Contents
hide
Ternyata, hidup ini indah bukan buatan. Kurasa mereka yang selalu mengatakan hidup ini sulitlah, sepilah, tak adillah, segala rupa keluhan, perlu mempertimbangkan profesi baru, sebagai BADUT SIRKUS.
Sirkus Pohon, salah satu novel yang berhasil membuat saya duduk selama 6 jam untuk menyelesaikan seluruh bab di dalam buku setebal 383 halaman. Yah, saya tahu ini hal yang basa bagi sebagian orang. Tapi bagi saya ini adalah rekor berkelanjutan setelah sebelum-sebelumnya melakukan hal yang sama pada seri tetralogi Laskar Pelangi karangan Andrea juga.
Membaca buku Andrea, membuat saya tersihir dengan kata-kata. Mabuk, limbung dalam perasaan yang campur aduk dan emosi yang terus dimainkan melalui kisah-kisah pelakonnya. Semuanya terlalu nyata, dekat dan dapat dijumpai di sekitar kita. Begitu lihainya Andrea mengangkat drama kehidupan dan isu sosial yang berkembang di masyarakat. Membungkusnya dalam wujud fiksi yang mampu melambungkan imajinasi pembacanya
” Fiksi, cara terbaik menceritakan fakta.” -Andrea Hirata
Seperti halnya buku-buku terdahulu Andrea, Novel Sirkus Pohon masih dilatari kehidupan Melayu lengkap dengan tradisi masyarakatnya. Pemberian nama julukan atau gelar pada orang-orang yang memiliki kebiasaan tertentu. Atau atas pencapaian tertentu entah itu benar-benar bisa dianggap prestasi atau justru hal-hal yang memalukan. Nampaknya tetap menarik bagi Andrea untuk mewakili salah satu kebiasaan orang Melayu selain tentunya duduk berlama-lama di warung kopi sambil membicarakan isu di kampungnya.
Optimisme yang meledak-ledak, kekuatan cinta, kecerdasan yang terbelenggu oleh kemiskinan selalu menjadi ciri khas Andrea Hirata. Ya, 3 hal ini memang sangat manusiawi dan mampu mewakili realita masyarakat kita. Rakyat dari golongan menengah ke bawah, yang tersebar di pelosok-pelosok negeri ini.
Baca juga: [Resensi} Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya
Kali ini Andrea mengangkat lika-liku kehidupan sang tokoh sentral utama, Sobrinudin bin Sobirinudin, yang kemudian dipanggil Sobri dan segera berganti lagi m,enjadi ‘Hob’. Kan, apa saya bilang? Orang Melayu dalam cerita Andrea selalu suka memberikan panggilan kepada siapa saja. Bahkan Sobri sendiri tak pernah tahu bagaimana asal mulanya nama ‘Hob’ bisa disandangnya.
Sobri. Miskin, putus sekolah, pengangguran hingga akhirnya harus berkawan dengan penjahat kelas teri di kampungnya. Hidupnya tak terarah, tak memiliki tujuan jangka panjang. Hingga akhirnya dia menemukan cinta dan kecintaan yang kemudian mengubah hidupnya secara keseluruhan.
“Bangun pagi, let’s go …”, begitu semboyannya ketika dunia mulai ramah dan memberikan arti bagi kehidupannya. Dedikasi atas kecintaan baru, keinginan untuk memberikan kebanggaan bagi seorang ayah yang tak pernah mengeluh dan cita-cita akan cinta. Ketiganya bagaikan mantra yang membuatnya menjelma menjadi manusia baru.
Tegar dan Tara, dua tokoh sentral kedua. Dalam diri mereka, kita akan diajak bernostalgia dengan Arai. Sang pecinta sejati, erat menggenggam mimpi-mimpinya, hampir tak pernah mengenal kata putus asa. Ya, Tegar dan Tara akan mengajarkan pada kita mengapa kemiskinan tak perlu ditangisi, perpisahan bukan untuk disesali, bahwa harapanlah yang akan terus menyalakan mimpi-mimpi.
Tidak hanya dari tokoh sentralnya saja, pembaca Sirkus Pohon akan dapat menemukan segala kebaikan dalam diri tokoh-tokoh yang lain. Kebaikan yang sering kali ditutupi sikap sombong, serakah, menang sendiri, gengsi. Bahwa manusia memang tidak dilahirkan dalam kesempurnaan, tapi selalu ada 1 atau 2 kebaikan yang hanya bisa dilihat dengan kebaikan juga.
Sebuah kejutan juga bagi saya, kali ini Andrea menghadirkan aroma kehidupan politik dalam karyanya. Penuh pencitraan, intrik, dan hal-hal yang irrasional seperti halnya politik dalam dunia nyata. Teman-teman akan dibuat gemas dengan Penasihat Abdul Rapi, atau melihat sosok politikus kita dalam diri Gastori. Namun di akhir nanti, pembaca akan mendapatkan kejutan dari seorang Lelaki Bertopi Fedora. Dan juga Taripol, kawan lama Sobri sekaligus orang yang membuatnya harus mencicipi aroma penjara untuk yang pertama kalinya.
Di babak kedua nanti teman-teman akan melihat betapa Buah Delima begitu maha dahsyat mengubah kehidupan seseorang. Begitu pun juga halnya dengan betapa gilanya menjadikan Pohon Delima sebagai yang diagung-agungkan dalam sebuah kontestasi politik. Edan! Memang begitulah kenyataannya, dalam dunia politk semua hal bisa dijadikan alat.
Sirkus Pohon mengajarkan kita cinta dari berbagai sudut pandang. Cinta kepada yang memang dicintai, cinta kepada yang tak pernah ditemui lagi, cinta pada yang telah meninggalkan luka, cinta sepasang hewan-hewan kecil, cinta akan kekuasaan, cinta pada profesi, cinta pada pengabdian dan cinta-cinta lain yang mungkin bisa kita temui dalam tiap lembar dan larik di dalamnya. Bravo! Andrea mampu menghadirkan Sang Pujangga, dalam segala rupa dan detak kehidupan.
Membaca buku ini, saya merasa seperti sedang dibawa ke belahan negeri itu. Seperti halnya buku-buku Andrea yang lain. Penggambaran latar tempat, situasi dan dialek yang kental akan Melayu, membuat pembaca larut. Seolah sedang duduk di salah satu warung kopi di sana. dan menyaksikan potongan fragmen kehidupan tokoh-tokohnya.
The End, Teman-teman akan menemukan kenyataan-kenyataan seperti. Usaha tak akan pernah mengingkari hasil, cinta akan menemukan jalannya, dan kebaikan selalu menang. Dan begitulah seharusnya yang berlaku dalam kehidupan. Tapi sayangnya, dunia ini sudah terlalu ‘tua’ untuk dapat memahami hal-hal demikian. Hingga sering kali kita hanya menemuinya di layar kaca, atau dalam larik-larik cerita.
Judul : Sirkus PohonPenulis : Andrea HirataPenerbit : Bentang PustakaTebal buku : 383 halaman
ISBN : 978-602-291-409-9
Optimisme yang meledak-ledak, kekuatan cinta, kecerdasan yang terbelenggu oleh kemiskinan selalu menjadi ciri khas Andrea Hirata.>>> saya setuju.Walopun tuk buku Pakcik yang ini saya belum punya. Terimakasih resensinya, Mbak
Siap, semoga semakin penasaran setelah membaca resensinya 🙂
Belum baca saya Mbak..Selalu suka dengan gaya bahasa Andrea Hirata, karena latar Melayunya. Lantaran pernah tinggal 5 tahun di P Brandan yang mayoritas Melayu. Jadi merasa dengar di telinga dialognya.Jalan cerita suka mengaduk rasa..sukaaaa!
Kisah Melayu mmg selalu menarik untuk diikuti. Ntah kenapa, semacam lebay yang menarik gitu. hehehe
Menarik, Mbak. Andrea selalu pandai memainkan kata2.
Bukannya di novel itu dijelaskan ya asal mula panggilan "Hob"