Sang Pembuka Tabir Gelap Kesadaran Akan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Remaja dari Kupang

“Karena sudah menstruasi, kalian enggak boleh dekat-dekat dengan anak laki-laki. Bahaya, nanti bisa hamil!”

“Loh, kenapa bisa hamil, Bu?”

“Nanti kalau sudah dewasa kalian akan paham.”

Bak orang dewasa yang sedang menasihati anak-anak, seorang remaja putri berusia duabelasan menirukan apa yang diucapkan oleh gurunya. Ia mengaku menjadi penasaran dengan nasihat gurunya tersebut. Kemudian ia pun berinisiatif untuk mencari tahu di internet. Hingga suatu ketika, ia bercerita pada saya tentang apa yang dipelajarinya tentang proses kehamilan seorang wanita. Sayangnya, hanya melalui internet dan tanpa adanya pendampingan dari orangtua.

Remaja putri tersebut adalah tetangga saya di Jakarta. Ya, kalian tidak salah dengar, dia adalah anak Jakarta. Kota yang sedemikian maju dan memiliki kemudahan dalam mengakseas berbagai informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi. Namun sayangnya, bagi sebagian orang masalah tersebut masih dianggap tabu untuk dibicarakan, baik di lingkungan sekolah maupun di rumah.

Tak hanya pendidik, orangtua pun kerap kali merasa tidak mampu menjelaskan kepada anak-anaknya tentang kesehatan seksual. Khawatir anak risih, atau justru takut dianggap mengajarkan seks bebas. Yang terjadi, anak-anak malah menjadi penasaran karena hanya menerima info sepatah-sepatah. Mereka pun kemudian berinisiatif mencari informasi sendiri dari dunia maya.

Hal seperti ini tidak hanya sekali dua kali saya temui di sekitar saya. Banyak remaja putri yang ketakutan saat mendapatkan menstruasi pertama. Mereka menangis histeris karena tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.  Tak banyak remaja putri yang mendapatkan pengetahuan pramenstruasi dari orangtuanya. Tak diajarkan apa yang terjadi pada tubuhnya. Bahkan tak tahu tata cara membersihkan area kewanitaan yang benar.

Banyak orangtua yang merasa lebih perlu untuk memperingatkan anak gadisnya tentang kehamilan. Dibandingkan bagaimana memberikan pengetahuan tentang perubahan pada tubuh anak, bagaimana cara melindungi tubuhnya.

Pendidikan Seks dan Pornografi adalah Dua Hal yang Berbeda

Sebagian dari kita mungkin masih mengalami salah kaprah dan berpikir bahwa pendidikan seksual berbau pornografi. Padahal, pendidikan seksual dan pornografi adalah dua hal yang berbeda. Pendidikan seksual dapat dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu dengan memperkenalkan pada anak mengenai organ reproduksi dan fungsinya. Menggunakan sebutan yang tepat untuk nama organ reproduksi tersebut.

Selanjutnya, pendidikan seks dapat dilanjutkan dengan pengenalan tentang pubertas. Bahwa pada fase tersebut seorang anak akan mengalami menstruasi bagi anak perempuan, dan mimpi basah bagi anak laki-laki. Artinya, pada fase tersebut mereka sudah bisa hamil dan menghamili atau punya anak. Oleh karenanya penting untuk berbincang dengan anak mengenai hubungan laki-laki dan perempuan, tentang pacaran, kehamilan yang tidak diinginkan, juga kekerasan seksual dan bagaimana mencegahnya.

Indonesia Darurat  Kekerasan Seksual pada Anak

Pjs Ketua Umum Komnas perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat telah terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual anak dari tahun sebelumnya. Menurut data yang dihimpun timnya, hingga Juni 2023 terdapat 4.000 kasus yang dihimpun dari seluruh Indonesia.

Minimnya pengetahuan mengenai tubuh dan kesehatan organ seksual pada diri seseorang, khususnya anak-anak dan remaja membuat mereka rentan mengalami kekerasan seksual. Mereka tidak mengetahui tentang perubahan yang terjadi dalam tubuhnya, bagaimana cara memperlakukan tubuhnya, dan tidak memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada tubuh dan organ seksualnya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab tingginya angka kekerasan seksual pada anak.

Parahnya, sebagian besar kasus kekerasan seksual baik pada anak, remaja, ataupun orang dewasa justru dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Saudara, teman, tetangga, orang-orang yang paling dipercaya keluarga. Bahkan tak sedikit kasus kekerasan seksual pada anak dan remaja justru dilakukan oleh orangtua kandung anak. Miris dan sangat menyedihkan.

Edukasi Seksual yang Komprehensif Penting dan Menjadi Hak Setiap Anak

Foto kegiatan edukasi oleh tenggara Youth Community. (foto dari IG @tenggarantt)

Pendidikan seksual yang komprehensif penting untuk mempublikasikan pesan perilaku seksual yang sehat, mencegah Infeksi Menular Seksual (IMS), menekan angka kehamilan yang tidak diinginkan, dan menjalin hubungan yang sehat dan saling menghormati. Pendidikan seksual dan reproduksi yang akurat dapat membantu kaum muda, khususnya remaja dan anak-anak untuk melindungi dirinya dan membuat keputusan yang tepat untuk tubuhnya.

Sayangnya, prosentase ketercapaian edukasi seksual pada anak di seluruh dunia masih cukup rendah. Menurut data dari UNESCO, hanya 34 persen  anak-anak yang memahami bagaimana mencegah penularan HIV. Sedangkan di beberapa negara, dua dari tiga anak perempuan tidak mengerti apa yang harus dilakukannya saat mengalami menstruasi pertama.

Di Indonesia sendiri, implementasi pendidikan seksual komprehensif masih sangat rendah. Selain masalah sensitivitas, pedoman kebijakan pendidikan seksual terkesan tidak konsisten dan hanya diajarkan sekilas-sekilas. Meskipun sebagian besar sekolah telah memasukkan materi reproduksi pada pelajaran IPA dan biologi, namun kenyataannya informasi yang diterima anak sangat terbatas dan hanya samar-samar.

Dari Korban Jadi Relawan, Tata Tak Gentar Melawan Stigma Dianggap Tabu!

Kegiatan exhibitton yang diikuti Tenggara Youth Community (foto dari IG: @tenggarantt)

Minimnya edukasi seksual, pendampingan, serta akses informasi yang akurat masih menjadi masalah yang berimbas pada terjadi kekerasan seksual pada anak dan remaja di berbagai wilayah di Indonesia, salah satunya di Nusa Tenggara Timur.

Menurut data yang dihimpun oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak provinsi NTT, sepanjang 2022 tercatat sebanyak 276 kasus kekerasan berbasis gender. Sedangkan kasus perkawinan anak di bawah usia 19 tahun termasuk tinggi, yaitu 82.957. Besar dugaan bahwa minimnya edukasi kesehatan seksual dan reproduksi menyebabkan jurang pengetahuan dan disinformasi bagi orang tua dan anak-anak.

Di Kupang, masalah ini bukanlah hal baru dan masih meresahkan. Seperti di beberapa wilayah lain, tidak mudah untuk mengangkat isu tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) karena masih dianggap tabu. Hal ini diperburuk dengan minimnya komunikasi antara anak dan orang tua terkait perubahan kondisi kesehatan setelah fase pubertas.

Kenyataan inilah yang mengusik Mariana Yunita Hendriyani Opat, atau lebih akrab disapa Tata. Sejatinya, Tata adalah korban kekerasan seksual yang kemudian bangkit untuk menjadi relawan dan menyuarakan isu HKSR di Kupang. Tata bercerita bahwa di Kupang isu HKSR masih minim diperbincangkan dan tidak ada komunitas yang mewadahi para korban untuk bercerita.

Hal inilah yang kemudian menjadi pendorong bagi Penerima SATU Indonesia Awards 2020 dari Astra Indonesia ini membentuk komunitas yang dinamai Tenggara Youth Community pada tahun 2016. Komunitas yang berangkat dari kepedihannya sebagai korban ini berkomitmen untuk merangkul dan berbagi cerita tentang apa yang dialami para korban kekerasan seksual, kemudian membantunya. Tata gigih melawan stigma yang masih dianggap tabu. Ia berkeyakinan bahwa edukasi HKSR harus dilakukan sedini mungkin untuk menekan kasus kekerasan seksual di kalangan anak-anak dan remaja.

Kelahiran Bacarita Kespro yang Menyasar Banyak Usia

Foto dari : IG @tenggarantt

Tidak mudah membicarakan isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi dengan anak dan remaja. Untuk itu, sesi perkenalan dengan calon peserta sangat penting untuk membuat mereka merasa nyaman.

Masalah ketiadaan wadah bercerita mengenai isu kekerasan seksual menjadi titik awal lahirnya program Bacarita Kespro. Bacarita berarti bercerita, kata ini diambil dari bahasa Melayu Kupang. Sedangkan Kespro merupakan akronim dari kesehatan seksual dan reproduksi.

Bacarita Kespro memberikan edukasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi untuk remaja dengan metode pembelajaran inovatif, berbeda dengan metode pembelajaran konservatif yang menjadikan isu HKSR terasa tabu untuk diperbincangkan. Bacarita Kespro merupakan salah satu program unggulan dari Tenggara Youth Community. Program ini juga membuka akses layanan informasi dan memberikan ruang bagi para remaja yang tidak tahu harus ke mana, dan tidak tahu harus bercerita pada siapa.

Pada awalnya, Bacarita Kespro merupakan program yang menyasar usia 10 hingga 24 tahun. Namun, setelah kasus kekerasan seksual dan pembunuhan yang dialami seorang anak yang bernama Angelina, Bacarita Kespro berinisatif untuk menambah rentang usia, yaitu dari 3 hingga 24 tahun.

Edukasi yang Menyenangkan Menghilangkan Kesan Tabu

Proses pembelajaran dengan alat peraga dan permainan (foto dari: IG @tenggarantt)

Edukasi seksual tidak bisa hanya dilakukan sekali saja, tetapi bertahap.

Memberikan program edukasi dengan target rentang usia yang cukup luas membuat Tata dan teman-teman di Tenggara Youth Community harus berpikir keras untuk mendapatkan metode yang tepat dan sesuai dengan audiens-nya. Oleh karena itu sebelum melakukan edukasi, tim Bacarita Kespro selalu menyesuaikan materi dengan kelompok usia yang akan didatangi, memberikan assesmen kecil untuk mengetahui seberapa banyak pengetahuan mereka tentang kesehatan seksual dan reproduksi.

Sebelum turun ke lapangan, tim Tenggara juga akan meminta izin serta bertanya kepada keluarga berapa jumlah anak laki-laki dan perempuannya, juga mencari tahu apakah ada kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungannya. Dengan begitu, pelaksanaan edukasi tidak hanya didasarkan pada asumsi semata. Namun berdasarkan kebutuhan.

Proses belajar juga dilakukan dengan metode yang inovatif dan ramah anak, seperti melalui dongeng, permainan edukasi, dan penggunaan alat peraga untuk mempermudah pemahaman. Dalam setiap sesi edukasi, Tenggara tidak datang begitu saja. Mereka mempersiapkan materi dengan matang dalam bentuk modul dan alat peraga sehingga apa yang disampaikan mudah dipahami. Mereka juga menggunakan 2 modul dan 1 panduan dari WHO sebagai dasar penyampaian materinya.

Pentingnya Menciptakan Rasa Nyaman dan Merasa Didengar

Sesi perkenalan biasanya menjadi momen yang paling menantang karena relawan Tenggara harus dapat membuat peserta merasa nyaman. Oleh karena itu, sesi perkenalan bisa memakan waktu lama, terkadang bisa sampai 30 menit. Tata menyampaikan, untuk hasil nyata dari kegiatan edukasi ini juga masih berkisar 65 persen karena pola pikir dan pola perilaku tidak mungkin berubah hanya dengan satu atau dua kali pertemuan.

Itu sebabnya Bacarita Kespro akan membuat program secara terus-menerus dengan topik yang berbeda-beda. Misalnya, jika pada pertemuan pertama membahas organ reproduksi, maka pada pertemuan selanjutnya akan membahas pubertas, kekerasan dalam pacaran, hubungan dengan keluarga, dan lain sebagainya.

Tata juga menjelaskan bahwa proses penyembuhan bagi penyintas kekerasan seksual memakan waktu lama. Sebagai penyintas ia tahu betul bagaimana setiap prosesnya. Bagi para korban, kadang-kadang mereka hanya butuh didengar tanpa dihakimi atau di-bully.

Kemudian, dari cerita para korban tersebut Tenggara Youth Community akan berusaha mencarikan solusi mengikuti sudut pandang dan keinginan korban. Jika di perjalanannya korban ingin kasusnya dihentikan, maka dari tenggara akan menghentikannya. Tata dan tim relawan Tenggara akan selalu mengikuti keputusan korban dan menjadikannya prioritas yang utama.

Ketika Jalan tak Selalu Mulus Bagi Tata dan Komunitas Tenggara

Meskipun membawa misi kebaikan dan sangat bermanfaat, jalan yang dilalui Tata bersama Tenggara Youth Community tidak mulus begitu saja. Mereka sempat mendapatkan penolakan dari berbagai pihak termasuk oleh kelompok gereja, karena khawatir pendidikan seksual justru mendorong anak-anak melakukan seks bebas.

Di samping itu, kuatnya budaya patriaki dan diskriminasi terhadap perempuan juga membuat warga setempat menolak untuk percaya pada Tata. Tak sedikit orang tua yang pada awalnya melarang anak-anak mereka untuk mendapatkan edukasi tentang kesehatan seksual.

Namun, Tata dan rekan-rekan Tenggara tidak menyerah. Terlebih ketika mereka harus dihadapkan dengan tradisi Sifon di NTT, di mana seorang anak laki-laki yang disunat secara tradisional dengan bambu kemudian diminta berhubungan intim dengan perempuan yang sudah disiapkan. Menurut Tata, hal ini sangat berisiko karena dapat menyebabkan penyakit kelamin.

Tata dan rekan-rekan Tenggara terus berusaha untuk meyakinkan masyarakat setempat. Mereka berunding dan menyesuaikan dengan keinginan masyarakat agar proses edukasi dan pendampingan bisa berjalan dengan baik, lancar, dan tidak ada pihak yang merasa ketakutan.

Semangat dan Harapan Tata untuk Memperjuangkan Isu HKSR, Hari Ini dan Nanti

Salah satu sesi edukasi kesehatan seksual di acara gereja. (Foto dari: IG @tenggarantt)

Hingga Tata meraih Penghargaan SATU Indonesia Awards pada tahun 2020 yang lalu, Bacarita Kespro telah merangkul 2.000 remaja dari 43 komunitas di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur. Besar harapan Tata agar edukasi isu HKSR tidak berhenti sampai pada dirinya dan Tenggara Youth Community. Ia berharap edukasi sejenis bisa dimasukkan dalam ekstrakurikuler di sekolah. Untuk komunitas gereja, ia berharap HKSR bisa disampaikan dalam sekolah Minggu atau saat kaderisasi.

Tata memberikan gambaran bahwa isu HKSR dapat tersampaikan dengan efektif jika berbentuk hubungan segitiga yang terdiri dari anak, pendidik, dan orangtua. Peran ketiga komponen dalam hubungan ini sangat penting karena apa yang disampaikan pendidik dan orangtua sebisa mungkin saling melengkapi, bukan mematahkan informasi satu dan yang lainnya.

Itu sebabnya Tata dan komunitas Tenggara selalu melibatkan orangtua dan pendamping saat diskusi berlangsung. Dengan begitu, pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan anak dapat mendengarkan ilmu yang sama. Kemudian mendiskusikannya di rumah.

Harapan Tata adalah  harapan kita semua. Boleh jadi  yang mengawali adalah seorang Mariana Yunita Hendriyani Opat, Penerima Apresiasi Bidang Kesehatan untuk 11th SATU Indonesia Awards 2020 dari Astra Indonesia. Namun, semoga saja semangat Tata menjadi pemantik bermunculannya gerakan-gerakan serupa dari para pemuda di berbagai penjuru di Indonesia.

Selain itu, semoga semangat kebaikan ini tak berhenti pada individu-individu yang peduli. Semoga pemerintah beserta segenap pemangku kebijakan, dan masyarakat luas dapat mewujudkan lingkungan yang ramah dan aman untuk semua orang, khususnya anak-anak dan perempuan. Dari seorang Tata kita banyak belajar bahwa diperlukan kesadaran dan sebuah gerakan untuk memperjuangkan hak-hak dasar manusia. Terlebih, diperlukan sikap pantang menyerah meskipun memulainya dari tempat-tempat yang jauh dari pusat pemerintahan Indonesia.

 

 

 

Leave a Comment