Na Willa: Nostalgia Masa Kecil dan Kepolosan yang Menyentil Orang Dewasa

Bu Tini bilang namaku Na Willa. Tiba-tiba satu kelas tertawa. Keras sekali! Ibu Tini juga ikut tertawa. Apa yang lucu? Kenapa kalian tertawa? Aku tak suka.

Na Willa dan Nostalgia Masa Kanak-Kanak

Petikan di atas mengingatkan saya pada momen puluhan tahun silam, saat saya masih anak-anak, tepatnya masih usia taman kanak-kanak. Ibu guru memperkenalkan saya sebagai murid baru. Damar, ketika nama itu disebut, beberapa anak dan orang tuanya tertawa. Beberapa menyebut nama saya identik dengan kayu. Beberapa yang lain berbisik-bisik bahwa nama ini tak lazim digunakan oleh perempuan.

Saya dapat merasakan kegundahan Na Willa ketika namanya ditertawakan. Bedanya, saat itu ibu guru tidak ikut tertawa, tidak seperti Ibu Tini, guru di sekolah Na Willa. Namun, saya tidak memiliki keberanian seperti yang dimiliki Na Willa. Segera, setelah orang-orang menunjukkan reaksi yang beragam ketika nama saya disebut, saya pun menunduk karena malu, dan merasa ada yang tidak benar dengan diri ini.

Kenangan tentang perkenalan di masa kecil hanyalah sebagian momen yang membawa saya bernostalgia pada masa kanak-kanak. Saya ingat betul saat kecil dulu saya memiliki teman yang berani sekaligus sedikit bandel, begitu orang-orang menyebutnya. Ada juga seorang teman yang belum fasih melafalkan huruf ‘R’. Ada juga teman yang suka iseng. Juga teman dekat yang sangat baik kepada saya.

Ada juga masa ketika saya sangat penasaran dengan orang-orang yang memainkan drama radio ‘Saur Sepuh’. Saya selalu berpikir, orang-orang tersebut ada di dalam radio, kemudian mereka bercakap-cakap, bermain silat, juga menangis-nangis di dalam radio.

Saya selalu penasaran bagaimana orang-orang bisa masuk ke dalam sebuah radio seukuran buku tulis saya. Na Willa telah membawa saya pada nostalgia masa kecil yang penuh suka cita tersebut, meskipun harus saya akui, banyak duka, kesedihan, dan kehilangan pada masa-masa itu.

Sinopsis Na Willa karya Reda Gaudiamo

Na Willa terbit pertama kali pada tahun 2012 dengan sistem crowfunding

Novel Na Willa karya Reda Gaudiamo mengingatkan saya pada kesenangan-kesenangan kecil seperti kue sesajen di kamar pengantin, kegiatan mengaji bersama teman di sore hingga petang hari, kesenangan bermain di sawah, sungai, juga bermain tanah tanpa takut kotor atau cacing.

Reda Gaudiamo merangkum kenangan pahit manis masa kecil dalam novel setebal 113 halaman ini. Jika kalian memiliki kenangan sejenis seperti yang kami miliki, maka cobalah membaca novel yang sinopsisnya bisa kalian nikmati dalam tulisan saya kali ini.

Si kecil Na Willa tinggal di sebuah gang di Surabaya, di rumah dengan pohon cemara di depannya. Ia menghabiskan hari dengan berlari mengejar kereta bersama Dul (walau ia selalu tertinggal), pergi ke pasar bersama Mak, melewati bapak penjual anak ayam kuning, atau memikirkan bagaimana orang bisa nyanyi-nyanyi di dalam radio.

Buku ini berisi catatan-catatan Na Willa tentang dunia yang dilihat dari kaca matanya, di sebuah masa ketika radio terdengar lagu-lagu Lilis Suryani dan kasur kapuk dijemur lalu dipukul dengan rotan.

Na Willa merupakan novel yang bercerita tentang kehidupan seorang anak, yang ditulis melalui sudut pandangnya (anak-anak). Mengambil latar cerita Surabaya pada tahun 60-an, Na Willa, menurut pendapat saya sendiri adalah cerminan masa kecil Reda. Sehingga, apa yang menjadi catatan Na Willa, menurut saya merupakan sebagian besar catatan dalam ingatan masa kecil Reda.

Na Willa berkisah tentang anak kecil yang tinggal di rumah di tengah-tengah gang, yang kalau didatangi dari ujung kiri atau ujung kanan pasti melewati depan rumahnya.

Na Willa tinggal bersama ibu yang disebutnya ‘Mak’, dan ‘Mbok’ yang menjadi asisten rumah tangga. Sedangkan ayah Na Willa yang disebut ‘Pak’ adalah seorang pelaut yang jarang ada di rumah.

Dalam novel ini kita juga akan diperkenalkan dengan teman-teman Na Willa. Seperti, ‘Dul’ yang suka bermain layang-layang dan mengejar kereta, kemudian pada suatu hari ia harus kehilangan salah satu anggota tubuhnya karena kesenangannya tersebut. ‘Farida’ yang rumahnya bersebelahan dengan Na Willa, yang setiap sore rumahnya selalu diramaikan oleh anak-anak kecil untuk belajar mengaji. Ada juga ‘Bud’, yang berperawakan kecil dan selalu ingusan.

Melihat teman-teman Na Willa seketika saja saya tersenyum karena membayangkan teman-teman saya di masa kecil. Na Willa benar-benar novel yang disajikan secara ringan dan menyenangkan, namun banyak pesan yang bisa kita ambil di dalamnya.

Na Willa: Kepolosan yang Menyentil Orang Dewasa

Na Willa novel yang bercerita btentang anak-anak namun mengangkat isu sensistif seperti rasisme

Ya, meskipun novel ini dituliskan dengan sudut pandang anak, disajikan dengan kalimat yang singkat, kemudian digambari dengan ilustrasi menggemaskan khas Cecillia Hidayat. Namun, jangan berpikir bahwa novel ini mengambil genre khusus untuk anak-anak.

Na Willa memotret realita kehidupan bahwa dunia anak-anak tidak sepenuhnya terlepas dengan permasalahan orang dewasa yang rumit. Kenyataannya, kehidupan anak-anak memang tidak selalu indah dan penuh tawa. Ada kalanya mereka harus berhadapan dengan toleransi, rasisme, perjodohan, kehilangan, dan berbagai tragedi lainnya.

Kerukunan

Diceritakan bahwa Na Willa berteman akrab dengan Farida. Pertemanan dua bocah perempuan cilik ini sederhana saja, polos tanpa merumitkan keyakinan mereka yang berbeda.

Setiap sore, sehabis mandi, habis matahari terbenam, Farida tidak boleh keluar rumah. Ada ramai-ramai di rumahnya. Banyak anak-anak di sana. Farida ada di situ juga. Mak bilang, Farida belajar mengaji. Bersama yang lain, aku dengar suaranya. (Na Willa, halaman 56)

Ya, Na Willa selalu ingin ikut mengaji dengan Farida, karena temannya itu selalu mengajaknya. Meskipun Mak Willa sudah mengingatkan bahwa mengaji itu tidak main-main, sama dengan membaca Al Kitab di gereja, ia tetap ingin ikut dan berjanji tidak akan mengganggu.

Sebagai orang tua, Mak Willa atas izin Gus Salim dan ibunya Farida memperbolehkan Na Willa mengunjungi rumah temannya tersebut pada saat anak-anak sedang mengaji. Dengan syarat tidak mengganggu, tidak memanggil-manggil Farida, dan hanya duduk di belakang saja.

Di lain waktu, Farida pun merasa asyik saja ketika menghias pohon natal bersama Na Willa. Mereka tetap berteman, keluarga mereka tetap berhubungan baik, meskipun keduanya memiliki keyakinan yang berbeda.

Rasisme

Dalam cerita lain yang berjudul ‘Warno’, dikisahkan Na Willa dihukum Mak karena memukul Warno yang cacat. Na Willa merasa tidak terima karena diejek dengan sebutan ‘Asu Cino’ oleh temannya tersebut. Na Willa mencoba membela dirinya, namun ia justru mendapat hukuman keras dari ibunya.

Meskpun tahu bahwa apa yang dilakukan Warno tidak benar, namun Mak mengingatkan bahwa apa yang dilakukan Na Willa dengan menyakiti orang cacat juga salah. Sebagai anak kecil, Na Willa beranggapan apa yang dilakukannya benar karena ia harus membela diri. Namun dalam kacamata orang dewasa hal tersebut tidaklah tepat.

Perbedaan cara pandang seperti ini seringkali kita jumpai dalam interaksi antara orang dewasa dengan anak. Bagi anak-anak, kesadaran akan siapa dirinya, dan kemauan untuk diterima sama seperti yang lainnya adalah hal yang sederhana saja. Namun tidak begitu halnya dengan orang dewasa.

Na Willa dan Potret Pendidikan Kita

Na Willa bercerita tentang seorang anak yang tinggal di Surabaya

Beberapa bagian buku ini juga mengkritik dunia pendidikan kita. Dalam salah satu judul dikisahkan bahwa Bu Tini dan teman-teman menertawakan nama Na Willa. Dalam cerita yang lain, Bu Tini juga tidak percaya bahwa ia sudah belajar membaca di rumah.

Tidak ada anak yang bisa membaca sebelum dia sekolah. Kamu juga tidak bisa. Sana duduk, ” katanya dengan suara yang lebih keras dari tadi. Aku tetap berdiri, memegang ujung mejanya. “Tapi aku bisa!” kataku. (Na Willa, halaman 83)

Bu Tini bahkan menjewer Na Willa yang sedang menarik rambut temannya. Bu Tini tidak bertanya mengapa Na Willa melakukan hal tersebut. Padahal, Na willa sekedar membalas apa yang telah dilakukan temannya— yang lebih dulu menarik kepang rambutnya, juga menjulurkan lidah kepadanya.

Di sini, di sekitar kita, masih adakah pendidik seperti Bu Tini? Sayangnya saya harus berkata masih ada. Memang tidak selalu dalam bentuk kekerasan fisik, namun beberapa kali saya menjumpai pendidik yang melakukan kekerasan verbal pada siswanya. Miris, namun nyata.

Kesan DuoNaj pada Na Willa

Na Willa novel yang dapat dinikmati semua usia

Awalnya Na Willa bukanlah buku cerita populer, namun menurut saya buku ini berhasil menuangkan gagasan penulisnya. Buku yang sudah dicetak sebanyak lima kali ini memang bukan murni buku cerita anak, namun sangat bisa dinikmati bersama anak-anak.

Seperti biasa, saya membeli buku ini sebagai ‘warisan’ sekaligus penghuni baru di rak buku DuoNaj. Saya sudah membacakannya untuk Najib dan Najwa. Kemudian Najwa mulai membaca sendiri saat menjelang tidur, atau ketika sedang tidak ada teman.

Menurut Najib, ia lebih suka cerita Aku, Meps, dan Beps karena lebih lucu. Najib tidak suka Mak Willa yang galak dan terlalu tegas. Sedangkan Najwa, ia tidak banyak berkomentar dengan buku ini. Tapi berdasarkan pengamatan saya, ia sudah membacanya berulang kali, bahkan tanpa diminta.

Na Willa saya rekomendasikan bagi pembaca dari segala usia yang sekedar ingin mencari bacaan ringan dan menggemaskan. Namun buku ini juga cocok untuk pembaca yang menaruh minat pada kritik sosial.

 

Judul: Na Willa| Penulis: Reda Gaudiamo |Ilustrator: Cecillia Hidayat | Editor: Maesy Ang, Teddy|Penata Sampul: Drevina Ursula| Penata Letak: Reda Gaudiamo| Penggambar Sampul: Cecillia Hidayat| Penerbit: POST Press | Tahun terbit: Tahun 2012, cetakan kelimat tahun 2021Jumlah halaman: 113 halaman | ISBN: 978-6-02-603042-9

 

 

 

 

 

 

 

 

50 thoughts on “Na Willa: Nostalgia Masa Kecil dan Kepolosan yang Menyentil Orang Dewasa”

  1. Udah gak kekinian deh jewer menjewer, seperti yang dilakukan Bu Tini haddeh.

    Bukunya menohok juga ya dan sekaligus membuka wawasan tentang dunia anak dan pendidikan juga. Apalagi gaya bahasanya juga mudah dicerna

    Reply
  2. Ceritanya kayaknya sederhana tapii banyak banget pelajaran yg bisa diambil dari bukunya ya mbaa.
    Aku kayak pernah tahu penulisnya ini Reda Gaudiamo, eh nama belakang penulisnya maksudnya. Kayak penulis perancis gituu. Ada hubungannya ga yaa >.<

    Reply
  3. wah menarik, terakhir baca buku tentang anak itu bukunya toto-chan, ternyata ada yg dari lokal juga dgn tema yg klihatan sejenis, jd penasaran

    Reply
  4. Asyikk ada rekomendasi novel menarik untuk ku baca akhir pekan nih! Desain covernya unik ya, simpel banget dan di dalamnya ada gambar-gambar yang lucu, hihi.

    Reply
  5. Wah aku suka bacaan ringan semacam ini. Apalagi tokohnya masih anak-anak jadi sekaligus bernostalgia kembali ke zaman dulu haha

    Reply
  6. Sebenarnya Na Willa ini lebih ke suku mana ya.. kalo jawa kayaknya jarang namanya Na Willa.. kok kaya orang timur gitu ya

    Reply
  7. Seru juga ya novel Na Willa, jadi nostalgia masa kecil. Waktu kecilku kelahiran 86 juga mirip kisah kecil Na Willa. Ada kasur digebuk pas di jemur, dengerin radio, dll

    Reply
  8. Sebagian cerita membuat saya juga mengingat masa kecil. Saya juga pernah bertetangga dengan keluarga nasrani. Meski nggak ada acara menghias pohon natal, tetap saja kadang aku mendengar puji-pujian yang mereka lantunkan sebagai bentuk ibadah. Dan tetangga saya juga akan menghormati ketika tiba hari-hari besar keagamaan Islam. Cukup menyenangkan. Mungkin aku bisa merasakan apa yang dirasakan Farida teman Na Willa.

    Reply
  9. Seru kayaknya buku ini. Apalagi latar belakangnya diambil di Surabaya tempat aku juga lama tinggal. Rasanya berbagai cerita di novel ini akan jadi aku kenalin banget latar belakangnya.

    Reply
  10. Kok saya gemes banget sama Bu Tini itu. Pengen juga njewer telinganya. Tak seharusnya seorang guru bersikap begitu. Masa kecil Na Willa tentunya banyak dialami anak-anak juga hanya kita yang belum tahu.

    Tentang rasisme yang sudah ada dari kecil. Beneran menyentil sih. Itu yang ngatain kata-kata kasar ke Na Willa, beneran bikin enek. Dan Mak Willa begitu tegas. Melarang melukai orang cacat.

    Reply
  11. Menarik nih kayaknya sampai duo Naj saja merasa nyaman. Sepertinya bakal beli juga nih buku untuk koleksi anak di rumah.

    Reply
  12. dari covernya aja udah gemoy banget gitu yaampun. jadi penasaran pengen baca juga. udah lama gak baca yang ringan ringan kayak gitu. keseringan baca yang berat-berat bikin gairah membaca kadang redup. butuh direfresh pake bacaan ringan

    Reply
  13. Aku jadi penasaran tentang kue sesajen di kamar pengantin, ini biasanya di daerah mana kak?

    Bu Tini oh bu Tini. Beberapa sekolah sepertinya memang masih ada kasus seperti itu ya kak. Hikssss

    Reply
  14. Aku kok jadi tertarik yah, Dulu sempet baca review Na Willa juga eh terus lupa beli. Baca ini jadi pengen masukkin WL. Karena menurutku cerita anak-anak yang menyentil orang dewasa gini malah sarat pesan moral dan rekomended banget. Must have items lah. NIce sharing mba Damar. Aku juga sering dikata namanya cowok. Pasti kalo chat lewat wa atau surel diawali Pak! Hihi

    Reply
  15. Seru nih sinopsisnya. Mengulas masa lalu dari sudut pandang anak kecil tapi bisa menyentil orang dewasa. Kadang untuk menceramahi orang emg ga prlu dgn kekerasan atau adu mulut yg bikin orang lain sakit hati. Mengingatkan orang lewat novel ringan seperti ini bisa jadi salah satu solusi. Jadi pingin beli deh novelnya.

    Reply
  16. wah banyak kritik sosial didalamnya, sepertinya beberapa cukup sensitif dan relevan dengan keadaan sekarang. jadi penasaran juga sih buat ngebacanya

    Reply
  17. baca sinopsisnya jadi mikir sendiri saya kak tentang beberapa hal, isinya sepertinya memang kisah yang diangkat dair kehidupan nyata kita ya kak sehari-hari. bayangin yang pertemanan berbeda agama yang mewakili sebuah kerukunan itu, adem banget. kata-katanya jleb juga, mereka bergaul tanpa dirumitkan dengan perbedaan keyakinan. dulu saya punya sahabat akrab beda agama saat kuliah, kami juga tidak dirumitkan dengan agama kami, sayangnya dia harus pergi jauh dan dia pergi tanpa kabar meninggalkan saya dan teman-teman karena ada masalah dikeluarganya

    Reply
  18. Lho bukunya kok lucu ya
    Saya suka ilustrasinya
    Mengingatkan saya dengan Matilda
    Hmm, bakalan cari deh ini buku
    Seru sepertinya

    Reply
  19. Duh aku suka nih tipe buku seperti ini hehehe. Ringan dan menghibur ya. Apalagi dari sudut pandang anak kecil. Ada versi ebooknya ga yaa? Pengen beli dan bacaaa.

    Reply
  20. Saya jadi mau beli deh, Mba. Mau tau isi ceritanya spt apa. Cerdas penulisnya nih. Membarikan ilmu parenting secara halus lewat cerita Na Willa ini

    Reply
  21. Baca buku ini pasti bakal senyum sendiri mengingat masa kecil Na Willa dan masa kecilku yang lebih kurang sama. Ku suka cara mengemas ceritanya, jadi novel yang bisa dibaca semua usia nih. Apalagi banyak pesan yang dibawa. Dan tentang Bu Tini, memang miris karena hari gini masih ada tipe begini. Hiks

    Reply
  22. Kadang orangtua dengan pikiran “kolot” menganggap ktia adalah yang maha benar, dan anak anak adalah …. (ada di buku yang IT yang membacanya bikin hati gerimis)

    Yes, thats true, dunia anak-anak tidak sepenuhnya terlepas dengan permasalahan orang dewasa yang rumit. Kenyataannya, kehidupan anak-anak kadang suliiit karena orangtua di sekitarnya juga

    Reply
  23. Kadang orangtua dengan pikiran “kolot” menganggap ktia adalah yang maha benar, dan anak anak adalah …. (ada di buku yang IT yang membacanya bikin hati gerimis)

    Yes, thats true, dunia anak-anak tidak sepenuhnya terlepas dengan permasalahan orang dewasa yang rumit. Kenyataannya, kehidupan anak-anak kadang suliiit karena orangtua di sekitarnya juga

    Reply
  24. Wah kalo ceritanya di tahun 60’an itu zamannya mamahku masih kecil juga. Rame tuh beliau cerita krn kesannya ‘ngebolang’ banget. Tapi bukan di Surabaya sih hehehe, di Kalimantan. Kalo di Surabaya aku pernah merasakan di tahun 80’an. TK sampe SD kelas 3. Ceritanya sih puas sepedaan kemana-mana juga dengerin sandiwara radio pun jadi hobi (Saur Sepuh).

    Reply
  25. Ulasan bukunya menarik sekaliii, saya yang pecinta buku anak-anak langsung jadi pengen banget punya. Beli bukunya di mana mbak?

    Ilustrasinya juga cakep ya, mendukung isi buku dengan cara bercerita yang ringan.

    Reply
  26. setting-nya di surabaya yaaa
    duh, mirip banget ini sama gang2 kampung di surabaya, domisili saya.
    suasana dan obrolan2 karakternya juga seru!

    Reply
  27. Ceritanya disampaikan dengan sederhana tapi sesuai dengan realita ya Mba. Nama aku juga sering jadi bahan omongan orang. “namanya kok kayak cowok sih” “kirain cowok. ternyata cewek”. hehehehe

    Reply
  28. Cover bukunya manis banget, Mbak. Gak banyak ilustrasi. Tetapi, udah menarik perhatian.

    Menulis tentang kritik sosial, terkadang jatuhnya bisa jadi berat untuk dibaca. Tetapi, sepertinya tidak terjadi di buku Na Willa. Kelihatan penulisnya mampu membuat tulisannya terkesan ringan, meskipun ada kritik sosialnya. Menarik!

    Reply
  29. Persis dengan kejadian ku semasa SD, SMP dan SMA mba. Setiap dipanggil guru aku selalu ditertawakan teman-teman dan guruku juga ikut tertawa. Nama Lengkap ku Syafiatuddiniah kemudian suka dipelesetin jadi Sapi, jadi saifudin, jadi udin. Sedih kalau ingat zaman itu. Pengen baca buku nya, bagus banget ini jadi reminder buat kita semua

    Reply
  30. Tapi cerita Na Willa ini pun masih suka terjadi sekarang inikan ya, tapi memang sedihnya ini pun guru malah seperti itu terhadap Na Willa. Padahal sekolah itu harusnya menjadi tempat anakmendapat pembelajaran yang baik ya.

    Reply
  31. Walaupun terkesan ringan tapi memang benar deh kalau ini juga menyentil dunia pendidikan yang seringkali memaksa anak buat belajar membaca dan harus bisa membaca sebelum sekolah. Padahal harusnya tak demikian 🙁

    Reply
  32. Novel dg karakter menarik n ringan begini wajib dibaca. Duh, kapan terkahir beli ya. Kayaknya Novel Anne Of Green Gables yg terakhir. Haha. Dah lama gak baca novel begini

    Reply
  33. Ceritanya simpel tapi emang related ama kehiduapan anak dan pendidikan Kita ya Mba. Dari judulnya saja udah unik, ilustrasinya juga lucu, imut-imut gitu. Suka deh saya baca reviewnya.

    Reply
  34. Jadi pingin baca deh, Temanya sederhana tapi sarat makna ya cocok buat yang sudah dewasa selain mengenang masa kecil juga jadi pelajaran hidup dan memahami sesuatu yang ketika kecil dulu sulit dipahami. Noted ah mau coba cari bukunya.

    Reply
  35. Novelnya asik banget mbak, zaman dulu jewer menjewer udah jadi hal biasa ya. Sedihnya disuruh berdiri aja padahal pingin ikutan ngaji. Makin penasaran sama bukunya, seru sepertinya

    Reply
  36. Wah! Musti masuk list nih buku. Ceritanya seru, termasuk ilustrasinya. Lagi butuh baca buku yang ceritanya ringan seperti ini

    Reply
  37. Penasaran deh dengan isi bukunya tentunya makin menarik nih karena ringan dan bisa mengenang masa anak-anak

    Reply
  38. Terima kasih atas ulasannya. Soal nama saya juga bahkan sampai sekarang banyak orang aneh aja ama nama saya, hahaha. Meski saya belum dapat penjelasan yang rinci dari bapak sebab saya masih kecil beliau udah meninggal. Saya yakin aja ortu memberi nama anaknya pasti ada maksudnya

    Reply
  39. Wah bagus bukunya. Bikin penasaran. Pasti bukunya banyak ngingetin masa kecil kita. Baru baca review ini aja aku jadi bisa mengembara nginget-nginget masa kecilku. Gimana kalo baca bukunya utuhnya. Duh kepengen baca ih. Kepengen nostalgia dengan masa kecil.

    Reply
  40. Desain sampulnya simpel banget ya, padahal isi di dalamnya luar biasa.
    Saya juga jadi ingat, jaman kecil menunggu dengan sabar acara sandiwara radio Saur sepuh. Hapal jam berapa sandiwara ini diputar di berbagai stasiun radio. Saat itu saya mikirnya, kok para pemainnya bisa cepet banget pindah-pindah tempat dan melakukan siaran ya?

    Reply
  41. Ceritanya menarik dan menghibur yaa…
    Khas hubungan sosial anak-anak tahun 60an. Aku jadi inget Mallory Towers. Tapi bahkan buku-buku Enid Blyton yang aku baca setting ceritanya tahun 80an.
    Na Willa keren sekali. Sederhana dan tetap menyentuh sisi-sisi humanis.

    Reply
  42. Menarik banget novelnya, kayaknya blm banyak deh yg mengangkat cerita nano-nano kehidupan & segala konfliknya dari sudut pandang anak2. Di kita cerita anak2 masih lebih byk yg ceria2 & ringan gitu biasanya. Padahal ada byk sisi yg bisa dihadapi anak2 jg, termasuk pahit kehidupan. Jadi pengen baca novelnya…

    Reply
  43. Aku jadi ingat novel dadais yang bercerita tentang anak dan sudut pandang si anak, sudut pandang orang dewasa. Aku suka novel seperti ini, berasa membacanya pengen intropeksi diri sebagai ibu dan orang dewasa

    Reply
  44. Keren! Aku baca ulasan ini dari awal sampai akhir, enggak lompat-lompat. Ingatan Na Willa dengan masa kecilku agak beda, mungkin karena aku besar di kampung yang cenderung homogen, enggak kenal kereta pula.

    Terus… aku ra kenal Saur Sepuh. Kenalku Mak Lampir. Wkakakakka. Komenku terkesan jumawa menegaskan generaiku luwih enom ya.

    Reply
  45. jadi ingat masa kecil ya mak baca ini nostalgia waktudulu imut2
    jadi inget kadang ternyata kita melupakan beberapa kesenangan masa kecil yang bisa bikin kita bahagia secara sederhana

    Reply
  46. Padahal menurutku nama nawilla itu cantik. Samasekali ga bikin lucu. Nama yg indah sih. Ga ngerti kenapa murid2 itu dan gurunya malah ketawa.

    Tapi memang banyak yg seperti itu, bahkan di zaman skr.

    Buku ini sedang dibaca Ama anakku mba. Aku wajib-in setiap bulan harus membaca buku, dan bulan ini dia baca buku nawilla seri 1&2 . Nanti dia aku minta utk cerita ulang dan kami diskusikan bareng. Banyak pertanyaan dari anakku juga ttg isinya. Kayak yg ttg ‘asu cino’.

    Dia tanya artinya apa, dan kenapa itu dianggab rasis. Aku jelasin semudah mungkin ttg rasis2 yang banyak terjadi skr. Setidaknya aku pengen didik anakku supaya ga membeda2kan temannya. Dari suku apapun, dari agama apapun.

    Reply

Leave a Comment