September Ceria dalam Harap dan Kenangan

Satu setengah bulan menjelang kelahiran anak kedua, suami memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya. Saya ingat betul, pagi itu 1 September 2014 ketika ia menyampaikan sudah tidak lagi bekerja di tempat lama, dan pada hari yang sama ia memutuskan memulai segalanya dari awal. Sebagai istri, saya sempat merasa risau dan was-was. Apalagi kami akan segera memiliki anak kedua yang berarti akan bertambah pula tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 

Tapi, saya mantap mendukung keputusannya. Saya sangat yakin keputusan ini tidak diambil dengan serta merta. Tapi telah dipikirkan dengan matang dan ada rencana besar yang mungkin telah disusunnya.
Maka sejak hari itu, kami berusaha menyesuaikan diri dengan segala hal yang baru. Selain lebih cermat dalam mengatur keuangan keluarga, kami pun menjadi lebih selektif dalam memilah antara kebutuhan dan keinginan. Tidak hanya suami, saya pun mulai membiasakan diri dengan ritme pekerjaan suami yang semakin tak menentu.
Tanpa kantor secara fisik, bahkan jam kerja pun seringnya sangat “ajaib”. Gaji bulanan? Nilainya tentu saja masih sangat minim. Sedangkan aneka fasilitas dan tunjangan untuk karyawan, nampaknya saat itu hanya ada dalam khayalan kami. Semua itu harus kami lalui karena suami sedang “babat alas” merintis kantor hukum yang hingga hari ini menjadi bagian dari kehidupan kami.
Hingga dua pekan berlalu sejak kami masih berusaha berdamai dengan situasi yang baru. Pagi hari 17 September 2014 saya mengalami flek yang disusul pegal dan nyeri di daerah panggul. “Ya Alloh, semoga bukan hari ini,” begitu batin saya waktu itu. Selain usia kandungan yang belum cukup, saya sempat was-was karena belum juga suami menerima gaji yang pertama.
September 2014, saat Najib baru berusia beberapa hari.
Tapi, seperti halnya kematian, jodoh dan rezeki, perkara kelahiran sepenuhnya menjadi hak prerogatif Tuhan. Bisa jadi manusia berpikir ini belum saatnya, tapi bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin jika Ia sudah berkehendak. Maka pada malam 17 September 2014, melalui operasi secar yang tidak direncanakan, tangisan anak kedua kami memecah segala kekhawatiran. Kami yakin setiap anak lahir membawa rezekinya sendiri. Maka hari itu juga kami yakin bahwa garis takdir yang baru telah ditorehkan untuk keluarga kami. September kami pun serasa lengkap dan ceria. Tak ada resah apalagi ragu menghadapi hari-hari dengan segala kemungkinan baru yang tak dapat kami kira-kira.

Setiap September Selalu Punya Cerita

Bukan hidup namanya jika perjalanan kami mulus-mulus saja.  Pasang surut adalah hal biasa, yang sebenarnya membentuk karakter tangguh bagi setiap pasangan. Maka kami pun tak luput dari keduanya. Ada kalanya kehidupan terasa lancar, tapi beberapa saat kemudian ujian datang menghadang.
September 2015 yang merupakan ulang tahun pertama bagi Najib harus kami lalui dengan sedikit air mata. Tabungan terus menyusut hingga ujian sakit mau tak mau membuat September kami berbeda. Tawa kami tak lepas seperti sedia kala, meskipun kami pastikan tetap ceria karena setiap milestone Najib dan Najwa yang begitu menggembirakan. Begitu pula dengan karier suami yang secara bertahap mulai terang.
Tentu saja kami pernah merasa lelah. Kami hanya manusia biasa yang tak luput dari sifat egois dan berjuta keinginan. Ada saatnya kami menginginkan percepatan. Tapi, ternyata Tuhan berkehendak kami berproses dan melalui setiap September yang selalu berwarna.
Setiap tahun, setiap September selalu punya cerita. Tapi kami harap September kami selalu ceria.
Tahun ini September keempat yang kami harap selalu ceria. Setiap pertambahan usia Najib, setiap itu pula pertambahan usia di kantor tempat suami bekerja. Melihat setiap kemajuan yang ada di sana, yang begitu selaras dengan milestone Najib yang semakin menakjubkan, maka bolehlah kami berharap September tahun ini pun akan kembali ceria. 
Kalaupun nantinya ada kemungkinan yang tak dapat kami prediksi datangnya, anggap saja itu hanyalah bentuk kejutan dari Tuhan. Agar kami lebih mawas, agar kami lebih tanggap dengan segala peringatan, agar kami lebih berani tertawa dalam kesulitan. Karena sebenarnya bahagia itu sederhana saja, maka tak perlulah kami menambah rumit keadaan. Biarlah September kami selalu ceria, baik tahun ini, 4 tahun yang lalu, atau tahun-tahun yang akan datang.
Artikel ini ditulis untuk memenuhi tatangan postingan tematik Pasukan Blogger JA yang bertema “September Ceria”

11 thoughts on “September Ceria dalam Harap dan Kenangan”

  1. Memulai bisnis baru memang membutuhkan kesiapan mental ya, Mbak. Aku mengalaminya betul sekarang ini. Terbiasa punya gaji sisa-sisa, tapi sekarang harus betul-betul dihemat. Di satu sisi jetlag secara ekonomi, di sisi lain aku bahagia anak-anak terpantau dengan baik. Selama terus saling mendukung InsyaAllah semua bisa dilalui dengan baik ya, Mbak. Salam sayang untuk anak-anak.

    Reply
  2. yeay, ntar lagi peringatan hari lahir najib ya mbak.duh, baca ini jadi ikutan was-was mbak, secara aku juga lagi hamil anak kedua.semoga hari-hari kita selalu ceria ya mbak. :8

    Reply
  3. Wah, hampir sama dengan yg saya alami mba. Saya tau betul gimana rasanya ketika pak su tetiba resign. hmmm… deg degan padahal lagi hamil anak kedua juga dulu. Tapi seperti yang mba Damar bilang, hidup, mati, jodoh, rejeki sudah diatur semua sama Allah, kita mah hanya menjalani. Bukankah Ujian itu berbanding lurus dengan kemampuan kita. Ini sih kata Ustad Babe haikal hehehe terima kasih sudah berbagi mba. Semoga kita selalu ceria.

    Reply
  4. Happy birthday buat Najib, bentar lagi ulang tahun ya. Senangnya, semoga selalu ceria seperti bundanya nya. Aku juga seneng banget nih September ini, banyak kejutan Tuhan datang.

    Reply
  5. Najib, met milad ya Nak. Ultahnya sama kayak tante Septi. Duo Naj harus bersyukur karena lahir dari orang tua hebat dan kuat. Setiap anak memiliki rejekinya masing2, noted!!!

    Reply

Leave a Comment