Dini hari,12 Desember 2020. Tak terasa delapan belas hari lagi hingga menutup 2020.
Tahun ini telah menjadi salah satu tahun terberat dalam tiga puluh enam tahun kehidupan saya, sekaligus dalam sepuluh tahun pernikahan kami.
Tahun 2020 ini saya tidak berani untuk membuka kembali rencana dan target-target yang pernah saya torehkan menjelang akhir 2019 yang lalu. Semuanya ambyar, bahkan saya merasa daya juang pun merosot tajam di tahun pandemi ini. Khususnya untuk pencapaian di dunia menulis.
Saya pernah merencanakan untuk menulis secara rutin selama 365 hari di tahun 2020 ini.
Realitanya, sebulan kadang hanya menulis 4 hingga 12 tulisan saja. Jauh dari ekspektasi awal.
Saya juga sempat merencanakan kembali mengasah nyali di dunia kompetisi menulis.
Namun lagi-lagi rencana hanyalah tinggal rencana. Tak ada sedikit pun gairah untuk mewujudkannya.
Terkadang saya merasa rindu dengan debaran kalau kompetisi menulis masih rutin saya ikuti. Saya juga enggak munafik, kadang kangen juga dapat transferan karena tulisan saya diganjar menjadi pemenang.
Tentang Semangat
Kalau sedang flashback pada tahun-tahun yang telah berlalu, khususnya 2017-2019, saya sering berpikir tentang mahalnya sebuah semangat.
Saya pernah sedikit nekat melakukan riset dan hunting foto untuk mengikuti beberapa perlombaan. Memang yang paling berkesan adalah ketika memenangkan Writingthon Asian Games 2018 yang lalu, di mana saya didaulat sebagai bloger perwakilan DKI Jakarta. Kapan lagi gitu, nonton Opening Ceremony Asian Games kalau nggak pas di negeri sendiri. Nontonnya bareng bloger perwakilan 34 provinsi pula. Duduk di kursi VIP seharga 5 juta. Ditambah akomodasi untuk 5 hari dan transferan hadiah plus uang transportnya. Lengkap, kan? Bahkan menurut saya sungguh berlebihan.
Saya sadar itu semua belum tentu terjadi jika saya tidak mendapatkan izin dari suami yang mau menemani saat riset ke berbagai tempat di Jakarta dan GBK. Semua juga tidak mungkin terjadi tanpa kesediaannya momong anak-anak selama 5 hari. Dan tentu saja saya tak mungkin mencicipi 5 hari tanpa rengekan DuoNaj jika saja mereka tidak mau ditinggal.
Kadang saya juga heran, sebagai seorang ibu yang sebenarnya juga nggak selow-selow banget, kok mau-maunya sampai belusukan ke pemakaman tua di daerah Jatinegara Kaum, hanya sekedar untuk meriset tokoh Jakarta Timur.
Pernah juga saya riset bacaan sampai beberapa malam cuma untuk menulis artikel tentang eceng gondok, yang sebenarnya bukan bidang saya banget.
Ya memang sih, semuanya berujung manis. Namun menurut saya yang lebih penitn gitu semangatnya. Tanpa semangat yang saya miliki pada hari-hari itu, tentu saya tidak dapat melakukannya. Semangat yang pada hari-hari ini justru menguap entah ke mana.
Tentang Melemahnya Daya Juang
Mungkin daya juang saya memang mulai melemah. Atau, bisa jadi prioritas saya mulai berubah.
Sekitar tahun 2016 ketika baru merintis blog ini, tujuan saya memang menulis untuk mengisi waktu luang. Memindahkan hobi menulis di buku diary dan mendokumentasikan perjalanan keluarga kami.
Sungguh cita-cita yang sederhana dan jauh dari gemerlap dunia blogging.
Namun saya hanya manusia biasa. Saya pun tergoda untuk mencicipi manisnya berpenghasilan dari dunia menulis. Menjajal sedikit kebanggaan yang berwujud prestasi.
Saya memulai dengan job kecil-kecilan, kemudian mengerahkan segala upaya untuk tulisan yang dilombakan.
Saya sungguh merindukan masa-masa ketika daya juang saya tidak biasa-biasa saja, sebagai ibu, istri dan juga perempuan.
Andai waktu dapat dimampatkan, sungguh saya ingin berlama-lama di masa itu.
Tentang Pilihan yang Bernama Prioritas
Benarkah daya juang diri ini mulai melemah? Ataukah, situasi dan kondisi yang memaksa saya beralih prioritas?
Ya, harus saya akui terkadang situasi dan kondisilah yang menempa daya juang seseorang. Ketika memasuki zona nyaman, daya juang pun seolah melemah. “Ah, cukup begini sajalah.”
Padahal, kalau boleh jujur nih, masih banyak cita-cita yang belum tergapai. Masih banyak impian yang sekedar menghuni ruang pikir. Dan tentu saja masih banyak harapan yang masih sebatas lantunan doa.
Saya mulai berdalih lelah, nggak ada waktu, sibuk momong anak-anak.
Saya sering beralasan, mungkin sudah saatnya berkonsentrasi pada hal-hal lain. Atau, sudah saatnya membagi impian bersama keluarga.
Bukan. Bukan berarti sebelum-sebelumnya saya egois dan mengutamakan cita-cita saya sendiri. Namun ada impian yang lebih besar dari sekedar mengaktualisasi diri. Dan 2020 memaksa saya memilih dalam wujud prioritas.
Memang tak ada yang mudah dalam sebuah pilihan. Toh akhirnya harus dipilih juga, kan? Apapun risikonya.
Saya selalu meyakini setiap manusia ada masanya. Mungkin ini masa-masa saya berdamai dengan pilihan. Mungkin juga sekarang masa-masa saya berdamai dengan zona nyaman—meskipun tidak sebenar-benarnya nyaman.
Saya tetap merindukan masa-masa ketika daya juang tertempa. Namun tak menolak untuk sejenak mengambil jeda. Tak perlu berlama-lama. Cukup sejenak saja :).