Review Novel “ibuk”- Novel Best Seller Iwan Setyawan

Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat.” -Ibuk-

Blurb Novel “ibuk”

Masih belia usia Tinah saat itu. Suatu pagi di Pasar Batu telah mengubah hidupnya. Sim, seorang kenek angkot, seorang playboy pasar yang berambut selalu klimis dan bersandal jepit, hadir dalam hidup Tinah lewat sebuah tatapan mata. Keduanya menikah, mereka pun menjadi Ibuk dan Bapak.

Lima anak terlahir sebagai buah cinta. Hidup yang semakin meriah juga semakin penuh perjuangan. Aggkot yang sering rusak, rumah mungil yang bocor di kala hujan, biaya pendidikan anak-anak yang besar, dan pernak-pernik permasalahan kehidupan dihadapi Ibuk dengan tabah. Air matanya membuat garis-garis hidup semakin indah.

Ibuk, novel karya penulis national best seller Iwan Setyawan, berkisah tentang sebuah pesta kehidupan yang dipimpin oleh seorang perempuan sederhana yang perkasa. Tentang sosok perempuan bening dan hijau seperti pepohonan yang menutupi kegersangan, yang memberi napas bagi kehidupan.

Sinopsis

Setiap keluarga pasti memiliki cerita tentang jatuh bangun perjalanan hidup mereka. Dimulai dari sebuah perkenalan, pernikahan, kehadiran anak, setiap momen penuh tawa dan canda, bahkan duka dan air mata. Ada kalanya keluarga-keluarga itu harus mengalami kegagalan. Jatuh kemudian terluka. Namun keluarga selalu menjadi tempat terbaik untuk mendapatkan penguatan. Keluarga adalah mereka yang selalu menerima kita apa adanya. Membuat jiwa-jiwa ini “kaya” akan memori dan cinta.

Kisah keluarga dalam novel “ibuk” dimulai dengan pertemuan seorang gadis muda dengan laki-laki playboy pasar. Kata orang, cinta itu dari mata turun ke hati. Kalau orang Jawa bilang, “Witing tresno jalaran soko kulino”.

Begitulah yang dialami Sim dan Tinah. Sebuah tatapan mata di suatu pagi yang tak beda dari pagi-pagi biasanya telah mengubah perjalanan hidup dua anak manusia. Hati Sim dan Tinah terpaut, hingga keduanya sampai pada suatu pertanyaan, “Maukah kau hidup susah denganku?”

Tinah dan Sim memulai pelayaran keluarga mereka dengan menumpang di rumah saudara Sim. Sepetak kamar di rumah tersebut telah menjadi saksi cinta, duka, tawa. Hingga suara tangis bayi mereka yang pertama, kedua, kemudian disusul yang ketiga.

Hari berganti minggu, kemudian bulan dan tahun. Pelayaran keluarga mereka semakin berat seiring dengan terus bertambahnya jumlah anak dan biaya hidup yang membesar. Dengan angkot tua yang sering rusak, Sim terus berjuang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Sedang Tinah dengan segala kesederhanaan dan ketekunannya sebagai “penjaga rumah tangga”,  ia mampu mengelola segalanya.

Anak-anak cukup makan meskipun tak mewah, pakaian ada meskipun sederhana. Namun yang paling penting anak-anak tak sampai putus sekolah. Tinah berjanji membawa anak-anaknya lulus SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Ia tak ingin ada Tinah lain dalam keluarganya yang bahkan tak sempat lulus sekolah dasar.

Apakah Sim dan Tinah berhasil mengentaskan pendidikan anak-anaknya?

Bagaimana pasangan ini menghabiskan hari tuanya?

Bagaimana karakter anak-anak hasil didikan Tinah?

Emm, mungkin teman-teman sudah bisa menebaknya, ya. Yang jelas, novel “ibuk” mengajarkan banyak nilai kehidupan.

Baca juga: Rapijali-Dee Lestari

Pelajaran Berumah Tangga dalam Novel “ibuk”

Membaca novel “ibuk” rasanya seperti bernostalgia dengan kenangan masa kecil. Masa-masa ketika perjuangan hidup tak sekedar mengirit-irit pengeluaran demi menabung untuk biaya pelesiran. Bukan sekedar menjauhi sosial media demi menjaga kewarasan. Namun masa-masa di mana membuat perut tak sampai kelaparan merupakan kebutuhan utama sebelum kebutuhan-kebutuhan lainnya. Novel “ibuk” sangat riil dan mengulas kehidupan masyarakat pada zaman-zaman. Jangan untuk sekolah, makan saja susah!

Novel “ibuk” memaparkan dengan gamblang potret kehidupan sebagian besar masyarakat kita. Pendidikan rendah dan tak memiliki cukup penghasilan, namun kemauan untuk mengubah nasib terlanjur menjadi “bahan bakar”. Tak sedikit keluarga yang digawangi orang-orang seperti Sim dan Tinah telah berhasil meletakkan pondasi kehidupan yang kuat untuk anak-anaknya. Mereka tak hanya membesarkan, namun mendidik dengan memaparkan anak pada belantara kehidupan nyata.

“ibuk” juga banyak memberikan gambaran tentang kehidupan rumah tangga yang tak melulu ideal bahkan jauh dari kata sempurna. Namun “Ibuk” menunjukkan bahwa kekuatan berumah tangga yang sesungguhnya terletak pada penerimaan. Saling menerima kondisi pasangan, kerjasama dalam keluarga, keteguhan hati untuk tidak menyerah dan-cita yang tak pernah putus diucapkan dalam doa.

Beberapa cerita memang sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat pada masa kini. Misalnya saja ketika Tinah dihadapkan pada kondisi keterbatasan ekonomi keluarga. Mungkin sebagian besar perempuan masa kini akan memilih nyambi bekerja. Toh, zaman sekarang kerja bisa di mana saja.

Tapi, bukan itu nilai yang ingin ditunjukkan penulis dalam novelnya. Iwan Setyawan ingin menunjukkan keteguhan hati seorang “ibuk” menjaga keseimbangan dalam keluarganya. Uang belanja Tinah memang tak besar, namun besarnya cinta dan usaha yang ia berikan kepada keluarganya melebihi itu semua.

Tinah merupakan sosok perempuan perkasa yang tak hanya mampu meredam tangis anak-anaknya. Ia pun mampu meredam segala keinginannya untuk digadaikan dengan masa depan anak-anaknya.

Penulis juga ingin menunjukkan cara kerja suatu hubungan dalam keluarga. Bagaimana kemenangan keluarga berjalan beriringan dengan kemenangan setiap individu di dalamnya. Keluarga ibarat anggota tubuh. Satu terluka maka sakitnya akan terasa pada bagian tubuh lainnya.

Baca juga: Coelho’s Circle-Novel Tema Covid-19

Kekurangan dan Kelebihan Novel “Ibuk”

Menurut pendapatku secara pribadi, meskipun memberikan banyak pelajaran kehidupan dan mampu menguras air mata, novel “ibuk” ini sempat membuatku merasa bosan pada beberapa bagian. Cara penyampaian yang berupa catatan kehidupan sempat terasa monoton dan tidak menimbulkan “greget” saat membaca.

Di samping itu nyaris tak ada konflik besar yang disuguhkan dalam cerita. Menurutku terlalu datar untuk novel dengan ketebalan hampir 300 halaman, sehingga bukan jenis novel yang bisa diselesaikan dalam sekali duduk. Harus menunggu mood datang untuk mneyelesaikannya.

Sedangkan untuk kelebihannya sendiri terletak pada detil cerita. Penulis berhasil menggambarkan situasi dan kondisi yang dialami tokoh-tokohnya. Di samping itu, Iwan Setyawan memiliki kekuatan story telling yang sangat natural, riil sehingga mampu membuat pembaca tertegun kemudian mengambil pelajaran.

Lepas dari kekurangan dan kelebihan novel dari sudut pandangku secara pribadi, novel ini bisa dibilang sukses dan laris bahkan telah lima kali naik cetak sejak cetakan pertama pada tahun 2012.

Aku sendiri pun langsung tertarik untuk membelinya hanya dalam sekali pandang. Sekali lagi menurut pendapatku secara pribadi sih, pemilihan judul yang begitu singkat dan spesifik justru menjadi daya tarik tersendiri bagi buku ini. Bahkan langsung menemukan “pasar” bagi calon pembelinya.

Baca juga: “Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya”-Rusdi Mathari

Data Buku

Judul: ‘ibuk”

Genre: Novel

Penulis: Iwan Setyawan

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: Cetakan kelima tahun 2017

ISBN: 978-602-03-2998-7

Harga: Rp78.000,00

41 thoughts on “Review Novel “ibuk”- Novel Best Seller Iwan Setyawan”

  1. Aku justru suka lho buku yang gak ada konflik besar. Hmm karena apa ya asik aja gak terlalu mainkan emosi. Dulu aku juga pernah nanya di forum kenapa setiap cerita (tulisan)harus ada konflik, hehe.. Padahal jelas ya kalo gak ada ya gak akan seru. Tapi gimana dong aku gak suka konflik. Wkwkw… Makanya gak bakat nulis fiksi. Aduh malah jadi komen curcol. Maap2… Intinya melihat hal ini aku suka buku “ibuk”.

    Reply
  2. Banyak yang bisa diambil dari cerita didalam buku “Ibuk” ini ya mbak, aku jadi penasaran pengen baca si buku ini deh. Sudah lama juga hobi bacaku tak tersalurkan lagi, hiiikkkssss… Ternyata buku Ibuk ini sudah naik cetak sampai 5 kali ya.

    Reply
  3. Kalau dilihat dari judulnya pasti banyak banget pelajaran yang bisa diambil dari “Ibuk” ini. Secara, ya, anaknya saja sekarang sudah jadi “orang”. Kisah-kisah mengharukan pun takkan terelakkan, ya, Mbak. Duh jadi penasaran 🙂

    Reply
  4. Hmm, novel agak berat gini memang butuh ketenangan saat membacanya ya mba. Tapi kayake emang banyak nilai moral yang bisa diambil. Nek aku tipe sing moco harus konsntrasi jadi mgk bisa beberapa minggu atau bahkan bulan huat ngerampungke buku semacam ini. Btw covernya teduh dan adem, potone juga ciamik.

    Reply
  5. Aku liat cover bukunya kok langsung berasa sendu, jadi ingin baca juga buku Ibuk ini. Aku juga lagi suka baca buku yang temanya keluarga juga, kayanya novel Ibuk ini cocok banget yaa buat bacaanku sekarang apalagi jumlah halamannya juga tak begitu banyak ya ternyata, bisa tamat dalam sekali duduk

    Reply
  6. Cerita yang mengandung unsur keluarga selalu sanggup menyeret-nyeret perasaanku. Apalagi kalau di sana diceritakan tentang ujian sebuah keluarga namun mereka tetap solid menjalaninya dengan penuh cinta. Setidaknya itu menjadi bagian dari keluarga yang selalu aku inginkan. Sesulit apapun, tetap bersama-sama. Susah senang dijalani dengan cinta.

    Setuju, Mbak. Judulnya punya pesan kuat dalam mewakili isi sebuah novel. Bikin penasaran ada apa dengan sosok ‘Ibuk’ itu.

    Reply
  7. Baca review ini, aku ko jadi pingin baca “Ibuk”.
    Review Mbak Damar berhasil membuatku membayangkan Sim & Tinah yang bahu membahu dalam pelayaran hidup keluarga mereka. Kalimat “Air matanya membuat garis-garis hidup semakin indah”, rasanya menyentuh.

    Reply
  8. Penulisnya cowok toh? Aku sekarang jarang baca novel. Harus niat banget nih…Kan engga bias sekali duduk bacanya. Tapi menarik reviewnya. Pengen tahu gimana endingnya juga sih…

    Reply
  9. Dari review nya, yuni sudah yakin banget cerita ini memang akan mengharu biru. Kesederhanaan keluarga, tekad kedua orang tua yang ingin memberikan pendidikan untuk anak-anaknya. Sungguh, Yuni bisa membayangkan hal itu. Cerita ini sepertinya menarik untuk dijadikan pelajaran hidup bagi Yuni, sebelum benar-benar melewati fase itu.

    Reply
  10. Judul yang simpel dan mudah diingat, konon justru jadi satu kekuatan dan daya tarik tersendiri. Terbukti dengan buku Ibuk ini, ya? Ceritanya menarik, tapi sepertinya saya ga bisa sekali duduk juga buat menyelesaikan novel seperti ini.

    Reply
  11. Kayaknya permasalahan yang diangkat benar-benar keseharian dan banyak ditemukan di sekitar kita, ya? Jadi pengen baca…

    Reply
  12. 300 halaman lumayan tebal ya Mba bukunya. Setuju sih kalo konfliknya minim dengan jumlah halaman segitu pasti agak susah nyelesainnya. Aku tipe tipe penyuka novel yang banyak konflik, bakal butuh berminggu kayanya baca novel seperti ini hihi

    Reply
  13. Saya malah penasaran dengan cara Tinah mendidik anak-anaknya. Bagaimana dia bisa mengatur semuanya di kondisi perekonomian yang sulit. Well, saya yakin di dalam cerita Tinah dan Sim ada banyak hikmah yang bisa kita ambil, ya, mbak.

    Kelebihan penulis yang bisa menceritakan setiap detil peristiwa dan keadaan, biasanya membuat saya gak bisa sebentar membaca novel itu. Saya senang membayangkan setiap hal yang dideskripsikan oleh penulis. Pastinya saya bakalan lama selesai bacanya, hihihi

    Reply
  14. Memang, begitu membaca judulnya aku udah mengira bahwa novel ini rasanya bakal sarat dengan nilai nilai kehidupan. Ternyata benar ya. Hidup yang penuh perjuangan dan pengorbanan dilalui oleh seorang ibuk. Duhai ibu, kekuatanmu mengalahkan segalanya, bahkan seisi dunia sekalipun. Salut

    Reply
  15. Baca judul, blurb, serta sinopsis novel ibuk, jadi teringat dengan perjuangan ibu sendiri untuk kehidupan dan sekolah anak-anak tercinta

    Reply
  16. Judulnya sangat singkat, ya mbak. Ibuk.
    Kalau baca review Mb Damar, seperti nonton film dokumenter mungkin ya mbak, buku ini.
    Tapi sarat akan pesan moral kemungkinan yang membuat buku ini jadi berhasil tercetak berkali-kali.
    Nice review mbak.

    Reply
  17. Aku malah seneng buku santei, gpp gak ada konflik. Kadang aku baca novel cari cara penyampaian penulisnya alias belajar kalimat yang dibangun hehe. Eh iya, kalo aku ke toko buku dan nemu buku berjudul Ibuk gini pasti langsung berakhir di kasir. Singkat bikin penasaran 🙂

    Reply
  18. Lagi-lagi perjuangan rumah tangga ya mbak. Ada tawa ada sedih. Ditambah kepintaran ibuk yang meskipun serba pas-pasan bisa handal dalam mengurus segala keperluan keluarga. Bisa dijadiin contoh banget buat kehidupan riil. Karena gak selamanya kita hidup cukup, ada kalanya kita hidup di bawah. Bisa jadi referensi buku saat waktu senggang nih

    Reply
  19. Belum baca yang ini. Baru yang judulnya Dari Kota Apel ke Great Apple. Tapi sudah jatuh suka dengan tulisan Iwan Setyawan.

    Reply
  20. hmm.. dengan cerita detail tapi flat, sangat disayangkan ya
    padahal aku terpesona dengan kalimat pembuka dirimu di sini :

    “sebuah pesta kehidupan yang dipimpin oleh seorang perempuan sederhana yang perkasa. Tentang sosok perempuan bening dan hijau seperti pepohonan yang menutupi kegersangan, yang memberi napas bagi kehidupan.”

    Novel berjudul ibuk, ini secara garis besar bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga yang kurang mampu namun tidak menyerah dalam menata masa depan anak-anak mereka. Tapi kalau lebih digarap lagi, mungkin konflik seperti kesuksesan Bayek harus dikurangin dikit…

    Ritme alur cerita ditulis begitu cepat dalam novel ini, sehingga emosi pembaca kurang ‘greget’, ya .. Seandainya, penulis menarasikan kisah ini lebih lengkap, mungkin novel ini akan sangat berkesan. Tapi bagaimanapun, saya sangat mengidolakan tokoh Ibuk dan Bapak.

    Reply
  21. Seandainya, penulis menarasikan kisah ini lebih lengkap, mungkin novel ini akan sangat berkesan. Tapi bagaimanapun, saya sangat mengidolakan tokoh Ibuk dan Bapak.

    Reply
  22. Novel seperti ini, kalau aq butuh waktu untuk kelarinnya. Kayak yang novel Pakcik Andrea Hirata, entah yang terakhir terasa berat dan belum aq sentuh. 🙁
    Untuk novel yang nggak ada konflik besar dan cenderung datar, storytelling-nya itu perlu ya dikuatin.

    Reply
  23. menarik mbak. dilihat dari covernya terlihat sederhana dengan dasar warna toska. Mungkin bisa jadi referensi kalau pengen cari novel bertema family. Thanks sudah berbagi

    Reply
  24. Ini sudut pandang novelnya pakai org ketiga dan cerita ttg sosok ibu gtu ya?
    Penasaran pelajaran RT apa aja yang bisa dipetik dari novel ini. Hahaha udah nunggu mood buat nyelesein, trus nyari2 waktu pula wkwkw 😀
    Entahlah apa ku bia membaca novel ini. Jd tolong bisikin aja endinge piye? 😀

    Reply
  25. Novel yang mengena nih. Terlebih Tinah dan Sim memiliki 5 orang anak. Seperti orang tuaku. Berjuang membesarkan putra putrinya di tengah keterbasan ekonomi yang makin menghimpit. Tapi tekad dan keyakinan harus kuat agar anak2nya bisa sekolah agar tidak ada yg seperti Tinah lagi.

    Benar-benar menceritakan kehidupan nyata nih.

    Reply
  26. Judul novelnya simpel bnget. Tapi kebayang isinya akan mengajarkan banyak hal ke yang mbaca.. pelajaran hidup sebagai orang kecil ya mba.

    Tapi aku suka fiksi2 yang ceritanya realistis2 gini mba. Sip!

    Reply
  27. Judul novelnya simpel bnget. Tapi kebayang isinya akan mengajarkan banyak hal ke yang mbaca.. pelajaran hidup sebagai orang kecil ya mba.

    Tapi aku suka fiksi2 yang ceritanya realistis2 gini mba. Sip! Jadi ingat…aku lama e nggak mbaca novel

    Reply
  28. Kadang konflik sederhana tapi sangat mengena itu yang dibutuhkan saat membaca novel non-fiksi.
    Untuk ledakan, cukuplah membaca endingnya. Bagaimana si penulis mengakhiri kisahnya dengan smooth.
    Ibuk.
    Sosok yang paling anak rindukan dan mengenangnya, membuat hati ini dilimpahi berjuta kata rindu.

    Reply
  29. Oh ini mas Iwan yang nulis 9 Summers 10 Autumns, ya? Beliau pernah jadi narsum, bahas tentang story telling. Memang kekuatannya di situ kali ya. Novelnya yang 9 Summers kan inspired by his life.

    Reply
  30. 300 halaman kalau memang disajikan ga ada konflik atau konfliknya sedikit cenderung bosan mba seperti novel yang pernah kubaca 500 halaman settingnya ga luas, konfliknya hanya ada pas terakhir2 dan persis seperti mba Damar aku baca tergantung mood jadinya wkwkwk..

    tapi aku penasaran deh akhirnya gimana nih Tinah? pengen beli jaidnya

    Reply
  31. Membaca novel-novel yang bersentuhan dengan kehidupan kita, bikin kita berkaca juga ya mbak. Apa masalahnya, bagaimana solusinya. Apakah sesuai atau tidak

    Reply
  32. Sepertinya buku ini bisa untuk mengenang masa kecil ketika masih berjuang. Makan dengan lauk telur yang dipotong menjadi beberapa bagian agar cukup untuk semua anggota keluarga. Menghadirkan kembali sosok ibuk yang kuat dan perkasa yang mampu membuat rumah menjadi tempat ternyaman di dunia.. Jadi kangen rumah dan orang tua..

    Reply
  33. Kayaknya memang baguuus ya, Mbak..baca ulasan Mbak bikin tambah tertarik. Sy suka novel-novel dengan tema semacam ini. Konflik nggak berat kayaknya bikin kurang greget.. Hihi.

    Jadi ingat juga zaman kecil, penting makan nasi, penting sekolah. Jajan apalagi jalan-jalan mah nggak masuk list

    Reply
  34. Wah baru kali ini aku bisa nangis baca novel alurnya bagus banget penuh makna penuh pelajaran hidup dan penuh dengan realita hidup saat ini, makasih ya buat penulisan mudah mudahan bisa membuat karya lebih bagus lagi. Novel ini berkesan banget

    Reply

Leave a Comment