Maya Stolastika Boleng: Menanam dan Menumbuhkan Kebaikan untuk Keberlangsungan Hidup Manusia dan Alam

 “Petani adalah sebuah profesi, bukan takdir yang malang.” (Maya Stolastika Boleng)

Menjadi petani mungkin bukan profesi pilihan bagi milenial. Profesi petani juga seringkali dianggap sekedar pilihan bagi mereka yang gagal. Hal ini menyebabkan sebagian orang berpikir bahwa pekerjaan mengolah kebun tak lebih dari sekedar takdir yang harus dijalaninya.

Indonesia Krisis Petani Muda

Tak banyak generasi muda yang dapat melihat peluang keberhasilan di balik pekerjaan bercocok tanam di sawah atau kebun ini. Bagi sebagian besar milenial, dunia pertanian terlihat tidak bergengsi dan kurang menjanjikan untuk masa depan. Maka, tak mengherankan jika profesi petani khususnya petani muda terus mengalami penurunan dan minim regenerasi.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terhitung pada Agustus 2022, dari 135,3 juta penduduk yang bekerja, 29,96% persennya bekerja di sektor pertanian. Angka tersebut menunjukkan bahwa jumlah petani di negara kita mencapai 40,64 juta orang. Namun sayang, angka tersebut terus mengalami penurunan. Di samping itu, petani Indonesia masih didominasi oleh petani senior dengan rentang usia 45-64 tahun.

Masih menurut data BPS, per tahun 2021 persentase pemuda usia 16-30 tahun yang bekerja di sektor pertanian terus turun. Kini hanya ada 3,95 juta petani muda yang termasuk generasi milenial, atau 21,9% dari total petani di Indonesia.

Banyak pemuda dari keluarga petani memilih untuk tidak melanjutkan pekerjaan orangtuanya namun hijrah ke kota. Mereka lebih tertarik untuk bekerja di sektor industri atau rumah tangga yang pendapatannya lebih pasti. Sedangkan, yang berpendidikan tinggi juga sangat jarang melirik profesi petani dan lebih memilih berkarier di perusahaan besar. Ini hanya sebagian kecil masalah di dunia pertanian yang menyebabkan ancaman krisis petani muda di Indonesia.

Milenial yang Tak Pernah Menyesal menjadi Petani Muda

Gambar milik: villagerpost.com

Menjadi petani memang tidak mudah namun dapat dipelajari. Untuk menjadi seorang petani juga tidak harus berasal dari keluarga petani, karena yang dibutuhkan adalah kemauan untuk belajar, sikap yang ulet dan pantang menyerah. Selain itu, seorang petani harus memiliki tujuan dengan apa akan yang ditumbuhkannya. Setidaknya hal tersebut telah dibuktikan oleh seorang perempuan dari Flores yang kini lebih dikenal sebagai pemilik Twelve’s Organic yang berada di Desa Claket dan Desa Mligu, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Maya Stolastika Boleng, begitulah perempuan kelahiran Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini disebut. Maya tidak berasal dari keluarga petani dan tidak mempelajarai ilmu pertanian di bangku formal. Namun, sarjana Sastra Inggris ini telah membuktikan bahwa dirinya berhasil secara ekonomi dan berkontribusi besar di sektor pertanian.

Seperti halnya milenial pada umumnya, Maya tak pernah bermimpi untuk menjadi petani. Ketertarikannya pada dunia pertanian juga datang secara tidak sengaja. Maya bercerita, saat itu usianya baru 22 tahun ketika ia berkunjung ke Bali. Di sana, ia banyak mendapatkan pencerahan mengenai pertanian organik dan filosofi memberi dari seorang guru yoga yang ditemuinya.

Menanam untuk Kebaikan

Ga,bar milik @twelvesorganic

Siapa sangka perkenalan Maya dengan pertanian organik selama di Bali menjadi titik awal jatuh bangun yang dilakoninya di dunia yang sekarang digeluti. Maya juga selalu mengingat perkataan guru yoganya bahwa pertanian organik itu membawa kebaikan untuk alam.

Maya menjelaskan bahwa pertanian organik dapat menjaga kesehatan tanah, menyeimbangkan ekosistem, dan memberi dampak kesehatan bagi orang yang mengonsumsi hasilnya. Pertanian organik juga menjaga keberlangsungan alam. Maka ia pun semakin yakin bahwa pertanian organik adalah masa depan sektor pertanian.

Diawali dengan niat untuk membantu petani sekitar, pada tahun 2008, Maya dan empat orang temannya yang sama-sama berstatus mahasiswa menyewa lahan seluas 5000 meter persegi di Claket. Mereka bersemangat untuk mengolah lahan tersebut dan menamainya Kembang Organic Farm karena dikelola oleh lima orang perempuan. Mereka menyewa lahan selama satu tahun, kemudian membeli pupuk, benih sawi, dan mereka pun mulai menanam dengan petani-petani yang ada di sana.

Semangat Tanpa Ilmu menjadi Kejatuhan yang Pertama

Ternyata, semangat saja tak cukup untuk memanen keberhasilan dari menanam. Pada awal terjun di dunia pertanian organik, Maya memang tidak memiliki pengetahuan tentang berkebun khususnya ilmu mengenai lama masa tanam setiap jenis sayuran.

Suatu ketika, ia harus memanen sawi sebanyak 1,5 ton dari kebunnya. Maya pun kebingungan karena ia belum memiliki pasar untuk melempar hasil panenan tersebut. Ia mencoba menawarkan hasil panen kebunnya melalui telepon namun juga tidak berhasil karena belum dipercaya orang-orang. Hingga akhirnya, ia mendapat kenalan untuk menjual sawi tersebut ke pasar induk di Surabaya.

Masalah tak berhenti di situ, ternyata jual-beli di pasar induk tidak semudah yang ia bayangkan karena harga terus berubah. Maya ragu untuk melepas hasil kebunnya dengan harga yang minim. Akhirnya ia mencoba menawarkan ke hotel, restoran, namun juga tidak laku. Pada titik tersebut Maya dan teman-temannya benar-benar merugi. Akhirnya, tiga orang teman Maya menyerah kemudian memutuskan mundur dari bisnis yang mereka geluti bersama.

Melawan Stigma Petani Profesi Gagal

Setelah bergelut dengan kondisi merugi dan kehabisan modal, Maya juga masih harus menghadapi stigma negative dari keluarga terhadap profesi petani. Bagaimanapun, orangtua Maya belum merestui anak perempuannya untuk menjadi petani dan masih berharap Maya dapat bekerja di bidang yang sesuai dengan pendidikannya.

Akhirnya, Maya dan kawan-kawannya memilih rehat dari dunia pertanian. Maya sendiri kembali merantau ke Bali dan bekerja di sebuah biro perjalanan dan pariwisata. Cara ini juga dipilihnya untuk menenangkan keluarga. Ia merasa butuh waktu untuk meyakinkan keluarganya bahwa menjadi petani adalah pilihan dari hatinya. Namun ia juga menyadari bahwa hal tersebut tidak mudah. Dulu, orang beranggapan bahwa menjadi petani itu orang yang gagal, enggak berani bersaing dan gak punya kapasitas.

Selama di Bali, Maya sempat bergonta-ganti pekerjaan. Namun karena tidak sesuai dengan minatnya, akhirnya ia keluar dari tempat kerja. Sampai suatu ketika, Maya kembali dipertemukan dengan Wita, teman kuliah yang pernah merintis pertanian organik dengannya pada tahun 2008 silam. Dari pertemuan tersebut tercetuslah keinginan untuk kembali menaklukkan pertanian organik.

Menaklukkan Sektor Pertanian dan Mendirikan Twelve’s Organic

Gambar milik: Kumparan.com. Diedit oleh damaraisyah.com via canva.

Berbekal kegagalan yang pernah dialaminya pada tahun-tahun sebelumnya, Maya kembali menyewa lahan dan mendirikan Twelve’s Organic. Kali ini, sepertinya keberuntungan mulai berpihak pada Maya bersama Wita, sahabatnya. Pertanian organik yang dirintisnya mulai berkibar bahkan merambah supermarket. Twelve’s Organic pun mulai dipercaya untuk memasok sayur mayur, buah-buahan, dan bumbu dapur organik ke hotel-hotel.

Kesempatan bekerja sama dengan supermarket merupakan salah satu pelajaran penting untuk Maya dan Wita, sahabatnya. Mau tak mau keduanya harus mempelajari quality control, pengemasan, dan membuat standar ukuran sayur agar lolos jual. Semua kriteria yang ditetapkan supermarket terus diikutinya. Kala itu mereka rutin memasok bayam merah, selada hijau, wortel, sawi pakcoy, dan caisin.

Sebagai generasi digital, Maya pun mulai memanfaatkan sosial media untuk memasarkan hasil panen dari petani binaannya. Maya berusaha memutus rantai distribusi dengan mengubah strategi pemasaran menjadi end user oriented. Ia pun kemudian mengubah lahan pertaniannya dengan konsep fresh garden market di mana konsumen bisa langsung datang dan melihat hasil pertaniannya, membeli, kemudian memanen sendiri dari lahan.

Kelompok tani yang tergabung dengan Twelve’s Organic juga dibebaskan untuk memilih jenis tanamannya. Dengan begitu, petani tidak terbebani permintaan tengkulak. Sebagai petani milenial ia merasa bertanggung jawab untuk mengedukasi petani bagaimana caranya agar mereka bisa berdiri di atas kaki sendiri, tanpa ketergantungan pada tengkulak.

Kerja Keras yang Terbayar Lunas

Petani adalah sebuah profesi yang menjanjikan dan pekerjaannya tidak sekedar mencangkul.

Kerja keras Maya selama bertahun-tahun untuk menaklukkan pertanian organik akhirnya terbayar lunas. Sejak 2008 hingga 2016, Maya harus mengalami jatuh bangun hingga Twelve’s Organic yang dirintisnya berkembang hingga memiliki lahan di tujuh titik di Mojokerto, Jawa Timur. Juga membina 25 petani yang terbagi menjadi dua kelompok tani.

Semangat dan keuletan yang dimiliki Maya akhirnya mengantarkannya sebagai peraih penghargaan sebagai Duta Petani Muda pada tahun 2016. Sedangkan pada tahun 2019, Maya Stolastika Boleng kembali menjadi penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards di bidang lingkungan.

Kini, bisnis yang dirintis Maya dan Wita telah memiliki 300 konsumen tetap yang berasal dari konsumen rumah tangga, belasan reseller, dan beberapa outlet organik. Maya juga terus meyakinkan para petani khususnya petani perempuan bahwa menjadi petani bukanlah kegagalan. Petani adalah sebuah profesi yang menjanjikan dan pekerjaannya tidak sekedar mencangkul.

Bertani dan Terus Mengedukasi

Pernah jatuh bangun hingga berhasil menggeluti pertanian organik, Maya tak lantas menjadi pelit ilmu.

Meskipun disibukkan dengan aktivitas menanam dan mengolah lahan, Maya mengharuskan petani binaan Twelve’s Organic untuk mengikuti kelas pelatihan, seperti; kelas pemahaman pertanian organik, kelas budidaya, kelas penjaminan mutu organik, dan kelas manajemen kebun.

Dalam kelas-kelas tersebut, Maya menjelaskan secara transparan mengapa harga sayur organik cenderung tinggi. Ia tak segan menjelaskan mengenai harga benih, ongkos pekerja, biaya perawatan, dan berapa bagian yang didapatkan oleh petani. Maya juga tak ragu untuk mempertemukan petani dengan konsumen pada acara-acara temu konsumen. Hal ini ia lakukan agar petani mengetahui kualitas sayuran yang diinginkan konsumen.

Meskipun harus melalui jatuh bangun hingga berhasil menggeluti pertanian organik, Maya tak lantas pelit ilmu. Ia tak ragu menyampaikan apa saja nutrisi yang ia gunakan untuk menyehatkan sayurannya, seperti membuat nutrisi dari bonggol pisang, bawang putih, dan kulit telur. Bahkan untuk mengendalikan hama, Maya mengaku menggunakan tanaman bunga-bunga seperti hydrangea, krisan, dan mawar.

Selain itu, Maya juga mendorong petani untuk memperbanyak varietas tanaman karena saat ini kalender tanam tidak lagi bisa dipakai karena musim sudah tidak bisa diprediksi, kapan musim hujan, kapan kemarau. Oleh karena itu petani Indonesia harus adaptif. Cari alternatif karbohidrat dari pangan lokal seperti ubi, ketela, jagung. Selain itu lakukan riset tanaman yang tahan dengan musim yang sedang berjalan. Dengan begitu petani tetap bisa menjual hasil panen, dan masyarakat dapat nutrisi dari sayuran sesuai musim

Ajak Perempuan Menumbuhkan Kebaikan untuk KeberlansgunganMasa Depan

Gambar milik @twelvesorganic

Kiprah Maya sebagai petani perempuan dan mengedukasi ibu-ibu petani merupakan sebuah upaya untuk mengangkat peran perempuan di sektor pertanian. Maya menyadari bahwa hingga saat ini dunia agraria masih dikuasai oleh kaum laki-laki. Padahal, perempuan sebagai penggerak pertanian organik diakui hingga taraf internasional

Untuk perempuan Indonesia, Maya berpesan agar tidak menjadikan gender sebagai penghalang. Maya Stolastika Boleng melalui sektor pertanian mengajak perempuan dan pemuda untuk menanam sekaligus menumbuhkan kebaikan demi menjaga keberlangsungan hidup manusia dan alam.

 

Referensi:

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/10/24/kiprah-maya-stolastika-menyebarkan-semangat-bertani-organik-kepada-pemuda

https://kumparan.com/beritaanaksurabaya/kisah-maya-stolastika-bertani-organik-lawan-stigma-petani-profesi-orang-gagal-1z9jGRg9Z8w/full

https://indonesiabaik.id/videografis/peran-penting-petani-milenial-untuk-indonesia

 

Leave a Comment