Asian Para Games 2018 adalah alasan yang membuatku rela menembus kemacetan Sudirman pada 9 Oktober yang lalu. Iya, karena niatku sudah bulat untuk membawa DuoNaj menyaksikan pesta olahraga untuk penyandang difabel ini, langsung dari arenanya. Toh, kapan lagi Asian Para Games bakal digelar di Jakarta? 10 atau mungkin masih 20 tahun lagi, kan? Jadi, rasanya aku puas banget sudah membawa mereka ke Gelora Bung Karno, yang disusul ke Jakarta International Velodrome 3 hari berikutnya.
Siapapun pasti setuju bahwa Asian Para Games merupakan salah satu event yang mampu menjadi inspirasi dunia, khususnya bagi kita yang berada di Indonesia. Menyentil sisi kemanusiaan yang akhir-akhir ini mulai terkikis dengan perbedaan. Menunjukkan spiritualitas kehidupan yang belakangan cenderung terkotak-kotak.
Secara pribadi, aku mengakui banyak pelajaran hidup yang bisa kuambil dalam perhelatan selama sepekan ini. Menyaksikan atlet-atlet itu berlaga, rasanya aku ingin menutup muka saja. Malu! Karena masalah hidup dan perjuanganku yang masih tak seberapa. Tapi keluh kesah seakan menjadi bagian yang susah dipisahkan dari keseharian.
Bagiku, mereka semua adalah pemenang. Bahkan sebelum turun dalam laga pertandingan. Perjuangan mereka telah dimulai ketika berani keluar dari stereotip “berbeda”. Ada impian yang enggak perlu dipertanyakan lagi. Tapi, lebih dari itu, keberanian, kepercayaan diri dan keyakinan bahwa mereka sama merupakan nilai-nilai yang rasanya perlu dipegang teguh siapapun yang mengaku masih menyimpan harapan.
Tak seperti euforia Asian Games yang memaksa setiap sudut Jakarta ikut merasakan gegap gempitanya. Asian Para Games lebih tenang, tapi bukan berartiminim peminat. Aku sendiri merasakan jenis kebanggaan yang berbeda. Karenasekali lagi, bagiku seluruh atlet di Asian Para Games adalah pemenang kehidupanyang sesungguhnya.
Aquatic Stadium, Gelora Bung Karno.
Lagi-lagi aku bersyukur karena berkesempatan merasakan secara langsung euforia-nya. Melalui cabang olahraga para swimming yang digelar di Aquatic Stadium, GBK. Dan para cycling di Jakarta International Velodrome. Aku dan DuoNaj mendapatkan pengalaman yang sangat berharga. Pengalaman yang mengkristal, yang meninggalkan kesan mendalam untuk kami kenang suatu hari kelak.
Enam lembar tiket kudapatkan untuk hari Selasa dan Jumat, setelah beberapa kali gagal melakukan reservasi untuk pertandingan di akhir pekan. Sempat ragu-ragu untuk berangkat, karena itu artinya Najwa harus izin untuk dua kali pertemuan di sekolah. Tapi, lekas-lekas keraguan itu kutepis, mengingat betapa memorable pengalaman ini untuknya.
Berbeda denganku yang berulang kali harus menyembunyikan air mata sebagai ungkapan kebanggaan, dengan polosnya Najwa dan Najib terus memuji kehebatan atlet yang berlaga. “Atletnya hebat, ya Buk? Mereka nggak punya tangan tapi bisa jadi juara satu!” begitu celetuk Najwa ketika atlet peraih medali emas menuju podium untuk Para Swimming Winner Ceremony.
Hal serupa terjadi saat lagu Indonesia raya berkumandang di Jakarta International Velodrome pada hari Jumatnya. Berulang kali Najwa memprotes aku yang terus mengusap air mata. “Kan Indonesia menang, kok ibuk malah sedih?” tanpa ragu-ragu mulut kecilnya berucap tanda nggak setuju.
Akhirnya kesampaian juga foto sama replika MoMo.
Aku berusaha menjelaskan bahwa tangisan ini karena haru dan bangga. Tapi tetap saja jawabanku tak cukup memuaskan Najwa. Baginya, bahagia itu harus ditunjukkan dengan teriakan dan dukungan. Bukannya bolak-balik menangis seperti yang kulakukan. Ya, namanya juga anak-anak, mereka terlalu polos untuk memahami reaksi orang dewasa.
Tapi, setelah kupikir-kupikir, justru reaksiku yang sedikit berlebihan. Dalam sebuah pertandingan, apapun kondisi kita yang dibutuhkan adalah dukungan, bukan air mata. Persis seperti dukungan yang diberikan Najwa bersama puluhan anak lainnya saat setiap atlet turun ke arena.
Kesan Najwa setelah Menonton Langsung Asian Para Games 2018
Hari ini, Asian para Games memang sudah berlalu. Tapi, bukan pengalaman yangmengkristal namanya, jika tak mampu meninggalkan “sesuatu” bagi siapapun yangbersinggungan dengannya.
Buat aku sendiri — orang dewasa— Asian Para Games adalah wujud nyata bagaimana kemauan dan usaha dapat mengalahkan segala rintangan. Sangat inspiratif, mengingat kita sendiri yang memiliki kesempurnaan fisik justru sering merasa enggak mampu. Masih suka mengeluh Tuhan enggak adil. Masih suka meminta dimudahkan dalam segala hal. Bahkan tak jarang mengambil jalan pintas untuk mempermudah segalanya.
Jakarta International Velodrome, megah dan berkelas.
Tapi, lain halnya ketika aku mengajak Najwa bercerita tentang kesan-kesannya selama menonton Asian Para Games. Karena jawabannya sangat lugu. Polos, khas anak-anak. Beberapa di antaranya aku ceritakan di sini, ya.
1. “Ternyata, kita itu sama saja, ya!”
Ya, berulang kali Najwa bilang, kita itu sama saja. Dia bisa berenang dengankedua tangan dan kakinya. Atlet-atlet difabel juga bisa, bahkanmenjadi juara meskipun tanpa salah satu atau kedua tangannya.
Menurut Najwa itu artinya kita sama saja. Jadi nggak perlu sedih, kasihanatau terharu seperti yang ibunya lakukan. Hm… to the point banget, really- reallyngeplak ibunya.
Para Swimming Winning Ceremony. Gold Medals diraih atlet dari Kazakhstan. Ia berenang dengan mengandalkan kekuatan kaki karena tak ada lengan sebagai bagian anggota tubuhnya.
2. “Pengin jadi apapun, kalau nggak latihan, ya nggak bisa!”
Ucapan Najwa yang ini kembali menyindirku. Ya, karena sampai hari ini aku kepengin banget bisa berenang tapi nggak pernah latihan. Ya, karena sampai hari ini aku masih suka gelagepan kalau kelelep sedikit saja.Intinya, pengin bisa apapun harus latihan. Bagaimana pun kondisi fisik kita, tanpa berlatih nggak mungkin akan memiliki keahlian.
Lagi-lagi bener, kan, ya?
Kekurangan fisik sama sekali tak menghambat atlet para cycling
3. “Nggak apa-apa kulitku hitam. Aku bersyukur tubuhku lengkap!”
Duh, melting aku mendengarnya. Aku jadi sedikit guilty feeling sebab pernah melarangnya terlalu lama berenang karena khawatir kulitnya semakin gelap.Padahal, kulit hitam hanyalah warna. Apalagi warna kulit anak-anak masih bis aberubah seiring pertumbuhannya. Yang lebih penting dan patut disyukuri adalah lahir dengan kondisi lengkap tak kurang suatu apapun. Soal warna kulit, bentuk hidung dan wajah, semuanya hanya bonus saja.
M. Fadli, atlet Para Cycling Indonesia yang kemudian meraih Gold Medals. Fadli menang setelah mengalahkan atlet Malaysia. Mengayuh kencang sepedanya dengan kaki yang disambung pada bagian lutut ke bawah.
Atlet Para Cycling peraih bronze medals dari Jepang. Mengayuh sepeda hanya dengan kaki kanan, tapi kecepatannya jangan ditanya lagi. Kuenceng banget!
4. “Jatuh itu nggak apa-apa. Yang penting harus bangun lagi!”
Kebetulan salah satu atlet para cycling dari India memang terjatuh di awal pertandingan. Aku nggak tahu pasti apa penyebabnya. Tapi sepertinya memangsepedanya yang bermasalah. Kami sempat menjerit ketika sepeda dan pengemudinyatergelincir di arena. Tapi tak lama kemudian, dia langsung berdiri kemudian menuntunsepedanya.
Awalnya si atlet terlihat kesusahan untuk berdiri kemudian menuntunsepedanya di permukaan miring. Tapi akhirnya berhasil menepi hingga officialmemberikan bantuan.Insiden jatuh lainnya dialami Saori, atlet para cycling Indonesia. Pada detik-detik kemenangan, Saori justru jatuh dan pertandingan langsung dimenangkan oleh atlet dari Filipina. Tapi untungnya Saori masih menempati nomor 2, yang artinya medali perak dipersembahkan dari Indonesia.
Berkali-kali Najwa menceritakan dua kejadian ini pada ayahnya yang kebetulan nggak ada di arena. Berkali-kali pula ia mengingatkan Najib, aku, juga ayahnya, “Jatuh itu nggak pa pa. Yang penting harus bangun lagi!”
Saori, atlet Indonesia yang jatuh pada detik-detik kemenangan. tapi kemudian meraih silver medals.
5. “Nangis itu karena sedih. Kalau bahagia, ya tertawa!”
Anak ini, ya, hobi banget nyindir ibunya yang bolak-balik nangis tapingakunya nggak sedih. Ya, namanya juga anak-anak. Mereka juga pasti belumpaham, bahwa terkadang menangismerupakan reaksi untuk meluapkan rasa bangga. Tapi, bukankahbanyak dari kita — orang dewasa— yang memilih tertawa saat kepedihanmenimpa yang lainnya? Semoga saja kita bukan salah satu di antaranya.
Rasanya lucu juga mendengar celoteh Najwa. Maksud hati mengajaknya menontonsupaya dia belajar melihat kenyataan hidup. Ee… nyatanya, justru aku sebagaiorangtuanya yang harus belajar banyak. Itulah mengapa aku yakin momen ini bisamenjadi pengalaman yang mengkristal untuk kami sekeluarga.
Bukan hanya tentang orangtua yang ingin memaparkan anak-anaknya padakenyataan hidup yang nggak selalu baik-baik saja. Tapi juga tentang orangtuayang perlu terus diasah sisi humanis dan spiritualnya.
Dekorasi Jakarta International Velodrome yang sangat eye catching.
Ah, rasanya Asian Para Games terlalu singkat. Kami pun sebenarnya belum puas dan ingin menonton pertandingan lainnya. Tapi, ya sudahlah, kami cukup bersyukur karena masih sempat. Dan semoga kami mendapatkan kesempatan kedua untuk menyaksikan event inspiratif berkelas dunia ini.
13 thoughts on “Asian Para Games 2018 dan Pendidikan Moral untuk Anak”
Wah wah Najwa makin keren dan kritis ya. Pasti niru ibuke hahaha. Anak-anak emang selalu polos ya mba. Nek bahagia ki yo ketawa! Camkan itu, Buk! Hahahaha good job, Nduk
Aku enggak nulis pengalaman nonton karena tiap mau nulis dah mbrebes inget anak pertamaku yang lahirnya cacat juga..Tapi apapun sudah mengajak anak-anak menonton Asian Para Games menurutku memang pilihan tepat untuk menanamkan banyak nilai moral yang ada langsung di depan mata.Duh, malu memang membandingkan semangat kita yang lengkap enggak kurang satu apa dengan mereka. Semangat mereka Juwaraaa
Aku tuh engga tega nontonnya. Jadi baca pengalaman teman² aja dari FB maupun blog.Akibatnya saya dikit² nonton. Bahkan nonton pembukaan pas siaran ulangan sebelum Closing Ceremony dong…
Mbak, aku baca ini aja dah berkaca-kaca. Hiks. Walopun cuma ngikuti sedikit live pertandingan pas para games kemarin, tapi tetep salut buat mrk semua. Keren nih Kak Najwa, bisa ngambil banyak pelajaran dr apa yg dialaminya. Sip, ini namanya bukan family time biasa 🙂
Saya sangat salut pada mereka, tp.ga kuat bula.harus menontonnya. Bisa nangis bombay di tempat..Kalian adalah malaikat yg diturunkan ke bumi untuk mengingatkan manusia yg sering sombong & khilaf
MashaAllah mba Najwa, selain Ibuk ada pembaca blog ini yang terharu sama setiap kesanmu Nak. Iya yaya item gak papa, yang penting latian meski panas. Kita sama saja. Ah mungkin aku juga kayak mba Damar yang sering usap air mata kalo liat langsung. Beruntungnya duo Naj bisa belajar bareng Ibuk dan Ibuk Damar tuliskan disini 🙂
Asian para games memang membawa pesan yang sangat berharga, mereka saja bisa berpresatasi, nah kita udah bisa apa ya,makasih mbak Damar keren banget sharingnya, salam buat duo Nj yang kecee…
Wah wah Najwa makin keren dan kritis ya. Pasti niru ibuke hahaha. Anak-anak emang selalu polos ya mba. Nek bahagia ki yo ketawa! Camkan itu, Buk! Hahahaha good job, Nduk
Aku enggak nulis pengalaman nonton karena tiap mau nulis dah mbrebes inget anak pertamaku yang lahirnya cacat juga..Tapi apapun sudah mengajak anak-anak menonton Asian Para Games menurutku memang pilihan tepat untuk menanamkan banyak nilai moral yang ada langsung di depan mata.Duh, malu memang membandingkan semangat kita yang lengkap enggak kurang satu apa dengan mereka. Semangat mereka Juwaraaa
Aku tuh engga tega nontonnya. Jadi baca pengalaman teman² aja dari FB maupun blog.Akibatnya saya dikit² nonton. Bahkan nonton pembukaan pas siaran ulangan sebelum Closing Ceremony dong…
Wah, keren banget ya anaknya. Duuh ini hikmah diajak nonton langsung ya. Jadi banyak pelajaran yang bisa diambil. Good job, mom
Mbak, aku baca ini aja dah berkaca-kaca. Hiks. Walopun cuma ngikuti sedikit live pertandingan pas para games kemarin, tapi tetep salut buat mrk semua. Keren nih Kak Najwa, bisa ngambil banyak pelajaran dr apa yg dialaminya. Sip, ini namanya bukan family time biasa 🙂
Saya sangat salut pada mereka, tp.ga kuat bula.harus menontonnya. Bisa nangis bombay di tempat..Kalian adalah malaikat yg diturunkan ke bumi untuk mengingatkan manusia yg sering sombong & khilaf
Najwa keren sekali nak, ummi Siak banget deh sama komentar yang spontan tapi bikin hati meleleh. Anak-anak memang penuh kejutan ya.
Ummi suka kenapa jadi Siak huhuhu maaf yaaa
Najwa keren sekali nak, ummi Suka banget deh sama komentar yang spontan tapi bikin hati meleleh. Anak-anak memang penuh kejutan ya.
MashaAllah mba Najwa, selain Ibuk ada pembaca blog ini yang terharu sama setiap kesanmu Nak. Iya yaya item gak papa, yang penting latian meski panas. Kita sama saja. Ah mungkin aku juga kayak mba Damar yang sering usap air mata kalo liat langsung. Beruntungnya duo Naj bisa belajar bareng Ibuk dan Ibuk Damar tuliskan disini 🙂
Banyak banget yg bikin aku jleb mbaaa… keren si kakak Najwa
Asian para games memang membawa pesan yang sangat berharga, mereka saja bisa berpresatasi, nah kita udah bisa apa ya,makasih mbak Damar keren banget sharingnya, salam buat duo Nj yang kecee…
aku baca tulisan mba Damar sambil mbrebes :'(