Sharing is Caring (Oleh-oleh Kopdar Indscript)

“Menulis merupakan keahlian, bukan sekedar bakat terpendam. Keahlian ini harus terus diasah sehingga bisa disebut expert. Begitu pun mengenai tips menulis yang paling efektif, mudah dan masuk akal adalah, terus saja menulis. Menulis … Menulis … Dan menulis.”
 
Credit pict to. Handayani Abd. Widiatmoko
Jakarta masih dingin saat suami mengantarkan saya dan Najib ke agen travel jurusan Bandung pada Minggu pagi, 19 Maret 2017 yang lalu. Najib bahkan masih terlelap dalam mimpi-mimpinya. Jangankan mengganti bajunya, saya langsung mengangkatnya dari tempat tidur dan menggendongnya menuju Jatiwaringin.
Kami bergegas karena jam jam telah menunjukkan pukul 5 pagi, sedangkan saya telah melakukan booking untuk jadwal keberangkatan pukul 6. Begitulah hidup di Jakarta, satu bahkan dua jam sebelum jadwal yang ditentukan, kami harus sudah berangkat dari rumah. Khawatir terkena macet atau gangguan lainnya yang tidak terduga.
Pukul 6 tepat, saat travel jurusan Bandung yang membawa saya, Najib dan seorang penumpang lain melaju menuju kota Kembang. Eksklusif sekali bukan? Hanya tiga penumpang dalam mini van yang berkapasitas 10 orang. Jalanan lancar, hingga tak terasa 1,5 jam kemudian kami telah berhenti di agen pusat, daerah Cihampelas. 
Jalan-jalan di Braga Sambil Menunggu Jadwal Kopdar
Masih terlalu pagi ketika sampai di bandung, maka saya pun memutuskan mengajak Najib berkeliling Jalan Braga. Berjalan-jalang sebentar saja, karena Najib terlihat masih letih, sehingga kurang bersemangat. Hingga akhirnya tepat pukul 9 kami pun menuju tempat acara Kopdar Penulis Indscript. Di Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo di Jalan R.E. Martadinata, atau biasa disebut Jalan Riau.
Rupanya kami pelanggan pertama, rumah makan pun belum buka sepenuhnya. Beberapa karyawan masih terlihat berbenah dan membersihkan area restoran. Kami numpang beristirahat sekaligus membersihakn diri sembari menunggu pesanan sarapan datang.
Terus terang, sebenarnya saya tidak ada acara lain di Bandung. Jadi kedatangan kali ini murni hanya untuk bertemu dengan teman-teman senior di Indscript. Saya pun belum semuanya kenal secara personal. Tapi saya pikir justru inilah saatnya berkenalan dalam dunia nyata. Dan saya yakin akan banyak ilmu yang dapat dibawa sebagai oleh-oleh saat kembali ke Jakarta.
Bertemu Penulis Senior di Jaringan Indscript
Menjelang pukul 10, satu-persatu ibu-ibu penulis mulai berdatangan. Yang pertama kali saya kenal jelas Mbak Winny yang memang sudah sering saya ikuti sepak terjangnya melalui facebook. Kemudian disusul Mbak Dedeh sambil menggendong putrinya yang baru berusia 1 tahun. Wah, mengejutkan sekali. Ternyata Mbak Dedeh masih punya balita, tapi produktifnya luar biasa. Sampai kagum saya dibuatnya.
Tak berapa lama, datanglah bu Ana dan Bu Sri. Bu Ana merupakan salah satu alumni Sekolah Perempuan, sedangkan Bu Sri adalah  penulis produktif pada zamannya. Mengapa saya bilang pada zamannya, karena setelah berumah tangga Bu Sri hampir tidak pernah menyalurkan hobinya tersebut. Beliau menyampaikan karena sibuk dengan segala printilan rumah tangga yang tak ada habisnya. Tapi kini, setelah putra-putranya beranjak dewasa. Beliau kembali menulis di blog pribadi, dan Kompasiana pun tak luput dijajalnya.
Credit pict. to Handayani Abd Widiatmoko
Ibu-ibu atau agar lebih akrab saya menyebutnya teman-teman penulis terus berdatangan. Mbak Hanny yang sangat produktif menerbitkan buku, Mbak Fenny Kapten Emak Pintar Bandung, Mbak Natasha yang terkenal dengan produk Seblaknya, Mbak Larasati teman di Juragan Artikel, Teh Santi Rosmala ownber Gerai Rosmala, produsen pakaian syar’i.
Tak berapa lama kemudian cikgu Anna Farida yang sampai hari ini masih menjabat Kepala Sekolah Perempuan datang bersama Mbak Vie Chan dan Mbak Chika Chief Editor Indscript. Mereka semua rata-rata berdomisili di Bandung. Saya pun sempat kagok dengan panggilan Teteh yang lebih akrab mereka gunakan. Bahkan berkali-kali roaming karena obrolan dalam bahasa Sunda.
Acara santai yang dikemas sharing menjelang makan siang ini berjalan lancar, gayeng dan sangat produktif. Saya rasa lebih dari 3 jam pun masih banyak yang bisa didiskusikan. Nah, bukan sharing namanya kalau tak membawa segudang manfaat. Khususnya bagi saya yang pemula, masih tertatih sehingga butuh banyak ilmu untuk membuka wawasan. 
Kali ini saya ingin membagikannya di sini, sekaligus sebagai dokumentasi dan pengingat.
Jangan Biarkan Waktu Terbuang
Jangan sampai waktu terbuang untuk social media
Sharing dari cikgu Anna Farida tentu saja sangat saya nantikan. Hal ini juga yang membuat saya tergerak melawan malas menempuh perjalanan pulang pergi Jakarta-Bandung. Pada kesempatan pertama, cikgu Anna langsung menekankan tentang waktu. Jangan sampai waktu kita terbuang percuma akibat distraksi sosial media dan obrolan di WA.
Beliau bahkan membuat perumpamaan, jika obrolan di WA tersebut di copy paste ke word, kemudian dihitung, mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan kata yang kita tuliskan. Padahal, kerap kali menulis artikel 500 kata saja saya beralasan nggak sempat. Hahaha … Ketauan banget ya, kalau hobi bikin alasan.
Untuk itulah beliau menekankan untuk pandai-pandai me-manage waktu dan membuat skala prioritas. Selain kemauan dan komitmen yang ada dalam diri masing-masing, calon penulis harus pandai mengatur waktu sehingga tidak ada yang terbuang percuma.
Tetap Menulis Saat Mentok Ide Sekalipun
Free Writing selama 10 hingga 15 menit saat mengalami mentok ide
Selain malas atau tidak punya waktu, alasan mentok ide kerap kali dijadikan kambing hitam. Duduk bengong selama bermenit-menit di depan laptop, ternyata bukan cara yang tepat untuk menemukan inspirasi menulis yang selalu dinantikan.
Cikgu Anna menjelaskan, menulis tidak hanya melibatkan gerak otak, tapi juga gerak badan yaitu menggerakkan tangan. Maka, saat berada dalam kondisi mentok ide.  Cikgu menyarankan untuk tetap menulis apa saja, sekalipun hanya curhat atau mengumpat. Metode ini biasa disebut free writing. Menulis bebas selama 10 atau 15 menit, tanpa jeda ataupun mengedit naskah.  Kebiasaan seperti ini dipercaya dan terbukti dapat melenturkan tangan yang tentunya berimbas pada kebiasaan menulis dan datangnya inspirasi secara tak terduga.
Jeli Melihat Peluang Pendapatan di Bidang Menulis
Jeli melihat peluang di bidang menulis
Jika pada awalnya aktivitas menulis merupakan hobi atau upaya untuk terapi jiwa. Maka tidak ada salahnya melirik peluang penghasilan di bidang kepenulisan. Tentu saja jika teman-teman telah mendapatkan feel dan komit melakukan aktivitas ini sebagai salah satu rutinitas harian. 
Seperti yang cikgu Anna bilang, menulis merupakan keahlian, bukan sekedar bakat terpendam. Keahlian ini harus terus diasah sehingga bisa disebut expert. Begitu pun mengenai tips menulis yang paling efektif, mudah dan masuk akal adalah, terus menulis saja. Menulis … Menulis … dan menulis.
Peluang penghasilan di bidang penulisan tidak hanya melalui penerbitan buku. Profesi sebagai blogger, content writer dan ghost writer merupakan peluang yang tidak bisa di kesampingkan begitu saja. Mengenai hal ini telah dicontohkan Teh Vie Chan dan Mbak Winny yang telah meraup rupiah dari pekerjaan me-maintain web sekaligus menjadi content writer-nya.
Tapi jangan salah ya, meskipun namanya menulis di web, bukan berarti pekerjaan ini bisa asal comot dari berbagai sumber yang ada. Misalnya Mbak Winny yang harus mengikuti beberapa training untuk menunjang pekerjaan yang diterimanya dari seorang klien. Soal nilai kontraknya sih, tak perlu ditanya lagi. Sepadan lah dengan usaha yang dilakukan. Jadi benar ya, hasil selalu berbanding lurus dengan proses yang dilakukan.
Selain jeli melihat peluang yang ada, Teh Vie Chan menambahkan untuk waspada dengan banyaknya penipuan di dunia kepenulisan. Ya, hampir sama dengan berbagai profesi lain yang ada. Dalam dunia kepenulisan pun banyak oknum tak bertanggung jawab yang melakukan penipuan. Selesai ambil karya, transfer tak pernah dilakukan. 
Sebenarnya masih ada beberapa hal lain yang kami bahas dalam pertemuan tersebut. Tapi, sepertinya akan saya buat dalam blog post lain saja. Agar lebih mendetil pembahasannya. 
Credit pict to. Santi Rosmala
Nah, jadi banyak banget ya, yang harus dipelajari ketika memutuskan untuk total di dunia kepenulisan. Tapi, tentu saja, langkah awalnya adalah menulis terlebih dahulu. Menulis … Menulis dan terus menulis hingga jam terbang dan portofolio kita cukup untuk ditawarkan.
Tepat pukul 18.30 ketika saya menginjakkan kaki kembali di rumah. Jangan ditanya lelahnya, tapi saya bersyukur Najib sama sekali tidak rewel selama perjalanan. Malam itupun kami tertidur lelap hingga pagi subuh menjelang.

1 thought on “Sharing is Caring (Oleh-oleh Kopdar Indscript)”

  1. Engga nyangka yaah…ternyata kita pernah satu frame. Halah…
    Berkat ngeblog, jadi satu grup. Pokoke nulis…nulis…nulis…

    Reply

Leave a Comment