“Sabtu Bersama Bapak”-Sebuah Novel yang Membuatku Iri pada Cakra dan Satya

“Sabtu Bersama Bapak” memang bukan novel baru. Buku ini pertama kali terbit pada tahun 2014, kemudian kembali dicetak sampai lima kali pada tahun yang sama. Mengagumkan! Laris manis dengan suguhan cerita yang sangat manis sekaligus humanis.

Novel ini pun kemudian diangkat ke layar lebar. Aku yakin Teman-teman pasti sudah tidak asing dengan kisah di dalamnya. Tetapi, tidak begitu halnya denganku yang baru memutuskan untuk membacanya pada akhir tahun 2019.

Antara, ya atau tidak, akhirnya kuputuskan mengadopsi preloved “Sabtu Bersama Bapak” dari Teh Efi Fitriyah. Sebelumnya bukannya aku nggak tahu tentang novel ini. Tetapi, aku belum yakin bakal sanggup membacanya, hingga akhirnya mengurungkan niat selama lima tahun sejak novel ini pertama kali diterbitkan.

Sinopsis “Sabtu Bersama Bapak”

Secara garis besar, “Sabtu Bersama Bapak” mengambil latar cerita tentang sebuah keluarga yang terdiri dari, Bapak, Ibu dan dua orang anak lelakinya. Jalan ceritanya sendiri sangat sederhana. Mengalir seperti halnya cerita dalam kehidupan sehari-hari dan dilengkapi dengan drama kehidupan yang sangat realistis.

Ada cerita tentang seorang Bapak yang ingin mendampingi tumbuh kembang kedua anak lelakinya dari tahun ke tahun. Ia tak ingin melewatkan setiap fase kehidupan mereka dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan. Ia ingin mendidik anak-anaknya tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki. Ia ingin selalu berada di sampinging mereka dengan caranya sendiri.

Ada pula kisah dua bersaudara laki-laki yang meskipun berasal dari rahim yang sama tetapi memiliki karakter dan perjalanan hidup yang sangat berbeda. Si Kakak yang rupawan dan sering berganti pacar ternyata sempat bermasalah dengan kehidupan pernikahannya. Sedangkan Si Adik yang memiliki karier gemilang ternyata urung menemukan calon pendamping hidupnya.

Yang tak kalah menarik adalah kisah seorang ibu yang berjuang membesarkan kedua anak laki-lakinya sebagai orangtua tunggal. Seorang Ibu yang tidak hanya tangguh hingga sukses mengantarkan kedua anak lelakinya meraih masa depan gemilang, namun juga mampu menyimpan rasa sakit di balik teduh sikapnya. Kisah “Perempuan Perkasa” seperti ini memang sudah jamak di masyarakat, namun selalu menarik untuk dijadikan pelajaran hidup, khususnya bagi sesama perempuan.

Kesan setelah Menamatkan “Sabtu Bersama Bapak”

Sabtu bersama bapak 2

Jujur meskipun sangat terlambat untuk membacanya, tapi aku tidak kehilangan sedikit pun pesan yang mendalam dalam ceritanya. Seperti dugaanku aku harus berhenti beberapa kali karena nggak kuat menahan air mata. Bahkan pada bagian “blurb”-nya saja aku sudah langsung berkaca-kaca.

Membaca “Sabtu Bersama Bapak” membuatku kembali merasakan kehilangan sosok Papa. Aku pun sempat merasa iri pada Cakra dan Satya, yang meskipun tak cukup lama merasakan kasih sayang bapaknya. tapi setidaknya mereka tak pernah kehilangan sosok Bapak. Bapak selalu ada untuk mereka di setiap hari Sabtu, setiap pergantian usia mereka, dan setiap fase kehidupan keduanya.

“Sabtu Bersama Bapak” juga banyak menyadarkanku tentang apa yang sudah dan belum kusiapkan untuk kedua anakku. Memang benar,jodoh, hidup dan mati adalah rahasia Illahi, tugas kita sebagai manusia hanyalah menyiapkan segalanya kemudian berserah pada ketentuan-Nya.

Namun, persiapan di sini memang tak sekedar amal ibadah yang kelak dibawa mati. Bukan sekedar harta benda untuk diwariskan pada keluarga. Namun nilai-nilai kehidupan, kasih sayang, waktu bersama keluarga, hal-hal seperti ini memang sering kali luput dari perhatian. Dan rasanya aku perlu mengacungkan jempol pada Aditya Mulya untuk ide orisinalnya dalam “Sabtu Bersama Bapak” yang sangat brilliant!

Bagian yang Menarik dari “Sabtu Bersama Bapak”

Harus kuakui ide pengarang dalam menyajikan pesan moral dalam novel ini sangat tidak biasa, melalui media yang digambarkannya dalam video berseri yang dibuat seorang ayah untuk anak-anaknya. Entahlah, mungkin saja novel ini mewakili kegundahan hati penulis tentang segala sesuatu yang bisa saja terjadi dalam kehidupan ini. Atau bisa juga dari pengalamannya pribadi. Bahkan bisa juga terinspirasi dari kisah-kisah di sekitarnya.

Selain itu aku suka cara Aditya Mulya membuat dialog-dialog jenaka. Bahasanya ringan, natural dan lucunya nggak dipaksakan. Beberapa halaman memang sempat membosankan, tapi kemudian penulis berhasil menarik kembali perhatian pembaca melalui konflik dan humor ringan.

Secara keseluruhan aku suka “Sabtu Bersama Bapak”. Nggak apa-apa telat baca karena aku nggak pernah cari spoiler-nya. Jadinya tetap berkesan dan berhasil bikin sesenggukan.

Anyway, berikut kulampirkan blurb dan data bukunya ya. Thanks for reading 😊.

Data Buku

Judul: Sabtu Bersama Bapak

Penulis: Adhitya Mulya

Terbit: 2014

Genre:Novel

Penerbit: gagasmedia

Jumlah halaman: 278 halaman

Blurb

Ini adalah sebuah cerita. Tentang seorang pemuda yang belajar mencari cinta. Tentang seorang pria yang belajar menjadi pria dan bapak yang baik. Tentang seorang ibu yang membesarkan merek dengan penuh kasih. Dan…, tentang seorang bapak yang meninggalkan pesan dan berjanji selalu ada bersama merek.

 

 

 

 

29 thoughts on ““Sabtu Bersama Bapak”-Sebuah Novel yang Membuatku Iri pada Cakra dan Satya”

  1. Jadi rindu baca novel, selama ini lagi stop buku-buku fiksi dulu, ternyata 5 kali cetaknya di tahun pertama ya, dulu pun gak sempet nonton filmnya. Boleh deh nanti aku coba cari bukunya buat baca. Terima kasih review nya Mba.

    Reply
  2. Aku belum pernah baca bukunya mbak, baru liat yang versi filmnya. Ngena banget. Kalau buku pasti lebih ngena. Boleh nih, aku masukin ke list buku yang harus aku beli.

    Reply
  3. Luar biasa berarti ya sampai berkali – kali cetak ulang.

    Makin menegaskan bahwa quality time, meskipun tidak lama akan sangat dikenang oleh anak dan punya dampak signifikan. Masya Allah.

    Reply
  4. Aku udah nonton pilemnya, dan meweeeekkk bgt saban lihat penmpakan si Bapak di video.
    Ya Allah, BANGGA BANGET ada sosok ayah seperti beliau ya
    Kalo novelnya, daku blum baca 🙂

    Reply
  5. Aku nonton filmnya aja nangis. Makanya nggak berani baca bukunya, takut mewek. Idenya mungkin tidak terlalu baru, tapi gaya berceritanya menarik dan dia lihai menyelipkan pesan moral dengan cara yang sangat sederhana tapi ngena. Duuhh mpe bingung aku ngomongnya.

    Reply
  6. Aaaaah Damar aku merinding bacanya. To be honest aku lebih suka versi novelnya daripada filmnya. Ya mungkin karena keterbatasan durasi ya, jadi ga semua part bisa diangkat ke layar lebar. Salah satu novel terbaik yang pernah ku baca. Gaya tuturnya ringan tapi sarat makna dan sampai ke hati

    Reply
  7. Wah aku udah lama ga baca novel, apalagi yang berhubungan sama bapak kayak gini Terus aku baca artikel mbak Damar aja aku pengen nangis ga tau kenapa mungkin kangen bapak. Tapi emang kadang novel lebih bisa membuat kita berimajinasi sih ya daripada filmnya

    Reply
  8. aku penasaran jadinya baca ini. Filmnya pun ga nonton waktu itu duh…cerita yang sarat makna dan jadi rminder buat kita. Sudahkah menyiapkan nilai-nilai kehidupan terbaik untuk anak-anak di masa depan yang bisa tetap mereka pegang ada atau tiada kita nantinya

    Reply
  9. Dari film Sabtu Bersama Bapak aja udah ikutan baper, apalagi kalau baca novelnya ya ..
    Sepertinya harus meluangkan waktu supaya bisa baca novelnya.

    Reply
  10. Saya udah baca novel ini juga, dan udah nonton filmnya. Suka sama alur ceritanya yang beda. Tapi kalua disruurh milih saya lebih seneng baca novelnya sih lebih berimajinasi.

    Reply
  11. Aku sempat mengira ada sekuel novel ini, ternyata bukan ya. Tapi novelnya memang bikin baper sih, karena kental dengan pesan yang tertulis maupun dalam bentuk video. Penokohan dan karakter dalam cerita juga kuat, masing-masing memiliki kisah tersendiri. Ternyata udah lima tahun yah usianya novel ini, ada lanjutannya gak sih?

    Reply
  12. Suamiku keknya beli novel ini tapi aku blm baca haha 😀
    Penasaran nih pengen baca sendiri jadinya mumpung lagi self lockdown hahaha
    Ternyata kyknya konflik tokoh2nya banyak yaa, penasaran gmn cara nyambunginnya di novel itu 😀

    Reply
  13. Jadi makin penasaran setelah membaca review mbak damar. Aslinya saya tahu filmnya dulu, trus pengen beli bukunya tapi belum jadi aja dan gak nemu-nemu sih, hehe. Enaknya nonton filmnya dulu apa baca bukunya ini ya? Makin bingung deh

    Reply
  14. Btw aku punya bukunya sejak lama, tapi ya kayaknya belum kubaca hehehe.. payah ya. Baca reviewmu ini bikin aku sukses merasa bersalah enggak baca dari dulu. Harus segera direview juga nih.
    Aditya Mulya kalau bikin cerita pasti keren ya.

    Reply
  15. Aku sampai lupa, udah berapa kali membaca novel ini. Tapi ya gitu, udah belasan kali baca pun, tiap kali baca lagi ya masih aja cengeng. Masih sesenggukan.

    Sama sepertimu, Mbak, ada rasa iri juga sama Cakra dan Satya. Nggak semua orangtua bisa mencurahkan bentuk kasih sayang seperti itu. Selalu ingin ada bersama putra-putranya hingga dewasa, memberi nasehat, mengingatkan bahwa suatu ketika mereka akan menjumpai masalah tertentu. Gila memang idenya.

    Di kisah nyata, aku penasaran sih, ada nggak orangtua yang sengaja merekam video seperti Bapaknya Cakra dan Satya itu.

    Reply
  16. Baca artikel ini aja aku dah mbrambang, inget Papahku. Kenangan bersama beliau tuh selalu ada di relung hati. Walaupun beliau udah lama engga ada. Apalagi baca bukunya yah? Jangan-jangan bercucuran juga…

    Reply
  17. Suka nih, novel yang begini. Banyak pelajaran hidup yang bisa diambil. Selama ini hanya membaca review dari novel ini. Jadi pengen juga membacanya sendiri

    Reply
  18. Aku kok moco review mu wae meh mbrebes to mba? Kebayang nek moco sampe tamat. Btw ceritanya mirip sama aku yang punya anak cowok 2 hihihi… kayaknya harus banyak belajar jadi ibu tangguh ki.

    Reply
  19. Kalau baca novel sejenis Sabtu Bersama Bapak, saya biasanya gak cukup baca satu kali. Seringnya baca berulang kali di bagian yang menurut saya menarik dan bisa diambil pelajaran.

    Reply

Leave a Comment