Dalam hati, mungkin kita bertanya-tanya, seperti apakah rumah dengan suasana positif itu? Apakah suasana rumah yang banyak memberikan cinta pada kita? Apakah yang bisa memberikan rasa aman? Atau, yang mampu membuat kita didengar dan mau mendengarkan?
Elvis Presley dalam salah satu lagunya menyebut, “Home is where the heart is”. Begitu vitalnya peran sebuah rumah — home, hingga ia menyebut bahwa rumah adalah tempat di mana hati kita ada di sana. Judul lagu dari penyanyi legendaris ini kemudian juga sering dijadikan quote, atau justru sebaliknya, quote dulu baru dijadikan lagu, entahlah karena aku enggak tahu pastinya. Yang jelas, selarik kata ini kemudian sering digunakan untuk merujuk “tempat” di mana kita menitipkan hati. Entah itu rumah dalam artian “home” atau “house“
Tapi begitulah, makna rumah baik sebagai bangunan fisik atau “tempat di mana jiwa kita berada”, sudah semestinya memiliki atmosfer positif bagi penghuninya. Mengingat rumah adalah tempat pertama untuk belajar segala hal. Rumah adalah madrasah atau sekolah yang utama, begitu kata-kata yang sering kubaca atau dengar.
Rumah yang memiliki atmosfer positif dipercaya mampu menumbuhkan anak-anak yang bahagia. Enggak peduli seberapa kokoh bangunan fisiknya. Entah rumah kontrakan atau milik sendiri. Sebuah rumah idealnya mampu memberikan rasa nyaman bagi penghuninya. Khususnya bagi seorang anak yang sedang memulai petualangan kehidupan.
Sebelum melanjutkan tentang bagaimana menciptakan rumah dengan atmosfer positif, aku ingin berbagi sedikit cerita tentang rumah yang menyebabkan seseorang kurang mendapatkan kenyamanan di dalamnya. Sebagian orang yang kukenal menyebutnya dengan rumah yang tidak menghadirkan “jiwa” di dalamnya.
Contents
hide
Rumah tanpa “Jiwa”
Beberapa poin berikut ini kucatat melalui sharing ringan bersama mereka. Orang-orang yang tidak mendapatkan makna rumah sebagai home pada kehidupan masa lalunya. Hal-hal yang kemudian mereka putuskan tidak akan pernah terjadi lagi bagi anak-anak mereka.
- Rumah yang “tidak menghadirkan” orangtua dalam keseharian anak. Raganya ada, tapi jiwanya tidak selalu bersama.
- Tidak mampu memberikan dukungan, cenderung tidak peduli setiap perkembangan yang dialami penghuninya. Hingga akhirnya memunculkan perasaan worthless dalam diri anak.
- Tidak berkontribusi untuk membentuk sikap bangga atas pencapaian sekecil apapun. Sehingga melemahkan kepercayaan diri.
- Tidak mampu memberikan model tentang bagaimana seharusnya menjalin hubungan an menyikapi suatu permasalahan di masa depan
- Rentan menimbulkan depresi dan berakibat kurang harmonisnyahubungan antar penghuninya.
Hanya sebagian dan poin-poin tersebut mungkin masih bisa berkembang luas. Mengingat begitu beragamnya masalah dan pengalaman setiap orang dengan suasana rumah masing-masing. Tapi, setidaknya yang sedikit tersebut bisa menjadi pegingat untuk kita — orangtua — bahwa sedikit pun enggak ada keuntungan dari bersikap abai pada keluarga.
Pengalaman Masa Kecil yang Tak Sempurna
Masa kecilku mungkin tak sesempurna kebanyakan anak seumurku. Bisa dibilang, di awal aku pun sedikit kesusahan ketika ingin menciptakan suasana rumah yang ideal untuk anak-anakku, karena enggak memilikipengalaman itu.
Tumbuh bersama seorang ibu — single parent— dan hidup dengan tiga saudara perempuan, membuat perkembangan emosiku sempat kurang stabil. Aku selalu merasa menjadi perempuan merdeka, mandiri, enggak suka diatur-atur sehingga membuatku sedikit bermasalah dalam menjalin hubungan.
Di samping itu, aku dibesarkan dengan didikan keras. Nada bicara ibu tinggi dan cenderung enggak bisa dibantah kalau sudah berpendapat. Itu juga yang sempat membuatku susah menghargai pendapat orang lain. Butuh proses yang enggak sebentar sampai akhirnya aku mampu menumbuhkan sisi lain dari diriku.
Tapi, di antara pengasuhan dan suasana rumah yang kurang ideal, aku masih bersyukur karena menemukan satu-satunya kenyamanan. Iya, rumah adalah satu-satunya tempat untuk menumpahkan segala keluh kesah. Secapek apapun, ibu selalu memberi kesempatan untuk saling berbagi cerita. Jam makan malam biasanya menjadi waktu yang ideal. Tapi jangan dibayangkan kami bercerita sambil duduk mengelilingi meja makan, karena kami nggak punya. Di mana pun kami duduk, setiap orang diberi kesempatan untuk menceritakan apa saja yang dialaminya dalam sehari. Satu per satu secara bergantian.
Ibu memang susah dibantah. Kalau sudah A, ya A. Waktu luangnya juga enggak banyak sehingga enggak bisa intens satu per satu dengan keempat anaknya. Tapi, setidaknya setiap hari kami didengarkan. Meskipun tak lama, ia berusaha ada. Utuh, jiwa dan raganya untuk kami berempat. Itu sebabnya sampai sekarang pun kami selalu bercerita apapun kepadanya.
Cara Sederhana Menciptakan Suasana Positif di Rumah
Pengalaman masa kecil mendorongku menciptakan suasana lain untuk anak-anak. Aku ingin DuoNaj enggak perlu mengalami masa kecil ibunya yang “istimewa”. Meskipun nggak kupungkiri, pengalaman itu enggak sepenuhnya negatif. Aku justru menemukan celah untuk bertahan dalam berbagai ujian hidup.
Tapi, kalau bisa yang berbeda, mengapa tidak? Beruntung suamiku adalah bastian noor pribadi yang tumbuh dalam model pengasuhan yang berkebalikan denganku. Untuk itu, aku pun mulai mengkombinasikan model pengasuhan keluarga masing-masing. Tentu saja dengan sedikit modifikasi, mengingat anak-anak sudah tidak hidup di zaman orangtuanya lagi.
1. Berhati-hati dengan kata dan nada bicara
Masa depan anak-anak sangat berkaitan dengan citra diri dan harga diri yang dimilikinya. Dua hal ini berkaitan erat dengan lingkungannya, yaitu keluarga dan teman. Untuk yang berkaitan dengan lingkungan luar — teman, sudah pasti kita enggak bisa mengendalikan sepenuhnya. Mengingat begitu beragamnya karakter di masyarakat. Tapi apa yang terjadi dalam lingkup keluarga sudah semestinya ada dalam kendali orangtua.
Rumah dan keluarga adalah pondasi yang membentuk anak. Kata-kata yang dipilih orangtua dan nada bicara yang digunakan adalah 2 hal yang terus melekat, bahkan di bawa ke mana pun nantinya. Apa yang orangtua ucapkan mewakili perasaan pada anak. Sudah positifkah? Atau cenderung melemahkan?
Begitu pula dengan intonasi atau nada bicara. Belajar saling merendahkan suara merupakan cara untuk menghargai orang lain. Kebiasaan ini dapat berdampak positif pada pembentukan karakter anak. Sebaliknya, nada suara yang terlalu tinggi hanya akan dibalas sama. Lalu, apa yang terjadi jika anak-anak membawa hal ini keluar rumah?
Aku sadar betul dunia ini dibangun dengan bahasa dan segala citra. Pemilihan kata sangat memengaruhi citra diri seseorang. Begitu pula cara dia bereaksi dalam hubungannya di masyarakat kelak.
Baca juga: Tantangan Parenting dengan Threenager
2. Dukungan dan penerimaan yang positif
Ketika orangtua dihadapkan pada dua skenario anak sedang belajar berenang, kira-kira situasi mana yang memberikan dampak positif pada anak?
- Anak berani masuk ke kolam renang, orangtua sudah sangat excited. Anak mampu melakukan satu atau dua gerakan di air, kita menghadiahinya dengan jempol dan tepuk tangan. Anak belum mampu melakukan apapun, orangtua tetap mendampingi dengan mensugesti positif.
Atau
- Ketika anak ketakutan untuk masuk ke air, orangtua enggak berusaha mensugesti anak. Ketika berulang kali anak takut, orangtua justru memaksa. Ketika pada akhirnya enggak ada perkembangan, orangtua ikut-ikutan menyerah.
Situasi ini pernah kuhadapi saat memasukkan Najwa ke sekolah renang. Awalnya Najwa sangat takut air. Prosesnya pun lumayan lama, hampir satu tahun kalau enggak salah ingat. Tapi aku bersyukur, semua itu kami lewati bersama-sama.
Lama dan sangat melelahkan. Kadang pun aku merasa hampir menyerah. Tapi lekas-lekas kutepis perasaan itu dengan penerimaan positif untuk ketakutan yang dirasakan Najwa. “Ibu tahu kamu takut, tapi di sini ada ibu dan ayah yang selalu mendukungmu sampai bisa,” begitu kira-kira yang kami ucapkan kala itu.
3. Membangun mindset positif
Rumah dengan suasana positif enggak bisa dipisahkan dari penghuni yang memiliki mindset positif juga. Dimulai dari hal-hal kecil seperti melihat kondisi fisik dengan positif, menggunakan kata-kata positif sampai akhirnya menanamkan pada anak bagaimana berperilaku dan menyikapi realita hidup dengan segala permasalahan yang harus dihadapi. Tentunya dengan penyelesaian-penyelesaian yang positif juga.
Di luar rumah, sekali lagi kita memang enggak bisa mengendalikan hal-hal seperti ini. Umpatan, bullying, perilaku negatif dan sebagainya, maka hanya ada satu solusinya yaitu dengan memperkuat pondasinya dari rumah.
4. Menunjukkan rasa “butuh” kehadiran anak
Umumnya anak yang membutuhkan kita. Bagaimana jika situasinya dibalik? Tunjukkan bahwa kita membutuhkan anak-anak. Gunakan cara-cara sederhana, seperti mengajaknya bermain dengan sepenuh hati seolah orangtua selalu menantikan saat-saat ini. Ajak ngobrol sembari jajan es krim. Atau, menghabiskan waktu hanya untuk saling berbagi perasaan. Baik orangtua maupun anak, enggak ada salahnya, kan, jika saling curhat?
Kebiasaan ini akan sangat efektif untuk menciptakan suasana positif di rumah dan membangun hubungan khusus antara orangtua dengan anak. Kelak, anak-anak juga nggak perlu merasa canggung untuk bercerita banyak hal pada orangtuanya, karena terlanjur menjadi kebiasaan. Akibatnya timbullah hubungan saling percaya, saling butuh. Di situlah fungsi rumah sebagai home menjadi kenyataan.
5. Menjadi model untuk perilaku yang orangtua harapkan
Cara orangtua berbicara, bertingkah laku bahkan bagaimana memperlakukan orang lain, semuanya adalah model perilaku yang sedang direkam anak. Lebih berhati-hati itu harus, meskipun nggak perlu juga mengubah diri menjadi orang lain. Cukup bersikap wajar dan terkontrol. Tapi pastikan tidak melakukan hal-hal negatif, minimal di depan anak-anak.
Poin terakhir ini memang enggak gampang, sih. Sampai sekarang pun kadang aku masih kecolongan. Tapi aku sadar emang nggak bisa simsalabim jadi apa prok prok prok. Pelan-pelan yang penting konsisten dan terus memperbaiki diri.
Saat menerapkan satu hal baru dalam urusan parenting, aku selalu menanamkan bahwa enggak ada orangtua yang sempurna. Setiap hari kita mencari tahu mana yang baik dan sesuai untuk keluarga kita. Enggak ada pula rumah tangga yang super ideal. Yang ada hanyalah yang mau atau enggak mau mengusahakan kehangatan di rumahnya.
Begitu pun dalam hal menciptakan suasana rumah yang positif. Enggak perlu muluk-muluk dan memasang target sempurna. Prosentasenya cukup 80 sampai 90 persen saja di antara kondisi hectic dan tantrum yang setiap hari menjadi tantangan. Tapi tetap yakin dan mau mengusahakan. Karena rumah dengan atmosfir positif berkontribusi besar dalam membangun kecerdasan emosional dan keterampilan anak untuk mengkomunikasikan diri pada lingkungannya.
Jadi teladan..itu syusyaah memang, keselip dikit aja anak-anak langsung niru dan itu kalau keterusan ya bablas…Suka dengan ulasannya, karena rumah adalah awalnya, Jika sudah beraura positif tentu akan melebar ke banyak hal yang positif juga
Rumah itu tempat awal kita belajar & sebaiknya orang tua me jadi role model yg baik bagi anak2. In shaa Allah aura.positif akan timbul.
Bagus banget, mbak. Terima kasih ya, aku banyak belajar banget dr sini
Yes emang sih mba gak mudah tapi bukan berarti gak bisa ya. Siap mba tulisan ini mengingatkan banget untuk hati2 berprilaku kepada anak. Makasih mba sharingnya.
ya betul sekali mbak Damar, menciptakan kondisi senyaman mungkin agar anak-anak betah dirumah adalah tugas orang tua. Sayang banget kalau anak lebih memilih berada diluar bersama teman-teman sebayanya karena suasana rumah yang kurang nyaman
Aku pingin anak betah di rumah, main sama mamah Dan ayahnya, menciptakan memory yang indah semasa kecilnya
ya, kita sebagai orang tua harus bener bener berhati hati dihadapan anak. aku punya teman, kedua orang tuanya biasa berkata kasar dan buruk. anaknya yang berusia belum genap 2 tahun kalau main sama temannya ikut berkata kasar. Astaghfirullah