Ibu dan Ancaman Burnout di Masa Pandemi

Hai, Semua! Apa kabar?

Tak terasa hampir dua tahun mendampingi belajar daring dari rumah. Bagaimana nih, Buibu dan Pakbapak, masih sanggup menggantikan peran guru di rumah?

Khususnya Ibu-ibu nih, karena berdasarkan beberapa survei yang saya baca, sekitar 80% Pembelajaran Jarak Jauh mengandalkan ibu sebagai penanggung jawab utama. Bukan berarti bapak tidak bertanggung jawab, ya, karena sudah semestinya jika pendidikan seorang anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Namun, sebagian keluarga memang lebih banyak membagi peran pengasuhan pada perempuan (ibu), karena kewajiban memenuhi nafkah yang wajib dilakukan oleh para bapak.

Selain itu, bagi anak-anak yang berusia lebih kecil seperti anak-anak saya, mereka mengaku lebih nyaman diajari oleh ibunya karena dianggap lebih telaten, kreatif, dan siap menjadi ‘Ibu Peri’. Meskipun, tak jarang juga ibunya ini mengeluarkan ‘tanduk’ jika kegiatan sekolah daring nggak kunjung selesai, ditambah pekerjaan rumah yang memanggil-manggil minta diberesi.

Ya, meskipun masa pandemi ini membuat saya harus jungkir-balik membagi waktu sebagai ibu, guru, freelancer, pedagang online,  istri, dan perempuan yang hobi membaca ngopi dan berkhayal, awalnya saya tetap berusaha melakukan semuanya dengan maksimal. Sambil berharap dapat menjadi ibu yang sempurna meskipun kenyataannya  semua itu hanya impian semata.

Sebulan, dua bulan, sampai setahun pertama sekolah daring semua berjalan dengan baik-baik saja. Namun, belakangan ini selepas pandemi melewati ‘anniversary’ yang pertama, rasa-rasanya saya mulai lelah, jenuh, bahkan bosan mengasuh anak-anak.

Saya sempat merasakan ada yang salah dalam diri saya. Saya mengalami gejala kecemasan yang berujung sakit-sakitan. Saya pun berinisiatif untuk memeriksakan diri ke dokter dan mendapatkan diagnosa mengalami gangguan stres, namun sudah pada level dua yaitu kelelahan dan kecemasan berlebih, atau disebut burnout.

Burnout itu Apa?

Kita pasti sering mendengar burnout alias stres dengan pekerjaan. Misalnya, ketika merasa bosan dengan pekerjaan di kantor yang begitu-begitu saja. Atau, tertekanan dengan tuntutan pekerjaan yang terlalu besar.

Nah, ibu-ibu yang mengalami  burnout juga menghadapi kondisi yang kurang lebih sama. Biasanya hal ini dikarenakan pekerjaan rumah yang monoton dan tidak ada habisnya, kegiatan mengasuh khususnya yang masih memiliki anak kecil sehingga terasa sangat menguras tenaga. Belum lagi ditambah tanggung jawab sebagai pekerja, pebisnis, istri, dan juga menggantikan peran guru selama sekolah daring.

Kondisi ini diperparah dengan himpitan ekonomi selama pandemi yang mau tak mau membuat seorang ibu berusaha lebih cermat mengatur keuangan. Di satu sisi, kita butuh anggaran rekreasi semacam beli lipstik (yang warnanya itu lagi itu lagi) agar hati tetap senang meskipun di rumah saja. Namun di sisi lain, pos kebutuhan utama seperti pangan, kesehatan, pendidikan dan kuota belajar  harus mendapatkan prioritas agar aktivitas tetap lancar.

Dalam kondisi tidak biasa seperti sekarang ini, wajar jika seorang ibu mengalami kelelahan fisik dan mental, cemas, kemudian menunjukkan tanda-tanda perubahan perilaku yang signifikan. Misalnya saja, seorang ibu yang biasanya manis, lembut dan memesona, tiba-tiba saja menjadi lebih sering mengomel dan marah-marah, jengah dengan pengasuhan, kemudian larut dalam kesedihan. Bahkan, tidak sedikit yang menyalahkan diri sendiri.

Beberapa perubahan perilaku diyakini sebagai penyebab burnout pada ibu. Apa sajakah itu?

Penyebab Burnout pada Ibu

1. Aktivitas yang monoton.

Pada umumnya, sebagian besar ibu-ibu melakukan aktivitas yang terus berulang mulai dari membuka mata di pagi hari hingga malam kembali. Rutinitas itu tidak jauh-jauh dari pekerjaan rumah tangga, mengasuh, pekerjaan kantor bagi yang bekerja kantoran, atau urusan bisnis bagi mompreneur, mengurus keperluan suami dan anak-anak, ditambah menjadi guru semua mata pelajaran selama anak-anak berada dari rumah.

Awalnya kegiatan yang terus berulang ini terasa seperti rutinitas yang wajar karena sadar bahwa ini semua adalah konsekuensi atas pilihan menjadi orang tua. Namun, pada suatu titik akan timbul perasaan bosan dan jenuh. Hal ini wajar jika segera disadari, kemudian dicari solusinya. Namun jika perasaan bosan tersebut berkelanjutan dan tidak mendapatkan penanganan, hal ini dapat menimbulkan masalah baru.

2. Ekspektasi berlebihan

Setiap ibu pasti pernah berharap menjadi ibu yang sempurna untuk anak-anaknya. Wajar, saya pun masih sering mengharapkannya. Pada umumnya seorang ibu memang memiliki ekspektasi berlebih tentang dirinya, ia ingin menjadi makhluk yang serba bisa, bahkan dapat diandalkan setiap saat.

Seorang ibu juga sering kali menuntut terlalu banyak pada dirinya sendiri. Padahal, kebiasaan ini sangat berbahaya karena jika ia tidak dapat memenuhinya, maka ia akan merasa kesal kemudian menyalahkan diri sendiri.

Perasaan bersalah seperti ini jika dibiarkan terus-menerus bisa menjadi penyebab burnout pada ibu. Apalagi jika datangnya tuntutan tidak hanya dari diri sendiri, misalnya dari pihak keluarga besar atau teman. Tekanan demi tekanan yang datang silih berganti dapat menyebabkan masalah mental pada ibu.

3. Minimnya dukungan dari orang terdekat.

Dukungan dari orang terdekat bisa datang dari suami, keluarga, atau teman. Seorang ibu yang merasa ‘sendiri’ cenderung mengalami ketidakstabilan emosi yang berpotensi memicu gangguan psikologis.

Tanda-tanda Burnout yang Dialami Ibu

Jika diperhatikan secara seksama, tanda- tanda burnout pada ibu dapat diketahui dengan jelas, baik oleh ibu itu sendiri, maupun oleh orang-orang terdekatnya. Beberapa di antaranya yaitu:

  1. Mulai menutup diri dari orang lain.
  2. Kehilangan minat terhadap hal-hal yang disukai.
  3. Sering merasa sedih, putus asa, tidak berdaya.
  4. Perubahan nafsu makan dan berat badan.
  5. Mengalami gangguan tidur.
  6. Rentan mengalami sakit.
  7. Mudah lelah secara fisik dan mental.
  8. Ingin menyakiti diri sendiri.
  9. Mudah marah pada orang lain.

Cara Mengatasi Burnout pada Ibu

Menurut wejangan yang saya peroleh dari dokter, dan terapis dalam sesi konsultasi psikologis yang pernah saya ikuti, pada dasarnya gangguan mental yang berupa burnout pada ibu dapat ditangani sendiri, sebelum memutuskan untuk mencari bantuan medis.

Beberapa cara yang dapat dilakukan misalnya seperti:

1. Mencari dukungan dari orang terdekat.

Dukungan dari orang terdekat sangat dibutuhkan oleh ibu, salah satunya dari suami. Bentuk dukungan tersebut bisa beragam, misalnya dengan memberikan kasih sayang, karena bagi sebagian besar pasangan yang telah berumah tangga selama bertahun-tahun, mereka sering lupa untuk saling berbagi energi kebaikan. Baik dalam bentuk berbagi kasih dan sayang, mengajak ngobrol, meluangkan waktu untuk saling mendengarkan permasalahan masing-masing. Selain itu, dukungan juga dapat diberikan dalam bentuk membantu pekerjaan istri.

2. Memanjakan diri sendiri.

Memanjakan diri sendiri tidak selalu berarti bermalas-malasan. Memanjakan diri sendiri dapat dilakukan dengan mengambil jeda dari pekerjaan rumah tangga yang monoton dan membosankan, kemudian melakukan hobi atau hal-hal yang disenangi. Misalnya, berolahraga, membaca, bermain musik, menulis,  menjahit, atau menggambar.

Melakukan hal-hal yang kita senangi dapat menjadi tambahan energi bagi diri sendiri karena menyadari bahwa diri ini masih ada, utuh, dengan segala hal yang kita senangi.

3. Istirahat cukup.

Saya pernah berada pada kondisi di mana 24 jam terasa tidak cukup untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Ketika bangun sebelum subuh saya sudah dihadapkan dengan pekerjaan rumah tangga yang tidak tuntas pada hari sebelumnya. Belum lagi pekerjaan rumah tangga yang baru, tugas daring anak-anak, deadline menulis, juga rekap orderan dari bisnis saya.

Meskipun sudah bangun pagi-pagi, saya tetap merasa tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk beristirahat. Padahal saya bekerja dengan manajemen waktu yang sudah diatur dengan sedemikian rupa, namun tetap saja saya mendapatkan jatah istirahat hanya pada sisa waktu.

Setelah melewati masa sulit dengan gangguan emosi yang berwujud burnout, saya memutuskan untuk merombak aktivitas harian. Saya sengaja meluangkan waktu untuk beristirahat, baik pada siang maupun malam hari. Sengaja berhenti beraktivitas pada jam-jam yang telah saya tentukan, meskipun pekerjaan rumah tangga masih juga belum dapat saya tuntaskan. Dengan istirahat yang cukup, saya merasa lebih segar baik secara fisik maupun pikiran.

4. Jauhi orang-orang yang negatif.

Hidup di lingkungan sosial yang beragam mau tak mau membuat kita harus bertemu berbagai tipe manusia. Orang-orang yang negatif biasanya datang dengan tuntutan dan kritikan namun minim solusi. Mereka hanya senang berkomentar buruk tentang kekurangan kita dalam menjalankan peran sebagai ibu dan wanita. Misalnya mengkritik cara mengasuh, pekerjaan rumah tangga, atau kondis fisik dan mental kita. Demi kebaikan, sebaiknya menghindar dan menjauhi orang-orang seperti ini agar kita tetap sehat secara mental.

4. Ikhlas.

Meskipun terdengar klise, namun ikhlas berimbas positif pada kondisi kejiwaan kita.  Ikhlas juga tidak mudah dilakukan, dan perlu dilatih hingga mencapai tahap ikhlas yang tidak sekedar di mulut saja. Namun kemampuan jiwa untuk melepaskan apa saja yang tidak lagi berada dalam kendali kita.

Mempraktikkan ikhlas sangat membantu membuang segala ganjalan dalam hati dan pikiran. Ikhlas juga sangat melegakan sehingga hidup lebih ringan karena menyadari tidak semua hal ada dalam kendali manusia.

5. Mencari bantuan profesional.

Jika dirasa sulit untuk mengatasi gangguan burnot pada diri kita, maka tidak ada salahnya meminta bantuan tenaga medis profesional seperti psikolog atau dokter. Bahkan jika merasa kurang nyaman dengan sesi konsultasi tatap muka, kita dapat menggunakan aplikasi meditasi dan konseling online seperti Riliv karena menyediakan ruang privasi bagi penggunanya.

Aplikasi meditasi dan konseling online Riliv menyediakan fitur “Hening” yang cukup dilakukan dengan duduk, mendengar, dan merasakan kedamaian dalam jiwa. Fitur “Hening” dapat dilakukan secara rutin selama kurang lebih 10 menit setiap hari. Namun bermanfaat untuk mengontrol stres, cemas, dan overthinking sehingga dapat meningkatkan kekebalan tubuh.

Tersedia juga layanan “Konseling” yang menyediakan kenyamanan sesi curhat tanpa khawatir mendapatkan penghakiman dan mendapatkan solusi. Sesi konseling online bersama Riliv sangat membantu menyelesaikan peliknya pemasalahan ibu dengan memberikan sudut pandang yang lebih positif. Sesi konseling online ini dapat membantu menyelesaikan permasalahan dalams sebuah hubungan, pekerjaan, bahkan pengembangan diri.

Nah, layanan yang berikutnya merupakan layanan favorit saya yaitu Riliv Lelap. Layanan ini seolah membawa saya pada masa kanak-kanak saat ibu meninabobokkan saya. Riliv Lelap dapat membantu memperbaiki kualitas tidur yang terbukti berpengaruh terhadap kesehatan mental ibu.

Kabar baiknya, semua layanan dari aplikasi meditasi dan konseling online Riliv cukup diunduh melalui Play Store, atau App Store.

Tanpa disadari ternyata gangguan burnout pada ibu tidak selalu disebabkan oleh masalah besar, namun sangat mungkin diawali dari aktivitas sehari-hari saja. Untuk itu kita perlu mewaspadai setiap perubahan kecil pada diri kita, baik secara fisik, juga psikis. Berikan perhatian pada perubahan suasana hati yang terlalu tiba-tiba, dengarkan suara hati kecil kita. Karena ibu bukanlah robot, maka berikan kesempatan pada tubuh dan jiwa untuk beristirahat dan memperbaiki ‘kerusakan kecil’ yang diakibatkan oleh lelah fisik dan psikis yang setiap hari mendera.

Semoga bahagia untuk kita semua.

 

Referensi:

  1. Konsultasi pribadi dengan dokter dan terapi psikologis.
  2. https://tirto.id/kenali-tanda-ibu-mengalami-burnout-dan-cara-menanganinya-f8ka
  3. riliv.co
  4. Ilustrasi menggunakan Canva Pro.

 

6 thoughts on “Ibu dan Ancaman Burnout di Masa Pandemi”

  1. Istilah Burnout ini makin meningkat aja, apalagi pas pandemi. Baik pekerja, Ibu yang diam di rumah atau pun anak sekolah pasti pernah mengalaminya ya, sangat wajar banget.
    Gpp, aku pun pernah mengalaminya beberapa waktu yang lalu, cukup dengan menyadari kalo aku sedang burnout dan mengakuinya lalu mbil langkah untuk melepaskannya dan mencuptakan hal2 yang baru kadang aku pun minta bantuan tim dokter/psikiater untuk mengatasinya kalo memang ga bisa sendiri.

    Emang Riliv ini sangat bagus banget , membantu mereka yang membutuhkan konseling onlen.

    Reply
  2. Aplikasi Riliv ini membantu kita untuk lebih nyaman ya fiturnya aku jadi pengen coba.. Selama pandemi memang terasa lelah dan mudah marah akhirnya nyadar itu bisa jadi burnout ya

    Reply
  3. Ah apa yang aku rasakan sekarang juga seperti itu mba.
    Ingin rasanya balance antara urusan blog, rumah dan anak tapi setelah dijalani kok berat.
    Jadinya selama pandemi, aktifitas ngeblog saya jadi berkurang jauh, karena saya bener-bener jaga stamina ngga pengen ambruk sakit di tengah pandemi gini.
    Sebagai gantinya, saya sesekali masih suka blogwalking buat baca tulisan teman-teman.

    Bagaimana pun juga ibu juga harus punya waktu untuk dirinya sendiri, supaya ngga jenuh di rumah terus ngurusin bocils kaya saya.
    Untung sekarang ada Riliv ini, bisa meditasi di rumah dan kosultasi sama ahlinya

    Reply
  4. Saya sering merasakan burn out. Jadi mudah marah dan pusing. Apalagi jika realita sangat jauh dari harapan dan ga ada yg bantu

    Reply
  5. Burn out ini bisa jadi berawal dari stress yang bertumpuk yang tidak ditangani ya. Untung sekarang banyak aplikasi penyedia layanan konseling online seperti rilif ini ya mbak. Jadi bisa segera mencari solusi dengan meskipun dari rumah.

    Reply
  6. aku berasa bangeet mba burnt out-nya.. soalnya work from home malah membuat jam kerja jadi tak terbatas huhuhu. Tapi sekarang sudah ketemu ritmenya sih

    Reply

Leave a Comment