Bertahun-tahun yang lalu, sebagian dari kita yang lahir di tahun 80-an pasti tidak asing dengan pembungkus makanan yang berasal dari daun pisang atau daun jati. Dulu, saat mengadakan acara tasyakuran atau selametan, daun pisang sangat umum digunakan untuk menyajikan makanan, bahkan untuk membungkus hantaran.
Kebiasaan makan beralaskan daun juga merupakan tradisi turun temurun dalam masyarakat Indonesia, khususnya untuk makanan jenis tertentu dan dalam rangka perayaan tertentu. Di masa sekarang kita masih sering mendengar ‘Botram’ yaitu tradisi makan bersama beralaskan daun yang bertujuan untuk menjalin keakraban. Di sebagian besar wilayah Jawa, kita juga masih bisa menemukan penjual Sego Pecel dan Sego Berkat yang umumnya dibungkus dengan daun pisang atau daun jati.
Alasan Kepraktisan yang Berujung Meresahkan
Seiring berjalannya waktu yang diikuti dengan modernisasi dan kepraktisan di segala bidang, daun pisang mulai jarang digunakan sebagai pembungkus makanan atau alas makan. Kemasan makanan yang berasal dari kertas, plastik, juga styrofoam makin marak digunakan. Selain mudah didapatkan, harganya lebih terjangkau, awet, penampilannya juga lebih rapi, higienis dan praktis karena sekali pakai langsung dibuang.
Sayangnya, material baru ini menimbulkan masalah baru bagi lingkungan karena proses degradasi oleh alam yang cukup sulit dan lama. Apalagi, jumlah sampah kemasan makanan terus meningkat setiap harinya seiring dengan maraknya dukungan jasa antar makanan yang sangat beragam. Sekarang ini, jika kita perhatikan dengan seksama, tong sampah penuh dengan kardus, plastik juga styrofoam bekas pembungkus makanan. Hal ini sangat meresahkan karena proses penguraian material yang sangat lama dapat berdampak buruk bagi lingkungan.
Keresahan tersebut juga dirasakan oleh seorang Rengkuh Banyu Mahandaru, inisiator Plepah yang menciptakan wadah makanan dari material ramah lingkungan. Meskipun mengaku bukan penggerak lingkungan, namun Rengkuh mengaku resah dengan maraknya penggunaan styrofoam yang berpotensi merusak alam.
Awalnya, ia memang tidak terganggu dengan banyaknya kemasan styrofoam yang ia peroleh ketika memesan satu jenis makanan saja. Namun, ia mulai terusik ketika sedang melakukan diving dan menemukan banyaknya sampah plastik dan styrofoam yang ikut berenang bersama ikan-ikan di dalam laut Indonesia yang seharusnya masih perawan.
Tercetusnya Ide Kemasan Makanan dari Limbah Pertanian
Rengkuh berpikir pasti ada solusi untuk mengatasi permasalahan sampah wadah makanan yang menumpuk dan susah terurai secara almiah. Ia lalu mendapatkan inspirasi dari pengalamannya ketika mengikuti kursus alternatif kemasan ramah lingkungan di India. Masyarakat India bisa dibilang mirip dengan Indonesia. Bedanya, mereka justru sudah menggunakan alat makanan dari daun-daunan endemik. Baik itu untuk dimakan langsung atau dibungkus. Di India, meskipun sampah terlihat menumpuk, namun sebagian besar berupa sampah kemasan organik yang nantinya langsung dapat dikompos.
Pada tahun 2018, Rengkuh bersama dua orang temannya memulai riset Plepah dengan memanfaatkan bahan-bahan organik. Pada mulanya, Rengkuh bekerjasama dengan NGO yang fokus pada isu konservasi hutan. Pada tahun tersebut memang sedang marak pembakaran hutan sehingga ia berkomunikasi secara intens dengan petani karet dan kelapa sawit setempat. Rengkuh merasa perlu untuk menciptakan waktu yang produktif sehingga tidak ada yang iseng untuk mengekstraksi hutan dengan melakukan pembakaran atau penebangan liar. Dari situlah Plepah tercetus dan menjadi jalan yang sangat efektif untuk memberdayakan masyarakat
Lahirnya Produk Wadah Makanan dari Limbah Pertanian
Dibangun dengan konsep bisnis berbasis komunitas, Plepah mulai merangkul masyarakat di Sumatera khususnya Desa Teluk Kulbi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, dan Desa Mendis Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Plepah sendiri fokus pada pemberdayaan masyarakat yang berada di area konservasi dengan melakukan pengolahan produk hasil hutan non-kayu yaitu pelepah pinang yang merupakan limbah pertanian.
Rengkuh dan tim Plepah melihat langsung petani di Jambi, Sumatera Selatan yang melakukan penanaman pinang namun hanya sebagai komoditi sampingan. Umumnya, kebun pinang hanya sebagai pembatas kebun utama yang berupa tanaman kelapa sawit dan karet. Sedangkan buah pinang sendiri biasa diekspor ke India dan Cina. Riset sejenis juga memetakan potensi pinang yang berada di Papua juga NTT. Di sana, pelepah pinang dianggap tidak bernilai dan umumnya dibuang sebagai limbah pertanian. Lebih-lebih ketika musim hujan karena berpotensi menjadi sarang nyamuk.
Menurut penuturan Rengkuh, area kebun pinang di Sumatera mencapai 150.000 hektar di mana setiap 2 hingga 3 hektar kebun pinang milik petani dapat menghasilkan antara 5-10 kilogram pelepah yang jatuh dari pohon. Rengkuh melihat besarnya peluang untuk mengubah limbah pohon pinang secara berkelanjutan. Limbah pelepah pinang tersebut kemudian dikumpulkan, dimasukkan pabrik dan melalui serangkaian proses sederhana hingga menjadi kemasan makanan.
Keunggulan Plepah yang Berkontribusi pada Kelestarian Alam
Memiliki latar belakang pendidikan Desain Produk di Institut Teknologi Bandung (ITB), tentunya tak sulit bagi Rengkuh dan dua teman dalam timnya untuk mengembangkan mesin tepat guna yang dapat mengoptimalkan produksi piring dan kontainer makanan dari pelepah pinang.
Proses pembuatan produk Plepah diawali dengan sterilisasi pelepah pinang. Selanjutnya, pelepah akan dipres atau dicetak dengan mesin panas khusus tanpa penambahan bahan lain. Biasanya selembar pelepah bisa dicetak menjadi 3-4 piring lengkap dengan tutupnya. Sedangkan untuk wadah kontainer seperti piring hokben bisa 2-3 biji per lembar pelepah.
Produk Plepah terbuat dari 100% material organik tanpa tambahan bahan apapun termasuk plastik. Bekas kemasan Plepah juga terbukti dapat terurai secara alami dalam 60 hari dan tidak meninggalkan residu metal juga mikroplastik.
Produk Plepah juga diklaim anti air sehingga sangat aman untuk makanan, dapat dipanaskan hingga 200 derajat celcius selama 4 menit di dalam microwave dan 45 menit dalam oven. Selain itu, sebelum dipasarkan seluruh produk Plepah juga disterilkan dengan UV sehingga terjamin kehigienisannya.
Plepah Berkomitmen Berkarya Bersama Masyarakat
Bisnis yang diawali dengan modal awal 100 juta ini mulanya hanya memproduksi 500 produk per bulan. Namun seiring berjalannya waktu dan makin maraknya pemasaran, omzet Plepah sudah mencapai miliaran bahkan kapasitas produksi telah mencapai 20.000 – 30.000 pcs per bulan.
Seiring meningkatnya produksi Plepah, maka masyarakat setempat juga mendapatkan dampak positif yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan. Untuk saat ini, Plepah telah memiliki dua lokasi produksi yang berada di Desa Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dan Tanjung Jabung Timur, Jambi. Masing-masing lokasi produksi juga telah mempekerjakan 20 orang karyawan untuk menjalankan produksi.
Pelepah pinang dibeli dari petani seharga Rp2.000 per kilogram. Dengan luas kebun pinang yang mencapai 2 hingga 3 hektar, maka petani bisa mendapatkan tambahan penghasilan hingga Rp 3 juta hanya dari limbah pertanian. Jumlah tersebut telah meningkat dua kali lipat dibanding saat awal merintis pada tahun 2018-2019.
Tantangan dalam Pengembangan Produk Plepah
Bukan rahasia lagi jika memulai sesuatu yang baru bukanlah hal mudah. Hal tersebut jugalah yang dirasakan Rengkuh dan tim ketika mencetuskan ide awal Plepah.
Tantangan yang pertama dimulai ketika riset pengembangan produk di mana dari segi pendanaan tidak mudah, aksesnya pun bisa dibilang tidak banyak. Kemudian tantangan dalam mengedukasi para stakeholder petani yang selama ini hanya menganggap penting komoditas yang memang sudah menghasilkan nilai secara ekonomi. Sedangkan, Plepah yang berasal dari pelepah pinang adalah hal baru yang belum memiliki ekosistem secara ekonomi.
Selanjutnya dari segi pemasaran, tantangan terbesar bagi Plepah adalah dari segi harga yang terbilang lebih tinggi dibanding produk styrofoam. Wadah dari bahan pelepah pinang ini dihargai Rp.2.000-4.000 per biji, harga ini tentunya jauh dibandingkan styrofoam yang berkisar Rp.300-500. Oleh karena itu, Plepah fokus menyasar pemasaran dengan mengedukasi masyarakat untuk beralih pada produk ramah lingkungan. Kedepannya, Plepah juga lebih serius untuk menggaet investor sehingga produk Plepah bisa lebih bersaing dari segi harga sehingga tidak terkesan menjadi produk eksklusif.
Selain menghadapi banyak tantangan, produk Plepah juga memiliki potensi besar untuk diekspor ke negara-negara yang sudah lebih serius menjalankan gaya hidup berkelanjutan. Untuk saat ini, produk Plepah sudah banyak digunakan di Jakarta, Bali dan diekspor ke negara lain seperti Jepang. Ke depan, beberapa negara seperti Kanada, Swedia, dan Belanda juga menunjukkan minat besar terhadap produk wadah makanan dari pelepah pinang ini.
Plepah: Dari Hutan Indonesia Go Intenasional
Berkat kerja keras dan inovasi secara berkelanjutan, pada April 2023 yang lalu, Plepah berhasil go global dengan mewakili Indonesia dalam pameran teknologi industri tingkat dunia Hannover Messe 2023 di Jerman. Plepah hadir dan dipercaya sebagai startup yang mempresentasikan inovasi dan potensi investasi pada sektor ramah lingkungan.
Besarnya antusiasme masyarakat luar mendorong meningkatnya permintaan kerjasama dari distributor di Jerman, Kanada, juga Amerika Selatan. Menurut penuturan Rengkuh, kerjasama yang ditawarkan tidak hanya berbentuk investasi namun juga kerjasama usaha berupa pengiriman produk ke Kanada, Swedia, dan Belanda.
Peduli, kreatif, inovatif, jeli melihat peluang dan ulet, tak heran kiranya jika seorang Rengkuh Banyu Mahandaru berhasil meraih SATU Indonesia Awards 2023 untuk kategori kelompok. Penghargaan dari PT Astra ini seolah mengukuhkan kerja keras tim Plepah sebagai inspirator generasi muda dalam berkarya bersama masyarakat dan menjalankan usaha berkelanjutan untuk kebaikan Indonesia di masa depan.
Referensi:
- https://swa.co.id/read/406666/cerita-rengkuh-bangun-startup-plepah-berawal-dari-keresahan
- https://bisnis.tempo.co/read/1904076/profil-rengkuh-banyu-mahandaru-inisiator-plepah-kenalkan-produk-kemasan-dari-pelepah-pinang
- https://www.radioidola.com/2024/rengkuh-banyu-mahandaru-sang-peduli-lingkungan-dengan-kreasi-produk-kemasan-pelepah-pinang/
- https://www.kompas.id/baca/tokoh/2024/04/11/rengkuh-banyu-mahandaru-dan-analogi-tusuk-gigi
- https://www.kompas.com/food/read/2021/06/07/160700175/mengenal-plepah-komunitas-yang-kembangkan-wadah-makanan-ramah-lingkungan
- Podcast Radio Idola Semarang: Ngobrol Bareng Rengkuh Banyu Mahandaru (17 April 2024)