Kota Pelajar yang Membuatku Belajar Kehidupan

Yogyakarta
“Pulang” ke Yogya untuk mendaki Merapi sebelum mengubah status menjadi istri
Pukul 4 sore gerobak kayu sudah didorong menuju tempat biasa mangkal. Di ujung jalan, tepat sebelum belokan menuju pertigaan arah Hotel Ambarukmo, sang istri sudah lebih dulu membersihkan tempat jualan mereka. Menyiram tanah dengan air agar nantinya tak berdebu ketika disapu. Mengumpulkan sampah kemudian memasukkannya dalam tas kresek warna hitam untuk nantinya dibuang bersama sampah sisa jualan.
Beberapa saat kemudian sang suami pun tiba. Maka dengan seksama dihampirinya sang suami untuk membantu menyeberangkan gerobak kayu menuju tempat yang telah disiapkannya. Beberapa kayu dan batu bata telah disiapkan sebagai penyangga gerobak agar tak mudah rubuh ketika pembeli berdesakan. Terpal warna oranye pun dipasang di bagian depan dan belakang gerobak, sebagai persiapan jika sewaktu-waktu Tuhan mengguyurkan airnya dari langit.
Hampir setiap hari saya menyambangi pasangan paruh baya tersebut. Kebetulan, saya nge-kost di salah satu rumah di sepanjang jalan tersebut. Dua bungkus nasi sambal teri, tempe bacem dan es teh biasanya saya bungkus sebagai menu makan malam. Kalau sedang tanggal muda, maka saya tak segan memasukkan sate hati atau bacem kepala ayam ke dalam bungkusan. Makan malam pun terasa nikmat karena saya telah menantikannya sejak 6 sampai 7 jam sebelumnya.
Begitulah hari-hari saya di kota pusatnya angkringan. Ya, maksud saya Yogyakarta. Teman-teman pasti tak asing dengan kota yang  setiap sudutnya selalu membuat rindu siapapun yang pernah tinggal, atau sekedar menjamah keistimewaannya.
Enggak percaya? Teman-teman boleh tanya siapapun yang pernah tinggal atau sekedar plesiran ke sana. Saya yakin sebagian besar dari mereka akan menjawab, “Ya, Yogya memang selalu menghadirkan rindu”.
Kerinduan pada Yogyakarta 
Yogyakarta
Yogyakarta berubah terlalu cepat tapi tak menghilangkan sedikit pun kerinduan untuk selalu ke sana (goodnewindonesia(dot)com)
Kerinduan pada Yogyakarta bukan sekedar pada pesona kota dengan segala keunikannya. Angkringan misalnya, makanan khas yang satu ini sebenarnya bisa saja sewaktu-waktu saya nikmati di Jakarta. Tapi ada yang berbeda ketika menikmatinya langsung di Yogyakarta. Karena cerita dan sebagian besar memori di sana telah membentuk saya menjadi manusia seutuhnya.
Yogyakarta tidak hanya menjadi tempat untuk menimba ilmu. Lebih dari itu, kota ini telah mengajarkan saya bagaimana caranya menjadi berani untuk bertahan hidup. Sebagai mahasiswa dengan jatah bulanan yang super ketat, apalagi yang saya punya selain nekat? Di sinilah Yogyakarta mengajarkan saya untuk hidup dalam kenekatan yang positif. 
Mulai menumpang di rumah teman demi mengirit biaya kontrakan. Berjalan kaki sekitar 4 km pulang-pergi dari tempat tinggal sementara. Hingga jatah makan nasi yang hanya sekali dalam sehari. Semua pernah saya alami demi bertahan dan menuntaskan cita-cita. 
Berjualan dari warung ke warung? Mengajar dengan gaji yang pas-pasan? Meng-handle event dan harus pontang-panting mengumpulkan dana, hingga casual di hotel berbintang? Itu pun pernah saya lakukan. Tapi anehnya, itu semua bisa saya lalui dengan bahagia. Tanpa sedikit pun berkecil hati atau merasa dalam kondisi sengsara.
Belajar dan bergaul dengan orang-orang dari komunitas sastra telah memberikan warna tersendiri dalam pencarian jati diri saya. Berbaur dalam lingkungan yang sangat toleran dan membumi, membuat saya percaya diri untuk hidup apa adanya dan menjadi diri sendiri. Begitu pun halnya dalam menyikapi segala keberagaman yang setiap hari terpampang di depan mata. Otak merespon untuk menghormati dan menjaga toleransi, tanpa perlu membobol ketahanan diri.
Yogyakarta adalah tempat yang melahirkan semangat
Yogyakarta
Semangat itu lahir di tempat dan lingkungan yang tepat
Sastra dan Yogyakarta adalah memori tentang bagaimana semangat dapat memantik keberanian untuk bercita-cita. Bagaimana kemewahan yang berwujud  bahagia tidak sebatas gelimpang fasilitas. Tapi saat menemukan “keluarga” kedua yang memberikan rasa nyaman.
Saya bersyukur, Yogyakarta telah mempertemukan saya dengan orang-orang dengan berbagai latar belakang. Baik daerah, keyakinan, suku bahkan karakter yang beraneka ragam tapi sangat memperkaya batin saya.Saya belajar dari Yogyakarta yang mampu menerima seluruh keragaman, namun tetap memberikan peluang yang sama bagi siapapun yang ingin merebut masa depan. Meskipun pada akhirnya  tak sedikit yang kemudian meninggalkan keramahan kotanya,  seperti halnya yang saya lakukan. Tapi Yogyakarta selalu terbuka, dan mengayomi seluruh pendatangnya dengan kenyamanan yang terus diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.
Bagi saya “pulang” ke Yogya tidak sekedar refreshing karena pesonanya yang kini kian memikat. Tapi  pulang ke Yogya adalah cara me-recharge semangat. 
Menyusuri jalan-jalan setapak yang dulu selalu saya lalui dengan kebisuan, mampu menumbuhkan kembali keberanian yang sering kali lenyap kala gemerlap Jakarta terlalu menyilaukan. Begitu pula dengan sudut-sudut Yogyakarta yang kini mulai banyak berubah. Selalu ada cerita yang tak mampu dihapus, meskipun pembangunan terus menggempur, meratakan dan mengubahnya dengan “wajah baru”.
Ketika saya telah mengalami banyak perubahan, kerinduan pada Yogya tak pernah sedikit pun berubah
Mengunjungi Yogyakarta adalah tentang panggilan untuk “pulang”. Untuk sekedar menghirup udara dan menjejakkan kaki di tanahnya. Bahkan kalaupun tak sempat mengunjungi setiap hal baru yang terus dijejalkan di kota ini. Bagi saya itu tak menjadi masalah, karena yang saya butuhkan hanyalah atmosfir Yogya yang mengukir banyak memori dalam kehidupan.
Yogyakarta tidak hanya memberikan kesempatan bagi saya untuk belajar di bangku universitas. Tapi telah menjebloskan saya dalam universitas kehidupan. Maka Yogyakarta tak sekedar menjadi kota pelajar, tapi di sinilah saya belajar kehidupan. Belajar memahami diri sebagai manusia yang diberkati daya agar mampu berupaya. Belajar menjadi manusia yang dibekali kreatifitas, agar memiliki seni dalam menyikapi permasalahan.
Yogyakarta selalu membuat saya merindu, dan “pulang” adalah cara yang tepat untuk mengobati kerinduan itu.

4 thoughts on “Kota Pelajar yang Membuatku Belajar Kehidupan”

Leave a Comment