“Selamat Panjang Umur dan Bahagia”
Sejak bangun tidur, di Sabtu pagi 17 September lalu. Ibuk, Kakak dan Ayah terus menyanyikan lagu itu. Adik Djati, yang biasanya selalu pecicilan. Pagi ini, agak malu-malu. Berkali-kali minta dipeluk, hanya untuk menyembunyikan wajah lucunya. Hari itu Djati genap berusia dua tahun. Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Bahkan, luka bekas secar masih juga sering terasa nyeri, eee.. si jabang bayi sudah lulus S3 ASI. Buat Ibuk, ini masih seperti mimpi.
Flashback, 2 tahun yang lalu. Ibuk berangkat ke rumah sakit, bersama Kakak dan Ayah, malem-malem naik motor MIO yang super mungil. Tanpa persiapan melahirkan selembar pun. Satu setengah jam kemudian, di sebuah rumah sakit di Jakarta, rejeki yang luar biasa ini dilahirkan dengan selamat dan tak kurang suatu apapun. Djati, bayi yang berkulit kuning bersih, hidung besar, persis seperti Ibunya.
Mengingat kembali, masa-masa kehamilan Djati, Ibu sering merasa sedih. Selama masa peralihan, perekonomian keluarga sedikit terguncang. Memang pada akhirnya ujian itu menjadi pelajaran berharga bagi kami. Namun, setiap kenangan tetap menjadi sesuatu yang memberikan kesan tersendiri bagi kami. Belum lagi, Djati kecil sempat menderita bayi kuning. Otomatis perawatan ekstra harus kami berikan untuk membantu pemulihannya. Sungguh banyak cerita di awal kehidupannya.
Selama dua tahun mengamati tumbuh kembangnya. Tak terhitung jumlahnya, hal positif yang terus membuat kami bersyukur atas segala keterbatasan dalam mengasuhnya. Berkat Djati juga, kami banyak merubah cara mendidik dan berkomunikasi dengan Najwa. Kalau kata orang, pada anak pertama orangtua banyak berhutang, Hutang belajar dan mencoba-coba. Dan itu benar adanya. Maka, kami putuskan untuk memperbaiki sekaligus melengkapi saat memiliki anak kedua. Dan, ternyata menjadi orangtua itu bergurunya justru sama anak.
“Just do it! lakukan dengan hati, sesuaikan dengan kondisi sendiri, karena ini perjalanan saya dengan anak-anak. Yang pasti berbeda dengan perjalanan ibu lain.”
Djati kecil tumbuh menjadi anak aktif. Perawakannya yang cenderung kecil tapi tinggi, membuatnya lincah bergerak. Pada usia 13 bulan, Djati telah berhasil melakukan langkah-langkah pertamanya. Dan, beberapa hari kemudian, mulai mencoba untuk berlari meskipun masih sempoyongan. Kemampuan berbicaranya memang masih jauh jika dibandingkan Najwa pada usia yang sama. Namun, dia sudah mengerti dan mampu untuk menyampaikan maksudnya. Semua anak berbeda, dan kamipun sabar menikmati step by step perkembangannya.
Selain bersepeda roda tiga, sepak bola merupakan salah satu kesenangannya. Dan akhir-akhir ini, Djati mulai menyukai mobil-mobilan, kereta, pesawat, kuda dan sapi. Kami selalu tidak bisa menahan tawa, saat Djati sudah mulai berlagak bak sapi yang sedang marah. Sruduk sana, sini dengan mimik mukanya yang imut, bermata belok dan bibir dimonyong-monyongkan. Ahhh..lelaki kecilku, we love u so much
Dari Djati, kami belajar bahwa hidup harus berani, itu pun yang selanjutnya kami ajarkan pada Najwa, yang cenderung lebih banyak pertimbangan dalam bertindak. Dan kurang berani mencoba hal baru. Sedangkan, bagi saya sendiri sebagai Ibunya. Djati telah memberikan perspektif yang berbeda dalam pengasuhan anak. Tidak terlalu pakem dengan teori dan segala tetek bengeknya. Just do it! lakukan dengan hati, sesuaikan dengan kondisi sendiri, karena ini perjalanan saya dengan anak-anak. Yang pasti berbeda dengan perjalanan ibu lain.