anak-anak belajar dalam komunitas, kursus privat, melalui acara jalan-jalan keluarga yang kami jadwalkan secara rutin—sebelum corona menyerang. Juga belajar melalui teknologi dan bahan bacaan.

Kesepakatan tersebut pada akhirnya juga memengaruhi pertimbangan kami saat memilih sekolah untuk DuoNaj, khususnya pada masa sekarang saat keduanya masih berada pada usia anak-anak.

Berikut beberapa hal yang menjadi pertimbangan kami saat memilih sekolah untuk anak-anak:

Pertimbangan Memilih Sekolah Anak A La Keluarga DuoNaj

1. Jarak

Jarak sekolah dari rumah merupakan pertimbangan penting karena keduanya masih kanak-kanak.

Jalanan Jakarta yang selalu padat dan berisiko macet pada jam kantor maupun jam sekolah merupakan tantangan tersendiri jika harus mengantar ke sekolah yang jauh dari rumah. Selain makan waktu, jarak yang jauh juga pasti makan tenaga. Kami tidak ingin anak-anak kecapekan sebelum sampai di sekolah, atau ketika perjalanan pulang ke rumah.

Kami bersyukur tinggal di wilayah yang dekat dengan area sekolah. Segala jenis sekolah ada di dekat kami, mulai sekolah negeri dari level SD hingga SMA, sekolah swasta, juga playgroup dan taman kanak-kanak. Tinggal pilih saja mau daftar ke mana.

Sayangnya, area tempat tinggal kami tidak cocok untuk dijadikan sekolah berbasis alam yang sebenarnya sudah kami incar untuk DuoNaj.

2. Biaya

Faktor biaya merupakan pertimbangan penting kedua jika menyangkut pendidikan anak. Kami tidak ingin anggaran pendidikan mengeruk anggaran kebutuhan lainnya, seperti kebutuhan pangan, kesehatan dan tempat tinggal. Apalagi, jika penghasilan keluarga hanya berasal dari satu sumber saja (suami), tentunya kami harus lebih cermat mengalokasikan anggaran pendidikan anak-anak hingga nantinya bisa tuntas pada jenjang yang lebih tinggi.

Selain itu, kami memiliki prinsip bahwa pendidikan anak tidak terbatas pada apa yang didapatkan dari sekolah. Oleh karena itu kami juga mengalokasikan biaya kursus untuk mendukung bakat dan minat mereka. Misalnya kursus renang, musik dan bahasa asing, semua biaya tersebut juga perlu dikalkulasi untuk mengetahui anggaran pendidikan secara global.

Begitu pun dengan kegiatan edutrip keluarga yang juga perlu diperhitungkan, seperti kemah keluarga, rekreasi, belanja buku bacaan, kunjungan ke planetarium juga puluhan museum yang berada di Jakarta. Bagi keluarga kami, pendidikan yang berasal dari pengalaman nyata sangat penting dan tidak dapat digantikan dengan belajar di dalam kelas.

3. Sekolah full day atau sekolah biasa?

Full day school merupakan konsep pendidikan yang paling banyak digunakan sekolah swasta yang berada di area tempat tinggal kami, baik sekolah berbasis agama maupun umum. Konsep sekolah full day memang sangat digemari, terlebih bagi orang tua yang keduanya bekerja di luar rumah.

Sedangkan bagi keluarga kami, sekolah dengan konsep full day memang belum menjadi prioritas karena posisi saya yang bekerja dari rumah. Saya dan suami sepakat, selama salah satu orang tua berada di rumah, maka masa kecil anak-anak sebisa mungkin lebih banyak bersama orang tuanya. Itu sebabnya kami memilih sekolah separuh hari atau sekolah biasa.

Meskipun harus kami akui program yang ditawarkan sekolah full day sangat menggiurkan, untuk saat ini kami masih berkomitmen menemani anak-anak bermain di rumah, mengantar kursus atau mengikuti kegiatan non-akademik di luar jam sekolah.

4. Sekolah berbasis agama atau umum?

Kami sadar di zaman edan seperti sekarang anak-anak perlu mendapatkan penguatan spiritual sebagai fondasi hidupnya. Namun, kami juga menyadari bahwa belajar agama tidak perlu tergesa-gesa. Belajar beragama adalah pelajaran seumur hidup karena belajar beragama tak terbatas belajar ritual peribadatan itu sendiri, namun juga mengembangkan pemahaman terhadap keyakinan dalam diri.

Ketika memutuskan memilih sekolah umum untuk anak-anak, kami sadar tugas besar telah menanti. Sebagai orangtua sudah semestinya jika pendidikan keagamaan anak-anak menjadi tanggung jawab kami. Meskipun dengan pemahaman yang juga belum seberapa dalam, kami terus mencoba untuk meletakkan dasar-dasar Islam dalam hati DuoNaj. Juga tidak segan untuk belajar bersama keduanya.

Tetapi, jika suatu hari nanti DuoNaj ingin belajar di sekolah berbasis agama untuk level pendidikan yang lebih tinggi seperti SMP atau SMA, kami berjanji untuk mendukung keduanya. Misalnya saja jika mereka ingin sekolah asrama, pesantren atau Islamic full day school seperti yang ada di sekitar tempat tinggal kami. Sebagai orang tua kami pasti berjanji untuk mendukung dan mempersiapkan anak-anak untuk belajar di tempat yang mereka inginkan.

3 Pertimbangan Lain dalam Memilih Sekolah Anak

Berdasarkan diskusi ringan tentang pertimbangan memilih sekolah bersama beberapa teman, sebagian dari mereka juga memasukkan poin tentang metode pembelajaran, personality  pengajar dan fasilitas pembelajaran sebagai prioritas utama.

Namun, bagi kami yang pada akhirnya memilih sekolah negeri, poin-poin seperti tiga hal di atassepertinya standar saja untuk saat ini. Baik fasilitas maupun metode pembelajaran di sekolah negeri rata-rata sama saja. Tetapi kami cukup bersyukur karena sekolah tempat belajar Najwa, yang juga calon sekolah Najib, mulai menerapkan metode pembelajaran terkini sehingga anak-anak tidak ketinggalan teknologi.

Untuk personality pengajar, kami memiliki keyakinan bahwa semua guru pada dasarnya baik, hanya saja memiliki cara tersendiri yang sangat dipengaruhi karakter masing-masing. Selama seorang guru tidak melakukan hal-hal yang melanggar hukum, melakukan pelecehan seksual atau bullying, maka saya percaya seorang pendidik sudah membekali dirinya dengan komitmen untuk melakukan kebaikan. Karena bagaimanapun juga seorang guru adalah mereka yang digugu dan ditiru. Jadi sudah semestinya jika mereka berperilaku dengan mencerminkan kebaikan.

Nah, itu tadi pertimbangan memilih sekolah untuk anak a la Keluarga DuoNaj. Bagaimana dengan keluarga Teman-teman? Kira-kira, hal apa saja yang dipertimbangkan saat berencana mendaftarkan si Kecil ke sekolah yang diinginkan?

 

 

 

 

 

 

5 thoughts on “7 Hal yang Perlu Dipertimbangkan saat Memilih Sekolah Anak”

  1. Saat mencari sekolah untuk kedua anak saya, sudah ada kesepakatan dengan suami untuk menyekolahkan anak kami di sekolah berbasis agama Islam. Karena menyadari kadar ilmu yang kami miliki masih kurang. Alhamdulillah di sekolah anak-anak tidak melulu belajar saja, tetapi juga memperhatikan aspek non akademis mereka.
    Bahkan ada pemisahan kelas, berdasarkan gaya belajar anak. Jadi anak dengan gaya belajar kinestetik tidak disatukan dengan anak-anak yang memiliki gaya belajar audio atau visual. Sehingga anak-anak bisa belajar dengan gayanya masing-masing

    Reply
  2. Keluarga saya juga punya pertimbangan yg hampir sama dengan keluarga mba Damar. Soalnya saya punya pengalaman, si sulung masuk pesantren dan berujung keluar sebelum tamat.
    Apapun itu, yang penting anak-anak kita sekolah dan terus dibimbing di rumah kan ya..

    Reply
  3. Duh, zaman anak-anakku sekolah belum banyak pilihan dan metode. Adanya sekolah negeri dan swasta, wes. Swasta jelas mehong & buat klg borju. Denger temen curhat, anaknya minta asesoris sekolah bermerek ketularan temen. Yawda, pilihan ya ke sekolah negeri. Kebetulan ada SDN di kompleks. SMPN dan SMAN ya deket. Malah yg sulung, SMA jalan kaki. Adiknya di SMA no 3 terbaik sa Bandung, sama jalan juga dr rumah.
    Enaknya sekolah deket, bisa ikut ekskul, puas sekolahnya, ga capek di jalan…

    Reply
  4. akupun awalnya mempertimbangkan jarak mba, dalam pencarian sekolah TK untuk anakku. Pemikiran sederhananya biar nggak kasian aja sama jeda antara bangun tidur, persiapan sekolah sampe nyampe sekolahnya. Tapi masa pandemi gini, kayaknya jarak nggak jadi acuan harusnya. Soalnya daring 😀 Tapi aku udah kadung pilihin sekolah yang deket dan basis Islam, yauwes lah. :))

    Reply

Leave a Comment